Sunday, December 14, 2014

HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH SETENGAH HATI



HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH SETENGAH HATI






Sudah bukan berita baru jika penanganan tindak korupsi di negara ini pada kenyataannya masih belum maksimal. Rakyat Indonesia masih dipertontonkan dengan berbagai tindakan para elit negara yang berupaya menilep uang negara, memanipulasi kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak kita sebagai warga negara, apakah komitmen pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi benar-benar ingin dilakukan atau hanya lip service semata? Jika kita bercermin dari pengupayaan dan pelaksanaan pemberantasan korupsi selama ini, jelas sekali masih jauh dari harapan. Adanya perlakuan penanganan yang mengesankan tebang pilih, rendahnya sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi hingga pelemahan terhadap lembaga pemberantasan korupsi seperti yang nampak pada beberapa kasus seperti kasus wisma atlet dan BLBI, jelas-jelas mengindikasikan masih lemahnya komitmen tersebut.

Akar permasalahan betapa sulitnya Bangsa ini memberantas para koruptor dan memberangus perilaku koruptif di negeri ini yang makin parah adalah secara umum adalah:
pertama, adanya kesempatan yang sangat besar dan terbuka luas di dalam melakukan tindak korupsi. Ketika dulu di era Suharto pemerintah pusat sedemikian super power di dalam mengendalikan segala urusan secara sentralistis, praktis peluang bagi usaha memperkaya diri ini berada pada mereka yang berada dalam lingkaran pusat kekuasaan. Keluarga, kolega atau hanya sekedar kedekatan dengan kekuasaan sudah cukup menjadi garansi bagi langgengnya tindak korupsi ini. Sementara daerah tidak mampu berbuat banyak untuk melakukannya. Kalaupun ada, itupun yang kecil-kecil saja. Ketika kesempatan berlangsungnya desentralisasi pemerintahan dan kebijakan, maka eksodusme korupsi pun merajalela. Elit daerah saat ini memiliki ruang yang besar untuk melakukan. Sehingga tak heran apabila saat ini terdapat idiom bahwa desentralisasi kekuasaan juga berarti desentralisasi korupsi.
Kedua, lemahnya hukum dan perangkat hukum yang mampu menjerat dan menindak para pelaku korupsi. Kelemahan ini jelas berimplikasi terhadap lemahnya upaya bagi pemberantasan korupsi secara optimal. Lemahnya perangkat hukum ini boleh jadi disebabkan oleh dua faktor, yakni ketidakmampuan para elit politik, terutama legislatif di dalam menyusun dan merancang perangkat hukum pemberantasan korupsi atau ketidakmauan para elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif untuk membuat perangkat hukum pemberantasan korupsi yang ideal. Ketidakmauan ini jelas ditunjukkan dengan dibuatnya perangkat hukum yang masih mengandung banyak celah yang dapat membuat elit politik tersebut keluar dari sanksi hukum. Hukum dibuat untuk kepentingan sendiri dan golongan, bukan benar-benar untuk memberantas korupsi secara nyata dan massif.
Ketiga, rendahnya komitmen para penegak hukum itu sendiri di dalam memberantas korupsi. Kelemahan ini juga mengandung bahwa upaya memberantas korupsi masih diupayakan setengah hati. Bahkan malah justru “menjadi pemain” di dalam tindakan korupsi tersebut. Dalam bebarapa tahun belakangan ini, lembaga pemerhati korupsi seperti TII dan ICW, berdasarkan hasil survey, mereka sering menempatkan lembaga seperti kepolisian, pengadilan dan kejaksaan sebagai institusi negara terkorup. Padahal, semua rakyat Indonesia tahu bahwa ketiga lembaga negara ini merupakan lembaga-lembaga yang paling berwenang menangani tindak pidana korupsi. Taruh saja kasus Gayus Tambunan sebagai contoh dimana ketiga lembaga ini memiliki keterlibatan di dalamnya. Dengan demikian, tak heran jika rakyat masih sangat meragukan kinerja ketiga lembaga tersebut di dalam upaya memberantas korupsi. Sementara, satu-satunya lembaga negara yang masih memiliki kredibilitas yang cukup baik di mata rakyat, yakni KPK, justru dilemahkan. Hal ini tentu agar korupsi bisa terus berlangsung.
Sekilas tentang Korupsi
Korupsi dalam pengertiannya adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Perspektif atau pendekatan relatifisme kultural (cultural relativism) yang strukturalis, bisa saja mengatakan pemaksaan untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal (”kelurahanisasi” semua desa-desa adat di nusantara), menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural. Atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi (artikel dari transparansi.or.id)
Dalam prakteknya, bila seseorang hendak atau telah melakukan korupsi, maka terdapat beberapa unsur dominan yang melekat pada tindakan tersebut (Wahyudi Kumorotomo: 2002). Pertama, setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain. Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut urusan-urusan perusahaan atau negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah bahwa akibat-akibat buruk korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau negara, bukan pelaku korupsi.
korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang melakukannya. Ketika seorang pejabat disogok untuk mengeluarkan izin pendirian pasar swalayan oleh seorang pengusaha, misalnya, jelas ini adalah tindakan korupsi sebab meskipun pengusaha tersebut telah menempuh jalur hukum untuk mendirikan pasar, namun tindakan penyogokan itu berada di luar jalur yang semestinya
korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, klik atau kelompok. Oleh karena itu korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan organisasi, kepentingan negara dan kepentingan umum. Keempat, orang-orang yang melakukan praktek korupsi biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya. Dan kelima, korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh pelakuknya. Dalam hal ini tidak ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional pelakunya. Dengan demikian korupsi jelas dapat dibedakan dari mal-administration dan salah urus (mis-management).

Korupsi Indonesia di Mata Dunia
Korupsi yang makin membudaya di Indonesia didunia semakin mengemuka dan menyita perhatian dunia, hal ini ditunjukkan dengan  hasil survei yang disampaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun lalu, yang dibuat oleh badan pengawas korupsi Transparency International. Dalam laporan tersebut, badan ini menempatkan Selandia Baru dan Denmark menduduki posisi teratas, dengan skor 91 dari 100. Indonesia menempati urutan 114.
Peringkat korupsi ini semakin menunjukan kelas Indonesia dalam kancah korupsi di dunia International yang sungguh membuat miris. Korupsi di negeri ini memang sudah sampai ditingkat dan level emergency. Contoh kecil saja korupsi hambalang yang sampai merugikan negara 500 milyar. Hebatnya, kongkalingkong anggaran yang di zaman mentri Adhiyaksa daud hanya di anggarkan 112 Milyar membengkak menjadi 2,6 Triliyun itu  dilakukan sistematis dan melibatkan banyak lembaga negara termasuk keterlibatan beberapa anggota. Bisa dimaklumi, mengapa posisi Indonesia cenderung menjadi juara bertahan di peringkat korupsi negara-negara di dunia . Kerja sama menilep uang negara yang dilakukan para pejabat dan politis  koruptor begitu rapi dan terkoordinasi dengan baik.
Peringkat ini jelas sudah menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat dunia terhadap  indonesia. Ditingkat Asean, peringkat negara  lain jauh lebih baik . Singapura berada diperingkat 5, Brunei 38, Malysia 53, Pilipina 94 dan Thailand 102 , bahkan peringkat Ethopia lebih baik dari Indonesia yang menduduki peringkat 111. Berkaca dari peringkat itu, tentu saja kita sangat malu. Dahulu kala kita pernah menjadi negara yang disegani di Asia Tenggara. Peringkat ini sedikit banyak menjatuhkan martabat bangsa kita di kawasan Asia dan dunia.
Hukuman Bagi Koruptor Di Indonesia
Diakui atau tidak, hukuman untuk koruptor di negeri ini memang “ecek-ecek” dan tebang pilih. Bahkan, pemerintah secara jelas “membela koruptor”dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Inilah yang membuat rakyat muak dan kecewa atas lemahnya hukum untuk menindak tegas koruptor. Seakan-akan pemerintah berpihak pada koruptor dan tak pernah membuat hati rakyat puas dengan tindakan tegas kepada koruptor.
Lebih ironis putusan para hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di berbagai tempat selama ini. Mereka secara terang-terangan melindung koruptor, terkait terdakwa kasus korupsi yang oleh para hakim Tipikor itu sendiri dinyatakan terbukti bersalah, tetapi kenapa di dalam putusannya tak menyertakan putusan menyita kekayaan dari terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi? Kalau menyita harta saja tak berani, bagaimana bisa merealisasikan hukuman mati?
Seharusnya jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka harta kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi itu seharusnya disita dan dikembalikan ke negara. Tapi, sangat aneh dengan putusan para hakim Tipikor yang selama ini memutuskan terdakwa bersalah dan menghukum yang bersalah dengan hukuman penjara yang sangat ringan dan tanpa menyita harta kekayaan terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi. Tanpa menyita harta kekayaan hasil korupsi dari para koruptor, menurut penulis, hal itu menunjukan bahwa para hakim Tipikor tidak yakin bahwa kasus yang ditanganinya adalah kasus korupsi. Karena, para hakim ini diduga berpikir tidak ada kerugian negara di sini.
Sebenarnya jika hukum ditegakkan, maka tidak akan ada lagi orang yang takut untuk melakukan tindakan korupsi karena hukumannya sangat ringan dan hasil korupsi tak disita buat negara. Jadi, para koruptor masih bisa memanfaatkan uang hasil korupsinya untuk biaya mencari segala bantuan dalam upaya membebaskan dirinya dari jerat hukuman penjara,atau untuk mendapatkan hukuman yang ringan jika nanti oleh hakim terbukti dinyatakan bersalah.
Dengan hukuman penjara yang ringan (ini pun jika hakim menyatakan terbukti bersalah), para koruptor tetap bisa hidup enak. Setelah bebas dari penjara, koruptor masih tetap kaya-raya dan bisa hura-hura dengan menggunakan uang hasil korupsinya.Masyarakat di negeri tentu berharap semua aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi adalah para aparat penegak hokumpilihan yang kebal suap. Janganberdalihbahwa “aparat penegak hukum juga manusia”.  Kalimat “aparat juga manusia” inilah  yang menyesatkan masyarakat. Apakah dari ratusan juta penduduk negeri ini, tidak ada yang kebal suap?Tentu ada.
Aturan Perundangan Pemberantasan Korupsi
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa di bidang sosia,l ekonomi dan hak asasi manusia. Deretan aturan mengenai korupsi dalam sejarah perkembangan di Indonesia antara lain:


1. Peraturan-peraturan Penguasa Militer, yaitu:
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi, kemudian Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957, tanggal 27 Mei 1957 tentang Pemilikan Harta Benda, juga Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM/011/1957, tanggal 1 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-barang.
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prp/Peperpu/013/1958 tanggal 17 Maret 1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi;
3. UU No 24 tahun 1960 yang diteruskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
6. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dibubarkan melalui judicial review putusan Mahkamah Agung No. 03/P/HUM/2000 tanggal 23 Maret 2001;
8. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)

9. Undang-undang No. 15 Tahun 2002 yang terakhir diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Rangkaian aturan perundang-undangan tentang korupsi diatas menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan yang pesat dari praktek-praktek korupsi. Peraturan perundangan yang terus berubah agar tetap dapat mengakomodasi metoda dan cara pemberantasan korupsi. Namun aparat penegak hukum menunjukkan kinerja yang buruk. Ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum makin surut. Dan banyak lembaga atau badan antikorupsi yang sudah dibentuk gagal memberantas korupsi. KPTPK dibentuk tidak untuk mengulangi kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu. Beberapa hal dalam UU No. 31 Tahun 1999 & UU N0. 20 Tahun 2001.
Namun dalam pelaksanaannya aturan ini tidak berjalan tanpa adanya komitmen dan politisasi serta moralitas penegak hukum, hal tersebut justru menjadi kendala dalam pelaksanaan penegakan hukumnya:
Politisasi dalam Pemberantasan Korupsi
Dari perspektif penguasa/pemerintah nampaknya berkembang asumsi bahwa peberantasan korupsi melalui penegakkan hukum mau tidak mau akan memasuki dua wilayah sekaligus yang terkadang sulit dipertemukan. Disatu sisi memasuki domein hukum, disisi yang lain memasuki domein politik. Pada domein politik pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya persoalan politcal will penguasa/pemerintah saja, tapi juga menyangkut pertimbangan lain yang berkaitan dengan resiko yang harus ditanggung pemerintah dalam hal dilakukan penuntutan. Misalnya tindakan represif terhadap pengusaha yang korup, harus mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang akan terkena dampak penuntutan terhadap pengusaha itu. Kesulitan menyediakan lapangan kerja merupakan beban sosial yang tinggi yang dihadapi oleh masyarakat, apalagi dihadapkan dengan anatomi dan jaringan korupsi yang terbangun sudah begitu luas sampai kedesa-desa. Dalam keadaan yang demikian penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi masalah politik, bukan persoalan hukum semata. Pertimbangan politik menjadi tak terhindarkan ketika pihak Eksekutif harus berhadapan dengan prinsip cost and benefit dalam penegakan hukum.
Moralitas Aparat Penegak Hukum
Dalam wilayah penegakkan hukum persoalan menjadi rumit ketika berhadapan dengan wewenang penuntutan (dominus litis) dari Penuntut Umum yang sulit dikontrol oleh pihak lain. Apakah cukup alasan atau tidak membawa sebuah perkara ke pengadilan, pasal apa yang akan dijadikan dasar menuntut, alat bukti apa yang akan diajukan di persidangan, semua ini merupakan kewenangan yang tertutup dari Kejaksaan, yang sekaligus juga berpotensi untuk dimanipulasi demi keuntungan para pihak secara illegal (terdakwa dan penuntut Umum).

Demikian juga dengan kewenangan hakim di pengadilan, atas nama kebebasan kekuasaan kehakiman (independency judiciary) kewenangan itu sulit dikontrol pihak lain, sehingga potensi manipulasi tidak terhindarkan. Dalam beberapa eksaminasi publik terhadap putusan-putusan perkara korupsi, terungkap bahwa lepas bebasnya para koruptor dari penuntutan hukum kerap disebabkan oleh kurang sempurnanya dakwaan penuntut umum, kurangnya alat bukti karena kesengajaan dan putusan hakim yang tidak komprehensif dalam pertimbangan hukumnya, sehingga dapat diduga ada kepentingan untuk melepaskan / membebaskan terdakwa dengan pembenaran-pembenaran dalam pertimbangan hukumnya (judicial corruption).
Hanya Perlu Ketegasan dalam Pelaksanaan Hukuman Bagi Koruptor di Indonesia
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999  joundang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

Pidana Pokok
a.      Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda  palingsedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling  banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secaramelawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negaraatau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
b.      Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima  puluh jutarupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena  jabatan ataukedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau  perekonomianNegara (Pasal 3)
c.       Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratuslima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangiatau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda  paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

Pidana Tambahan
Hal ini harus ditegakkan dan secara tegas dilaksanakan berupa
a.       Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak  berwujudatau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperolehdari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimanatindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yangmenggantikan barang-barang tersebut
b.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya samadengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c.       Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun
d.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau  penghapusanseluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapatdiberikan oleh pemerintah kepada terpidana
e.       Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dandilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut
f.       Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupiuntuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan  pidana penjarayang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknyasesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undangnomor 20 tahun 2001 tentang  pemberantasan tindak pidana korupsi danlamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan



Pro Kontra dalam pelaksanaan hukuman mati  bagi koruptor di Indonesia
Korupsi adalah tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana terorisme. Kejahatan ini menimbulkan ancaman distability, menghancurkan institusi-institusi, nilai-nilai demokrasi, nilai etis dan keadilan, serta menhancurkan kelangsungan pembangunan and rule of law. Karena itu, sudah waktunya bahwa tindak pidana korupsi yang sudah luar biasa ini, harus diberantas dengan cara yang luar biasa yaitu HUKUMAN MATI. Untuk menghambat laju dan merajalelanya korupsi bahkan menghentikan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah selayaknya para jaksa dan para hakim di sidang di tingkat pengadilan negeri, tinggi, banding, dan kasasi berani dengan berdasarkan keadilan dan kebenaran untuk memberikan tuntutan dan vonis maksimal yaitu HUKUMAN MATI bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Namun dalam pelaksanaanya Wacana ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, antara pro dan kontra mereka mempunyai argument masing-masing
a.       Kontra pelaksanaan hukuman mati
Bagaimana pun koruptor adalah manusia yang juga mempunyai hak asasi manusia, hak untuk hidup. Memang koruptor melakukan kesalahan yang merugikan banyak orang dan  semua orang dapat memperbaikinya. Manusia bisa melakukan  kekhilafan, begitu juga dengan orang yangmelakukan korupsi. Berikut  beberapa alasan hukuman mati itu tidak boleh:
Bertentangan dengan HAM
para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para koruptor kakap sekalipun. Mereka  berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila
Tidak ada korelasi
Belum terbukti, negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya adalah pada  pengawasan dan pertanggungjawaban
Sulit dilaksanakan
Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor

b.      Pro pelaksanaan hukuman mati
            UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu

            Undang-Undang Korupsi sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas memperbolehkan seorang pelaku tindak  pidana korupsi untuk dihukum mati. Akan tetapi dalam kenyataannya di Indonesia sendiri hukuman mati bagi koruptor belum pernah diterapkan. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat dampak korupsi yang sangat membahayakan bagi kepentingan nasional. Pengenaan pidana mati bagi koruptor itu sendiri dapat menjadi efek jera bagi masyarakat        
           
            Masyarakat akan berpikir ulang apabila hendak berbuat korupsi. Oleh sebab itu, pidana mati perlu dijatuhkan kepada para koruptor terutama kepada koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan koruptor kelas kakap untuk mengurangi jumlah tindak  pidana korupsi yang merajalela dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.
           
Masih adanya perbedaan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia mengenai hukuman mati bagi para koruptor, hal ini berdampak pada pengambilan putusan hakim bagi sebagian orang di anggap tidak serius dalam memberantas korupsi.

Penulis merupakan salah satu yang pro terhadap pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor karena menurut saya alasan-alasan yang di kemukakan oleh pihak yang kontra agak kurang berdasar dan kurang logis, adapun alasan tersebut adalah:

Melanggar HAM
Tidak berdasar karena disini orang akan menyinggung masalah keadilan, dan jika di singgung keadilan apakah tidak  pantas seseorang yang telah korupsi sekian triliun sama dengan membunuh ratusan jiwa, untuk di bunuh guna mempertanggung jawabkan perbuatanya.

Tidak ada korelasi
Hal ini tidak logis karena orang pasti akan berpikir dua kali untuk melakukan korupsi jika di hukum hukuman mati. Memang dampaknya tidak instan, tapi di sini kita berbicara soal masa depan. Dan bukti riil nya ada yaitu hongkong yang  berhasil menekan angka korupsinya setelah memberlakukan hukuman mati

Sulit dilaksanakan
Menurut penulis tidak ada yang sulit dilaksanakan jika ada komitmen dan tekad yang kuat


Pentingnya Peran Pemimpin dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi
Upaya memberantas korupsi secara optimal haruslah dimulai dari pemimpin negeri ini. Sekedar komitmen saja untuk memberantas tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan tindakan tegas didalam menegakkan komitmen tersebut. Tidak cukup hanya dengan berpidato atau mengeluarkan statement saja untuk menegaskan komitmen tersebut, sementara minim tindakan tegas di lapangan. Ibarat air yang menggenang tidak akan mengalir jika tidak ada yang membuang kotorannya.
Pentingnya pemimpin yang tegas juga memberikan koridor yang jelas bahwa pemberantasan korupsi bukan sekedar pemanis bibir semata atau menjaga image yang bersih. Tentunya semua ini akan tercipta dengan sendiri apabila korupsi betul-betul telah diberangus dan para pelakunya dikenakan sanksi yang berat. Pemimpin negeri ini perlu belajar dari negara lain yang telah mampu memberantas korupsi dengan sangat baik, seperti Cina, USA, India dan beberapa negara di Eropa. Bahkan tak perlu jauh, Malaysia bisa dijadikan contoh bagaimana hukum di negara tersebut sangat keras terhadap para pelaku korupsi.
Bahwasanya kekuasaan akan selalu memiliki kecenderungan untuk korup (power tends to corrupt). Namun, bila seorang pemimpin mampu menunjukkan ketegasan, minimal kekuasaan yang dipegang tidak disalahgunakan. Bangsa ini merindukan sesosok pemimpin yang demikian, bukan pemimpin yang menyuburkan transaksi politik, alih-alih untuk tetap melanggengkan kekuasaan. Ketegasan bukan sekedar cuma dipandang memiliki “komitmen akan”, tapi keberanian untuk menjaga setiap jengkal tanah negara ini dan juga menjaga “hati” setiap orang rakyat Indonesia.
Fakta selalu mencatat bahwa Indonesia selalu berada pada peringkat bawah dalam penanganan tindak pidana korupsi, bahkan jauh di bawah Thailand dan Vietnam. Padahal, pemerintah mereka cukup lugas mengatakan bahwa Indonesia kerapkali menjadi ladang percontohan bagi penataan tata pemerintahan di negara mereka. Inilah ironi negeri ini yang terkadang tak mampu untuk berbenah dan menata diri disebabkan oleh segelintir pemimpin yang tak mampu memimpin dengan sepenuh hati.
Transaksi politik selama ini selalu ditengarai sebagai penyebab utama tersendatnya upaya pemberantasan korupsi. Politik dagang sapi selalu diprioritaskan di dalam menyelesaikan persoalan hukum bagi para koruptor. Taruh saja bagaimana penanganan kasus BLBI yang hingga sekarang masih rabun. Dengan fakta seperti ini bagaimana mungkin pemberantasan korupsi bisa tertangani dengan baik, sementara pemimpin negeri masih berkutat pada eksistensi dan keberlangsungan akan kekuasaan.

Penutup
Korupsi merupakan kejahatan serius yang melanda negeri ini. Korupsi di Indonesia memang sudah merajalela. Korupsi di negara ini  juga tidak lagi dilakukan oleh perorangan bahkan sudah dilakukan secara kolektif, terorganisir dan sistematis. Jumlahnya pun sudah gila, tidak lagi juta atau milyar bahkan triliun terhadap keuangan Negara.
Menurut undang-undang yang ada di Indonesia sekarang, koruptor dapat di jatuhi mati jika mengkorupsi uang Negara ketika Negara sedang dalam keadaan darurat. Sebaiknya koruptor itu bisa di hukum mati tidak hanya korupsi jika Negara dalam keadaan darurat saja tapi lebih tergantung pada besar kecilnya uang Negara yang di korupsi. Hukuman mati, walaupun belum dapat menghilangkan perilaku korupsi sepenuhnya, terbukti secara signifikan mampu menguranginya. Seperti berkurangnya tingkat korupsi di china karena penegakan hukum yang ketat terhadap koruptor, kesejahteraan masyarakat china meningkat. Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat diberikan adalah ketegasan para pemimpin dan hakim harus berani menjatuhkan pidana mati kepada koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu dan sangat merugikan keuangan negara. Hal tersebut berguna untuk memberikan efek jera bagi masyarakat dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi.

 
DAFTAR PUSTAKA



 

No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...