HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH SETENGAH HATI
Sudah
bukan berita baru jika penanganan tindak korupsi di negara ini pada
kenyataannya masih belum maksimal. Rakyat Indonesia masih dipertontonkan dengan
berbagai tindakan para elit negara yang berupaya menilep uang
negara, memanipulasi kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi, dan
sebagainya.
Hal ini
menimbulkan pertanyaan dalam benak kita sebagai warga negara, apakah komitmen
pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi benar-benar ingin dilakukan
atau hanya lip service semata? Jika kita bercermin dari
pengupayaan dan pelaksanaan pemberantasan korupsi selama ini, jelas sekali
masih jauh dari harapan. Adanya perlakuan penanganan yang mengesankan tebang
pilih, rendahnya sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi hingga pelemahan
terhadap lembaga pemberantasan korupsi seperti yang nampak pada beberapa kasus
seperti kasus wisma atlet dan BLBI, jelas-jelas mengindikasikan masih lemahnya
komitmen tersebut.
Akar
permasalahan betapa sulitnya Bangsa ini memberantas para koruptor dan
memberangus perilaku koruptif di negeri ini yang makin parah adalah secara umum
adalah:
pertama, adanya
kesempatan yang sangat besar dan terbuka luas di dalam melakukan tindak
korupsi. Ketika dulu di era Suharto pemerintah pusat sedemikian super
power di dalam mengendalikan segala urusan secara sentralistis,
praktis peluang bagi usaha memperkaya diri ini berada pada mereka yang berada
dalam lingkaran pusat kekuasaan. Keluarga, kolega atau hanya sekedar kedekatan
dengan kekuasaan sudah cukup menjadi garansi bagi langgengnya tindak korupsi
ini. Sementara daerah tidak mampu berbuat banyak untuk melakukannya. Kalaupun
ada, itupun yang kecil-kecil saja. Ketika kesempatan berlangsungnya
desentralisasi pemerintahan dan kebijakan, maka eksodusme korupsi pun
merajalela. Elit daerah saat ini memiliki ruang yang besar untuk melakukan.
Sehingga tak heran apabila saat ini terdapat idiom bahwa desentralisasi
kekuasaan juga berarti desentralisasi korupsi.
Kedua, lemahnya hukum dan perangkat
hukum yang mampu menjerat dan menindak para pelaku korupsi. Kelemahan ini jelas
berimplikasi terhadap lemahnya upaya bagi pemberantasan korupsi secara optimal.
Lemahnya perangkat hukum ini boleh jadi disebabkan oleh dua faktor, yakni
ketidakmampuan para elit politik, terutama legislatif di dalam menyusun dan
merancang perangkat hukum pemberantasan korupsi atau ketidakmauan para elit
politik, baik di eksekutif maupun legislatif untuk membuat perangkat hukum
pemberantasan korupsi yang ideal. Ketidakmauan ini jelas ditunjukkan dengan
dibuatnya perangkat hukum yang masih mengandung banyak celah yang dapat membuat
elit politik tersebut keluar dari sanksi hukum. Hukum dibuat untuk kepentingan
sendiri dan golongan, bukan benar-benar untuk memberantas korupsi secara nyata
dan massif.
Ketiga, rendahnya
komitmen para penegak hukum itu sendiri di dalam memberantas korupsi. Kelemahan
ini juga mengandung bahwa upaya memberantas korupsi masih diupayakan setengah
hati. Bahkan malah justru “menjadi pemain” di dalam tindakan korupsi tersebut.
Dalam bebarapa tahun belakangan ini, lembaga pemerhati korupsi seperti TII dan
ICW, berdasarkan hasil survey, mereka sering menempatkan lembaga seperti
kepolisian, pengadilan dan kejaksaan sebagai institusi negara terkorup. Padahal,
semua rakyat Indonesia tahu bahwa ketiga lembaga negara ini merupakan
lembaga-lembaga yang paling berwenang menangani tindak pidana korupsi. Taruh
saja kasus Gayus Tambunan sebagai contoh dimana ketiga lembaga ini memiliki
keterlibatan di dalamnya. Dengan demikian, tak heran jika rakyat masih sangat
meragukan kinerja ketiga lembaga tersebut di dalam upaya memberantas korupsi.
Sementara, satu-satunya lembaga negara yang masih memiliki kredibilitas yang
cukup baik di mata rakyat, yakni KPK, justru dilemahkan. Hal ini tentu agar
korupsi bisa terus berlangsung.
Sekilas tentang Korupsi
Korupsi
dalam pengertiannya adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik
publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk
kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh
keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat
atau kelompok sendiri. Perspektif atau pendekatan relatifisme kultural (cultural
relativism) yang strukturalis, bisa saja mengatakan pemaksaan untuk
menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal (”kelurahanisasi” semua desa-desa
adat di nusantara), menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan
keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah
tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural. Atau perspektif orang
awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan
wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara
serius adalah tindakan korupsi (artikel dari transparansi.or.id)
Dalam
prakteknya, bila seseorang hendak atau telah melakukan korupsi, maka terdapat
beberapa unsur dominan yang melekat pada tindakan tersebut (Wahyudi Kumorotomo:
2002). Pertama, setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang
didelegasikan (delegated power, derived power).
Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau
wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk
kepentingan-kepentingan lain. Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah
atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut
urusan-urusan perusahaan atau negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah
bahwa akibat-akibat buruk korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau
negara, bukan pelaku korupsi.
korupsi
melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang
melakukannya. Ketika seorang pejabat disogok untuk mengeluarkan izin pendirian
pasar swalayan oleh seorang pengusaha, misalnya, jelas ini adalah tindakan
korupsi sebab meskipun pengusaha tersebut telah menempuh jalur hukum untuk
mendirikan pasar, namun tindakan penyogokan itu berada di luar jalur yang
semestinya
korupsi
dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, klik atau kelompok. Oleh
karena itu korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan organisasi,
kepentingan negara dan kepentingan umum. Keempat, orang-orang
yang melakukan praktek korupsi biasanya berusaha untuk merahasiakan
perbuatannya. Dan kelima, korupsi dilakukan secara
sadar dan disengaja oleh pelakuknya. Dalam hal ini tidak ada keterkaitan antara
tindakan korup dengan kapasitas rasional pelakunya. Dengan demikian korupsi
jelas dapat dibedakan dari mal-administration dan salah urus (mis-management).
Korupsi Indonesia di Mata Dunia
Korupsi
yang makin membudaya di Indonesia didunia semakin mengemuka dan menyita
perhatian dunia, hal ini ditunjukkan dengan hasil survei yang disampaikan
dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun lalu, yang dibuat oleh badan pengawas
korupsi Transparency International. Dalam laporan tersebut, badan ini
menempatkan Selandia Baru dan Denmark menduduki posisi teratas, dengan skor 91
dari 100. Indonesia menempati urutan 114.
Peringkat
korupsi ini semakin menunjukan kelas Indonesia dalam kancah korupsi di dunia
International yang sungguh membuat miris. Korupsi di negeri ini memang sudah
sampai ditingkat dan level emergency. Contoh kecil saja korupsi hambalang yang
sampai merugikan negara 500 milyar. Hebatnya, kongkalingkong anggaran yang di
zaman mentri Adhiyaksa daud hanya di anggarkan 112 Milyar membengkak menjadi
2,6 Triliyun itu dilakukan sistematis dan melibatkan banyak lembaga
negara termasuk keterlibatan beberapa anggota. Bisa dimaklumi, mengapa posisi
Indonesia cenderung menjadi juara bertahan di peringkat korupsi negara-negara
di dunia . Kerja sama menilep uang negara yang dilakukan para pejabat dan
politis koruptor begitu rapi dan terkoordinasi dengan baik.
Peringkat
ini jelas sudah menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat dunia terhadap
indonesia. Ditingkat Asean, peringkat negara lain jauh lebih baik .
Singapura berada diperingkat 5, Brunei 38, Malysia 53, Pilipina 94 dan Thailand
102 , bahkan peringkat Ethopia lebih baik dari Indonesia yang menduduki
peringkat 111. Berkaca dari peringkat itu, tentu saja kita sangat malu. Dahulu
kala kita pernah menjadi negara yang disegani di Asia Tenggara. Peringkat ini
sedikit banyak menjatuhkan martabat bangsa kita di kawasan Asia dan dunia.
Hukuman Bagi Koruptor Di Indonesia
Diakui
atau tidak, hukuman untuk koruptor di negeri ini memang “ecek-ecek” dan tebang
pilih. Bahkan, pemerintah secara jelas “membela koruptor”dengan berbagai
kebijakan yang dikeluarkannya. Inilah yang membuat rakyat muak dan kecewa atas
lemahnya hukum untuk menindak tegas koruptor. Seakan-akan pemerintah berpihak
pada koruptor dan tak pernah membuat hati rakyat puas dengan tindakan tegas
kepada koruptor.
Lebih
ironis putusan para hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di berbagai tempat
selama ini. Mereka secara terang-terangan melindung koruptor, terkait terdakwa
kasus korupsi yang oleh para hakim Tipikor itu sendiri dinyatakan terbukti
bersalah, tetapi kenapa di dalam putusannya tak menyertakan putusan menyita
kekayaan dari terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi? Kalau menyita harta
saja tak berani, bagaimana bisa merealisasikan hukuman mati?
Seharusnya
jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka harta kekayaan
yang diperoleh dari hasil korupsi itu seharusnya disita dan dikembalikan ke
negara. Tapi, sangat aneh dengan putusan para hakim Tipikor yang selama ini
memutuskan terdakwa bersalah dan menghukum yang bersalah dengan hukuman penjara
yang sangat ringan dan tanpa menyita harta kekayaan terdakwa yang diperoleh
dari hasil korupsi. Tanpa menyita harta kekayaan hasil korupsi dari para
koruptor, menurut penulis, hal itu menunjukan bahwa para hakim Tipikor tidak
yakin bahwa kasus yang ditanganinya adalah kasus korupsi. Karena, para hakim
ini diduga berpikir tidak ada kerugian negara di sini.
Sebenarnya
jika hukum ditegakkan, maka tidak akan ada lagi orang yang takut untuk
melakukan tindakan korupsi karena hukumannya sangat ringan dan hasil korupsi
tak disita buat negara. Jadi, para koruptor masih bisa memanfaatkan uang hasil
korupsinya untuk biaya mencari segala bantuan dalam upaya membebaskan dirinya
dari jerat hukuman penjara,atau untuk mendapatkan hukuman yang ringan jika
nanti oleh hakim terbukti dinyatakan bersalah.
Dengan
hukuman penjara yang ringan (ini pun jika hakim menyatakan terbukti bersalah),
para koruptor tetap bisa hidup enak. Setelah bebas dari penjara, koruptor masih
tetap kaya-raya dan bisa hura-hura dengan menggunakan uang hasil
korupsinya.Masyarakat di negeri tentu berharap semua aparat penegak hukum yang
menangani kasus korupsi adalah para aparat penegak hokumpilihan yang kebal
suap. Janganberdalihbahwa “aparat penegak hukum juga manusia”. Kalimat “aparat juga manusia” inilah yang menyesatkan masyarakat. Apakah dari
ratusan juta penduduk negeri ini, tidak ada yang kebal suap?Tentu ada.
Aturan Perundangan Pemberantasan Korupsi
Korupsi
merupakan kejahatan luar biasa di bidang sosia,l ekonomi dan hak asasi manusia.
Deretan aturan mengenai korupsi dalam sejarah perkembangan di Indonesia antara
lain:
1.
Peraturan-peraturan Penguasa Militer, yaitu:
Peraturan
Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan
Korupsi, kemudian Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957, tanggal 27 Mei
1957 tentang Pemilikan Harta Benda, juga Peraturan Penguasa Militer
No.Prt/PM/011/1957, tanggal 1 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan
Barang-barang.
2.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prp/Peperpu/013/1958 tanggal
17 Maret 1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi;
3. UU No
24 tahun 1960 yang diteruskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.
24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi;
4.
Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5.
Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
6.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20
tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
7.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dibubarkan melalui judicial review
putusan Mahkamah Agung No. 03/P/HUM/2000 tanggal 23 Maret 2001;
8.
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPTPK)
9. Undang-undang No. 15 Tahun 2002 yang terakhir diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Rangkaian
aturan perundang-undangan tentang korupsi diatas menunjukkan bahwa telah
terjadi perkembangan yang pesat dari praktek-praktek korupsi. Peraturan
perundangan yang terus berubah agar tetap dapat mengakomodasi metoda dan cara
pemberantasan korupsi. Namun aparat penegak hukum menunjukkan kinerja yang buruk.
Ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum makin surut. Dan banyak
lembaga atau badan antikorupsi yang sudah dibentuk gagal memberantas korupsi.
KPTPK dibentuk tidak untuk mengulangi kegagalan pemberantasan korupsi di masa
lalu. Beberapa hal dalam UU No. 31 Tahun 1999 & UU N0. 20 Tahun 2001.
Namun
dalam pelaksanaannya aturan ini tidak berjalan tanpa adanya komitmen dan
politisasi serta moralitas penegak hukum, hal tersebut justru menjadi kendala
dalam pelaksanaan penegakan hukumnya:
Politisasi dalam Pemberantasan Korupsi
Dari
perspektif penguasa/pemerintah nampaknya berkembang asumsi bahwa peberantasan
korupsi melalui penegakkan hukum mau tidak mau akan memasuki dua wilayah
sekaligus yang terkadang sulit dipertemukan. Disatu sisi memasuki domein hukum,
disisi yang lain memasuki domein politik. Pada domein politik pemberantasan
tindak pidana korupsi tidak hanya persoalan politcal will penguasa/pemerintah
saja, tapi juga menyangkut pertimbangan lain yang berkaitan dengan resiko yang
harus ditanggung pemerintah dalam hal dilakukan penuntutan. Misalnya tindakan
represif terhadap pengusaha yang korup, harus mempertimbangkan jumlah tenaga
kerja yang akan terkena dampak penuntutan terhadap pengusaha itu. Kesulitan
menyediakan lapangan kerja merupakan beban sosial yang tinggi yang dihadapi
oleh masyarakat, apalagi dihadapkan dengan anatomi dan jaringan korupsi yang
terbangun sudah begitu luas sampai kedesa-desa. Dalam keadaan yang demikian
penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi masalah politik, bukan persoalan
hukum semata. Pertimbangan politik menjadi tak terhindarkan ketika pihak
Eksekutif harus berhadapan dengan prinsip cost and benefit dalam penegakan
hukum.
Moralitas Aparat Penegak Hukum
Dalam
wilayah penegakkan hukum persoalan menjadi rumit ketika berhadapan dengan
wewenang penuntutan (dominus litis) dari Penuntut Umum yang sulit dikontrol
oleh pihak lain. Apakah cukup alasan atau tidak membawa sebuah perkara ke
pengadilan, pasal apa yang akan dijadikan dasar menuntut, alat bukti apa yang akan
diajukan di persidangan, semua ini merupakan kewenangan yang tertutup dari
Kejaksaan, yang sekaligus juga berpotensi untuk dimanipulasi demi keuntungan
para pihak secara illegal (terdakwa dan penuntut Umum).
Demikian juga dengan kewenangan hakim di pengadilan, atas nama kebebasan kekuasaan kehakiman (independency judiciary) kewenangan itu sulit dikontrol pihak lain, sehingga potensi manipulasi tidak terhindarkan. Dalam beberapa eksaminasi publik terhadap putusan-putusan perkara korupsi, terungkap bahwa lepas bebasnya para koruptor dari penuntutan hukum kerap disebabkan oleh kurang sempurnanya dakwaan penuntut umum, kurangnya alat bukti karena kesengajaan dan putusan hakim yang tidak komprehensif dalam pertimbangan hukumnya, sehingga dapat diduga ada kepentingan untuk melepaskan / membebaskan terdakwa dengan pembenaran-pembenaran dalam pertimbangan hukumnya (judicial corruption).
Hanya Perlu Ketegasan dalam Pelaksanaan Hukuman
Bagi Koruptor di Indonesia
Berdasarkan
ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 joundang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat
dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
Pidana Pokok
a.
Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda palingsedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang
secaramelawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atauorang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negaraatau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
b.
Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)bagi setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan
ataukedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomianNegara (Pasal 3)
c.
Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratuslima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta) bagi setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, merintangiatau menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung penyidikan,penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta rupiah) bagi setiap orang
sebagaimana dimaksud dalam pasal28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
Pidana Tambahan
Hal ini
harus ditegakkan dan secara tegas dilaksanakan berupa
a.
Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujudatau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperolehdari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimanatindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula dari barang yangmenggantikan barang-barang tersebut
b. Pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya samadengan harta yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1(satu) tahun
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusanseluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang telah atau
dapatdiberikan oleh pemerintah kepada terpidana
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dandilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut
f.
Dalam hal terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupiuntuk membayar uang pengganti maka
terpidana dengan pidana penjarayang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari
pidana pokoknyasesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo
undang-undangnomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi danlamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan
Pro Kontra dalam pelaksanaan
hukuman mati bagi koruptor di Indonesia
Korupsi
adalah tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana
terorisme. Kejahatan ini menimbulkan ancaman distability, menghancurkan
institusi-institusi, nilai-nilai demokrasi, nilai etis dan keadilan, serta
menhancurkan kelangsungan pembangunan and rule of law. Karena itu, sudah
waktunya bahwa tindak pidana korupsi yang sudah luar biasa ini, harus
diberantas dengan cara yang luar biasa yaitu HUKUMAN MATI. Untuk menghambat
laju dan merajalelanya korupsi bahkan menghentikan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah selayaknya para jaksa dan para hakim di sidang di tingkat
pengadilan negeri, tinggi, banding, dan kasasi berani dengan berdasarkan
keadilan dan kebenaran untuk memberikan tuntutan dan vonis maksimal yaitu
HUKUMAN MATI bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Namun
dalam pelaksanaanya Wacana ini banyak menimbulkan perdebatan di
kalangan masyarakat, antara pro dan kontra mereka mempunyai argument
masing-masing
a. Kontra pelaksanaan hukuman mati
Bagaimana pun koruptor adalah manusia yang juga mempunyai hak asasi
manusia, hak untuk hidup. Memang koruptor melakukan kesalahan yang merugikan
banyak orang dan semua orang dapat memperbaikinya.
Manusia bisa melakukan kekhilafan,
begitu juga dengan orang yangmelakukan korupsi. Berikut beberapa alasan hukuman mati itu tidak boleh:
Bertentangan dengan HAM
para
aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para
koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati
bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila
Tidak ada korelasi
Belum
terbukti, negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak
ada itu korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban
Sulit dilaksanakan
Indonesia
belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak
para koruptor
b.
Pro pelaksanaan hukuman mati
UU No 31/1999, yang
diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi
saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan
tertentu
Undang-Undang
Korupsi sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas
memperbolehkan seorang pelaku tindak pidana korupsi untuk dihukum mati. Akan tetapi dalam
kenyataannya di Indonesia sendiri hukuman
mati bagi koruptor belum pernah diterapkan. Hal tersebut sangat disayangkan
mengingat dampak korupsi yang sangat membahayakan bagi kepentingan nasional.
Pengenaan pidana mati bagi koruptor itu sendiri dapat menjadi efek jera bagi
masyarakat
Masyarakat akan
berpikir ulang apabila hendak berbuat korupsi. Oleh sebab itu, pidana mati
perlu dijatuhkan kepada para koruptor terutama kepada koruptor yang melakukan
tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan koruptor kelas kakap untuk
mengurangi jumlah tindak pidana korupsi yang merajalela dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.
Masih adanya perbedaan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat
Indonesia mengenai hukuman mati bagi para koruptor, hal ini berdampak pada
pengambilan putusan hakim bagi sebagian orang di anggap tidak serius dalam
memberantas korupsi.
Penulis merupakan salah satu yang pro terhadap pelaksanaan hukuman
mati bagi koruptor karena menurut saya alasan-alasan yang di kemukakan oleh
pihak yang kontra agak kurang berdasar dan kurang logis, adapun alasan tersebut
adalah:
Melanggar HAM
Tidak berdasar karena disini orang akan menyinggung masalah
keadilan, dan jika di singgung keadilan apakah tidak pantas seseorang yang telah korupsi sekian triliun sama dengan
membunuh ratusan jiwa, untuk di bunuh guna mempertanggung jawabkan perbuatanya.
Tidak ada korelasi
Hal ini tidak logis karena orang pasti akan berpikir dua kali untuk
melakukan korupsi jika di hukum hukuman mati. Memang dampaknya tidak instan,
tapi di sini kita berbicara soal masa depan. Dan bukti riil nya ada yaitu
hongkong yang berhasil menekan angka
korupsinya setelah memberlakukan hukuman
mati
Sulit dilaksanakan
Menurut penulis tidak ada yang sulit dilaksanakan jika ada komitmen
dan tekad yang kuat
Pentingnya
Peran Pemimpin dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi
Upaya
memberantas korupsi secara optimal haruslah dimulai dari pemimpin negeri ini.
Sekedar komitmen saja untuk memberantas tidaklah cukup jika tidak dibarengi
dengan tindakan tegas didalam menegakkan komitmen tersebut. Tidak cukup hanya
dengan berpidato atau mengeluarkan statement saja untuk menegaskan
komitmen tersebut, sementara minim tindakan tegas di lapangan. Ibarat air yang
menggenang tidak akan mengalir jika tidak ada yang membuang kotorannya.
Pentingnya
pemimpin yang tegas juga memberikan koridor yang jelas bahwa pemberantasan
korupsi bukan sekedar pemanis bibir semata atau menjaga image
yang bersih. Tentunya semua ini akan tercipta dengan sendiri
apabila korupsi betul-betul telah diberangus dan para pelakunya dikenakan
sanksi yang berat. Pemimpin negeri ini perlu belajar dari negara lain yang
telah mampu memberantas korupsi dengan sangat baik, seperti Cina, USA, India
dan beberapa negara di Eropa. Bahkan tak perlu jauh, Malaysia bisa dijadikan
contoh bagaimana hukum di negara tersebut sangat keras terhadap para pelaku
korupsi.
Bahwasanya
kekuasaan akan selalu memiliki kecenderungan untuk korup (power
tends to corrupt). Namun, bila seorang pemimpin mampu menunjukkan
ketegasan, minimal kekuasaan yang dipegang tidak disalahgunakan. Bangsa ini
merindukan sesosok pemimpin yang demikian, bukan pemimpin yang menyuburkan
transaksi politik, alih-alih untuk tetap melanggengkan kekuasaan. Ketegasan
bukan sekedar cuma dipandang memiliki “komitmen akan”, tapi keberanian untuk
menjaga setiap jengkal tanah negara ini dan juga menjaga “hati” setiap orang
rakyat Indonesia.
Fakta
selalu mencatat bahwa Indonesia selalu berada pada peringkat bawah dalam
penanganan tindak pidana korupsi, bahkan jauh di bawah Thailand dan Vietnam.
Padahal, pemerintah mereka cukup lugas mengatakan bahwa Indonesia kerapkali
menjadi ladang percontohan bagi penataan tata pemerintahan di negara mereka.
Inilah ironi negeri ini yang terkadang tak mampu untuk berbenah dan menata diri
disebabkan oleh segelintir pemimpin yang tak mampu memimpin dengan sepenuh
hati.
Transaksi
politik selama ini selalu ditengarai sebagai penyebab utama tersendatnya upaya
pemberantasan korupsi. Politik dagang sapi selalu diprioritaskan di dalam
menyelesaikan persoalan hukum bagi para koruptor. Taruh saja bagaimana
penanganan kasus BLBI yang hingga sekarang masih rabun. Dengan fakta seperti ini
bagaimana mungkin pemberantasan korupsi bisa tertangani dengan baik, sementara
pemimpin negeri masih berkutat pada eksistensi dan keberlangsungan akan
kekuasaan.
Penutup
Korupsi
merupakan kejahatan serius yang melanda negeri ini. Korupsi di Indonesia memang
sudah merajalela. Korupsi di negara ini juga tidak lagi dilakukan oleh perorangan bahkan sudah dilakukan secara kolektif, terorganisir dan sistematis. Jumlahnya pun sudah
gila, tidak lagi juta atau milyar bahkan triliun terhadap keuangan Negara.
Menurut
undang-undang yang ada di Indonesia sekarang, koruptor dapat di jatuhi mati
jika mengkorupsi uang Negara ketika Negara sedang dalam keadaan darurat.
Sebaiknya koruptor itu bisa di hukum mati tidak hanya korupsi jika Negara dalam
keadaan darurat saja tapi lebih tergantung pada besar kecilnya uang Negara yang
di korupsi. Hukuman mati, walaupun belum dapat
menghilangkan perilaku korupsi sepenuhnya, terbukti secara signifikan mampu
menguranginya. Seperti berkurangnya tingkat korupsi di china karena penegakan
hukum yang ketat terhadap koruptor, kesejahteraan masyarakat china meningkat.
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat diberikan adalah ketegasan
para pemimpin dan hakim harus berani menjatuhkan pidana mati kepada koruptor
yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu dan sangat merugikan keuangan
negara. Hal tersebut berguna untuk memberikan efek jera bagi masyarakat dalam
rangka menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/40680588/Paper-Korupsi-Kontra-dalam-Penjatuhan-Hukuman-Mati-bagi-Koruptor
No comments:
Post a Comment