Tuesday, July 28, 2015

HUKUM YANG TAJAM KE BAWAH, TUMPUL KE ATAS MENJADI SIMBOL BARU KEADILAN DI INDONESIA

HUKUM YANG TAJAM KE BAWAH, TUMPUL KE ATAS
MENJADI SIMBOL BARU KEADILAN DI INDONESIA
Oleh:
Dr. H. Rumadi, SE., SH., M.Hum



Istilah Hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas ini mungkin sudah lumrah di masyarakat Indonesia saat ini maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah ke bawah, Coba bandingkan dengan para Koruptor yang notabene adalah para penjabat kelas ekonomi ke atas, baik mulai dari tingkat anggota DPRD kota hingga para mantan menteri pun terjerat dengan kasus korupsi.
Sebenarnya ada banyak kasus besar yang jelas-jelas merugikan negara karena ulah penggarong uang negara, nasib kasusnya tidak jelas. Para koruptor bebas berlenggang, berleha-leha di luar negeri, tidak tersentuh hukum.  Yang masih hangat baru-baru ini adalah Kisah yang dialami nenek Asyani (63) ini benar-benar menggambarkan pepatah yang populer di masyarakat, hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Asyani diseret ke Pengadilan Negeri Situbondo Jawa Timur dengan tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo. Saat menjalani persidangan ketiga pada 12 Maret, Asyani sampai-sampai duduk bersimpuh dan menangis di depan majelis hakim, memohon pengampunan. Sang pelapor Asyani, Sawin (mantri Perhutani), tertegun melihat Asyani. Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, itu menjalani sidang dengan jadwal tanggapan jaksa atas pembelaan kuasa hukum terdakwa. Mulanya, Asyani diam tertunduk mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum, Ida Haryani, selama 30 menit.
Setelah jaksa penuntut membacakan tanggapannya, Asyani langsung menangis histeris. Dia menuding Sawin, yang berdiri di pintu samping ruang sidang. "Sawin, kamu yang tega memenjarakan saya. Padahal saya sudah datang ke rumahmu untuk meminta maaf. Kamu tega sama saya," tutur Asyani berteriak lalu terdiam setelah ditenangkan oleh kuasa hukumnya, Supriyono. Asyani adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa setempat. Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam; dan Sucipto, tukang kayu.
Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan Perhutani. "Terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu tersebut," katanya. Supriyono menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada 2010. "Ada surat keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani," ucap Supriyono. Sebelumnya, Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu peninggalan suaminya yang telah meninggal.
Lain lagi kasus menimpa Yusman Telaumbanua digunung Sitolis Sumatera Utara, pengadilan setempat memvonisnya dengan hukuman mati meski tergolong anak dibawah umur. Jika mengacu pada undang-undang perlindungan anak terdakwa yang masih dibawah umur hanya mendapatkan hukuman maksimal 10 tahun penjara, komisi untuk orang hilang dan korban tindakan kekerasan KONTRA mengadukan kasus ini ke komisi yudisial. Hakim dianggap mengesampingkan fakta dipengadilan meski mengetahui penyidik telah memalsukan umur terdakwa.

Salah satu perwakilan KONTRA mengatakan:"Salah satu terpidana yang bernama Yusman Telaumbanua itu pada saat vonis ditahun 2013 itu diduga usianya masih dibawah umur". Kini yang menjadi pertanyaan besar apakah masih ada sedikit keadilan bagi rakyat kecil?. Akibat edukasi yang minim, kalangan menengah kebawah kerap dipermainkan oleh aturan hukum. Setiap orang berhak mendapatakan perilaku yang sama didepan hukum tanpa kecuali aparat penegak hukum harus bisa memberi bukti yang konkrit kepada publik.

Sebuah Fakta Lembaga peradilan kini sudah impoten, tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam kitab. Hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu membayar pengacara. Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari “Kasih Uang Habis Perkara”. Dunia benar-benar sudah terbalik. Kasus-kasus besar seperti korupsi dan kawan-kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus sederhana yang mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan bahkan dibesar-besarkan.

Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil atau kejahatan perdata ringan langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya. Asas hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak hukum. Fakta itu terurai secara telanjang.
Hukum Yang Berkasta 
Beda golongan beda proses, itulah yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan terhadap orang orang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial dan akses kekuasaan, sehingga yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media massa dan opini publik. Sangat berbeda jika penyelenggara negara dan aparat hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat lamban. 

Ada berbagai factor yang menghambatnya bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan besar dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa dibelokkan. Cara, memanfaatkan celah
hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya tidak boleh ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu, dua ketua umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah. 
KPK seolah gagal merintis ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau dibuat lumpuh sehingga gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan, keberanian, dan profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu gampang dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil. Realitas hukum yang hanya tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah memprihatinkan. Hendak dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa demokrasi Indonesia mendapat pujian dunia internasional. Proses hukum tak berdaya menghadapi orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan, termasuk otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau tepatnya mengkritik, siapsiaplah menghadapi tuntutan hukum. 

Restorative Justice 
Nampakmya kasus yang ditimpakan kepada Nenek Asyani, koreksi terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpati. 
Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan
hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif). 
Kenyataan realitas berkata lain, lebih banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat kebanyakan. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada hukum rimba di hutan belantara. 
Kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah contoh yang patut dijadikan pelajaran, meskipun dengan alasan penegakan hukum. Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil seperti pada Nenek Asyani? 
Restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak selalu harus berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada tindak pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan.

Kenapa tidak, sekiranya pelaku dan korban pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa menghentikan penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan. Hukum acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum. Tetapi semuanya terkesan aneh karena justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas gedongan yang bermasalah. Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya mengacu pada banyaknya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa besar kualitasnya. 
Pada proses peradilan pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Konsep restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung kerugiannya, sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari keadilan.
HUKUM TUNDUK PADA KEKUASAAN
Bukan rahasia umum kondisi hukum ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya. Hukum bisa sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Seharusnya, ketika ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis. Perbuatannya apa, bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, bagaimana keputusannya. Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik. Tetapi, banyak anomali-anomali yang terjadi. Misalnya kasus pencurian, tuduhannya pencurian, tetapi anomali yang terjadi bisa saja berbeda atas kedudukan status sosialnya. Jika nanti kasusnya terjadi kepada yang status sosial kalangan bawah, maka proses penegakan hukumnya cepat dan mudah dalam penahanan. Namun sebaliknya jika terjadi pada orang yang status sosialnya tinggi yaitu berkuasa dalam masalah keuangan dan politik. Inilah yang menjadi problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam kasus ini sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyrakat yang tentunya dipertanyakan bahwa di manalah keadilan bagi “wong cilik”. Masyarakat sering tidak percaya dengan proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam melihat proses penegakan hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.
Dilihat dari perspektif hukum yang pernah di jalani, sebenarnya bila ada laporan tentang sebuah kejadian yang diduga sebagai tindak pidana, tugas polisi adalah mengumpulkan informasi atau data yang masuk sebanyak-banyaknya, yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti atau barang bukti sehingga mengkonstruksikan apakah dari informasi dan data ini atau dapat mengkonstruksikan pasal pidana. Selanjutnya dari anatominya yang melihat unsur-unsur dari jaksa dan selanjutnya masuk dalam proses pengadilan. Dalam proses penegakan hukum Terminologinya adalah “barangsiapa” jadi siapa saja bisa mengalami proses hukum. Nanti jika yang menyangkut soal kepemilikan dipersoalkan tersendiri.
Keadilan “hukum” bagi kebanyakan masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Adanya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Satjipto Rahardjo menyebutkan ini sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.
Banyak fakta Adanya  diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat.
Keterpurukan praktik ber”hukum” di negara kita ini yang mewujudkan dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara ber”hukum” yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Untuk itu diperlukan penegak hukum yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk melakukan penegakan hukum khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya polisi, jaksa, dan hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya. Jangan sampai kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi. Karena penegak hukum yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang bersih.

PENUTUP
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.





Referensi
Student Guide to Donald Black’s. 2006. Behavior of Law Ralph B. Taylor Department of Criminal Justice Temple University

Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing..

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Wignjosoebroto, Soetandyo 2008. "Dari hukum kolonial ke hukum nasional” Bayu Media. Malang



No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...