HUKUM YANG TAJAM KE BAWAH, TUMPUL KE
ATAS
MENJADI SIMBOL BARU KEADILAN DI INDONESIA
Oleh:
Dr. H.
Rumadi, SE., SH., M.Hum
Istilah Hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas ini mungkin sudah
lumrah di masyarakat Indonesia saat ini maksud dari istilah tersebut adalah
salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum
masyarakat kelas menengah ke bawah, Coba bandingkan dengan para Koruptor yang
notabene adalah para penjabat kelas ekonomi ke atas, baik mulai dari tingkat
anggota DPRD kota hingga para mantan menteri pun terjerat dengan kasus korupsi.
Sebenarnya ada banyak kasus besar yang jelas-jelas merugikan negara
karena ulah penggarong uang negara, nasib kasusnya tidak jelas. Para koruptor
bebas berlenggang, berleha-leha di luar negeri, tidak tersentuh hukum. Yang masih hangat baru-baru ini adalah Kisah
yang dialami nenek Asyani (63) ini benar-benar menggambarkan pepatah yang
populer di masyarakat, hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Asyani diseret ke Pengadilan Negeri Situbondo Jawa Timur dengan
tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng,
Situbondo. Saat menjalani persidangan ketiga pada 12 Maret, Asyani
sampai-sampai duduk bersimpuh dan menangis di depan majelis hakim, memohon
pengampunan. Sang pelapor Asyani, Sawin (mantri Perhutani), tertegun melihat
Asyani. Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, itu
menjalani sidang dengan jadwal tanggapan jaksa atas pembelaan kuasa hukum
terdakwa. Mulanya, Asyani diam tertunduk mendengarkan tanggapan jaksa penuntut
umum, Ida Haryani, selama 30 menit.
Setelah jaksa penuntut membacakan tanggapannya, Asyani langsung
menangis histeris. Dia menuding Sawin, yang berdiri di pintu samping ruang
sidang. "Sawin, kamu yang tega memenjarakan saya. Padahal saya sudah
datang ke rumahmu untuk meminta maaf. Kamu tega sama saya," tutur Asyani
berteriak lalu terdiam setelah ditenangkan oleh kuasa hukumnya, Supriyono. Asyani
adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani
dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa setempat. Asyani
dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014.
Nenek empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Selain Asyani,
tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil
pick up, Abdussalam; dan Sucipto, tukang kayu.
Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki
bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan
Perhutani. "Terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu
tersebut," katanya. Supriyono menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya
terlalu formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati
itu ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada 2010. "Ada
surat keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani,"
ucap Supriyono. Sebelumnya, Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di
hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu
peninggalan suaminya yang telah meninggal.
Lain
lagi kasus menimpa Yusman Telaumbanua digunung Sitolis Sumatera Utara,
pengadilan setempat memvonisnya dengan hukuman mati meski tergolong anak
dibawah umur. Jika mengacu pada undang-undang perlindungan anak terdakwa yang
masih dibawah umur hanya mendapatkan hukuman maksimal 10 tahun penjara, komisi
untuk orang hilang dan korban tindakan kekerasan KONTRA mengadukan kasus ini ke
komisi yudisial. Hakim dianggap mengesampingkan fakta dipengadilan meski
mengetahui penyidik telah memalsukan umur terdakwa.
Salah
satu perwakilan KONTRA mengatakan:"Salah satu terpidana yang bernama
Yusman Telaumbanua itu pada saat vonis ditahun 2013 itu diduga usianya masih
dibawah umur". Kini yang menjadi pertanyaan besar apakah masih ada sedikit
keadilan bagi rakyat kecil?. Akibat edukasi yang minim, kalangan menengah
kebawah kerap dipermainkan oleh aturan hukum. Setiap orang berhak mendapatakan
perilaku yang sama didepan hukum tanpa kecuali aparat penegak hukum harus bisa
memberi bukti yang konkrit kepada publik.
Sebuah
Fakta Lembaga peradilan kini sudah impoten, tidak bisa menjalankan fungsinya
dengan baik. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam
jantung, namun bagi para petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam
kitab. Hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu membayar pengacara.
Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari “Kasih Uang Habis Perkara”. Dunia
benar-benar sudah terbalik. Kasus-kasus besar seperti korupsi dan
kawan-kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus sederhana yang
mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan bahkan dibesar-besarkan.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma
yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan
yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan
negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang
hanya melakukan tindakan pencurian kecil atau kejahatan perdata ringan langsung
ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang
melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan
bebasnya. Asas hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak
hukum. Fakta itu terurai secara telanjang.
Hukum Yang Berkasta
Beda golongan beda
proses, itulah yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum
berjalaan terhadap orang orang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan
finansial dan akses kekuasaan, sehingga yang bisa membantunya hanyalah
pemberitaan media massa dan opini publik. Sangat berbeda jika penyelenggara
negara dan aparat hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat
lamban.
Ada berbagai factor yang menghambatnya bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan besar dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa dibelokkan. Cara, memanfaatkan celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya tidak boleh ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu, dua ketua umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah.
KPK seolah gagal merintis
ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau dibuat lumpuh sehingga
gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan, keberanian, dan
profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu gampang
dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil. Realitas hukum yang hanya
tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah memprihatinkan. Hendak
dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa demokrasi Indonesia
mendapat pujian dunia internasional. Proses hukum tak berdaya menghadapi
orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan, termasuk
otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau
tepatnya mengkritik, siapsiaplah menghadapi tuntutan hukum.
Restorative Justice
Restorative Justice
Nampakmya kasus yang
ditimpakan kepada Nenek Asyani, koreksi terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh
jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpati.
Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif).
Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif).
Kenyataan realitas
berkata lain, lebih banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap
defensif, tidak berani berpihak pada rakyat kebanyakan. Seolah-olah rakyat
kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada hukum rimba di hutan
belantara.
Kasus Nenek Minah yang
dituduh mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah
contoh yang patut dijadikan pelajaran, meskipun dengan alasan penegakan hukum.
Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative
justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil
seperti pada Nenek Asyani?
Restorative justice
adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak selalu harus
berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada tindak pidana ringan
yang ancaman pidananya juga ringan.
Kenapa tidak, sekiranya pelaku dan korban pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa menghentikan penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan. Hukum acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum. Tetapi semuanya terkesan aneh karena justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas gedongan yang bermasalah. Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya mengacu pada banyaknya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa besar kualitasnya.
Pada proses peradilan
pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban,
sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan
antara korban dan pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama
antara korban dan pelaku. Konsep restorative justice memberi kesempatan
bagi korban menghitung kerugiannya, sedangkan pelaku memberikan ganti rugi.
Maka itu, realitas hukum “tajam ke bawah, tumpul
ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari keadilan.
HUKUM TUNDUK PADA KEKUASAAN
Bukan rahasia umum kondisi hukum
ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan
politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika berhadapan
dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya. Hukum bisa
sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan secara
otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Seharusnya, ketika
ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis. Perbuatannya apa,
bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, bagaimana keputusannya.
Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik.
Tetapi, banyak anomali-anomali yang terjadi. Misalnya kasus pencurian,
tuduhannya pencurian, tetapi anomali yang terjadi bisa saja berbeda atas
kedudukan status sosialnya. Jika nanti kasusnya terjadi kepada yang status
sosial kalangan bawah, maka proses penegakan hukumnya cepat dan mudah dalam
penahanan. Namun sebaliknya jika terjadi pada orang yang status sosialnya
tinggi yaitu berkuasa dalam masalah keuangan dan politik. Inilah yang menjadi
problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam
kasus ini sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyrakat yang tentunya
dipertanyakan bahwa di manalah keadilan bagi “wong cilik”. Masyarakat sering
tidak percaya dengan proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam
melihat proses penegakan hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.
Dilihat dari perspektif hukum
yang pernah di jalani, sebenarnya bila ada laporan tentang sebuah kejadian yang
diduga sebagai tindak pidana, tugas polisi adalah mengumpulkan informasi atau
data yang masuk sebanyak-banyaknya, yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti
atau barang bukti sehingga mengkonstruksikan apakah dari informasi dan data ini
atau dapat mengkonstruksikan pasal pidana. Selanjutnya dari anatominya yang
melihat unsur-unsur dari jaksa dan selanjutnya masuk dalam proses pengadilan.
Dalam proses penegakan hukum Terminologinya adalah “barangsiapa” jadi siapa
saja bisa mengalami proses hukum. Nanti jika yang menyangkut soal kepemilikan
dipersoalkan tersendiri.
Keadilan “hukum” bagi kebanyakan
masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang.
Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses
politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald
Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is
greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh
seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah
atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi,
namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses
keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk
mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Adanya Fenomena ketidakadilan
hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya berbagai
aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan
sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005),
supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah
terwujud dalam realitas riilnya. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin
menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin
memburuk.
Satjipto Rahardjo menyebutkan ini
sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita. Berbagai
hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan dengan baik.
Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di
Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang
berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik),
namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.
Banyak fakta Adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka
yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa
dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase
saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat
miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan
realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau
peraturan. Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini
tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan
positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali
mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa
nurani dan akal sehat.
Keterpurukan praktik ber”hukum”
di negara kita ini yang mewujudkan dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum,
terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Sudah saatnya kita tidak
sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic,
yakni cara ber”hukum” yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule
bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto
Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas
hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik
dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis,
diharapkan selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih
riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah
keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Untuk itu diperlukan penegak
hukum yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk melakukan penegakan hukum
khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya polisi, jaksa, dan
hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya. Jangan sampai
kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi. Karena penegak hukum
yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang
didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang
bersih.
PENUTUP
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang
sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri
tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa
Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian
pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak
semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan
penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata
masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun
waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang
sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu
negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana
masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur
semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan
kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik
pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri
ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus
ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari
kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari
individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang
kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan
kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak
berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk
bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan
diterima oleh masayarakat dan Negara.
Referensi
http://www.lpmdinamika.co/serba-serbi/opini/penegakan-hukum-indonesia-tajam-ke-bawah-tumpul-ke-atas/
Student Guide to Donald Black’s. 2006. Behavior of Law Ralph B.
Taylor Department of Criminal Justice Temple University
Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial
Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta:
Genta Publishing..
Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Wignjosoebroto, Soetandyo 2008. "Dari hukum kolonial ke hukum
nasional” Bayu Media. Malang
No comments:
Post a Comment