D. Jarwoko |
Selain peristiwa penusukan tersebut yang patut kita sesalkan adalah respon media sosial mengenai hal tersebut dalam bentuk komentar yang terkesan asal dan tidak bermoral dari sejumlah tokoh publik yang menganggap insiden jahat dan serius tersebut seolah sebuah rekayasa atau settingan belaka.
Beberapa publik figur seperti novelis sekaligus anak seorang yang diangap tokoh bangsa kita sebut Hanum Rais hingga musisi anggota SID sekelas Jerinx pun akhirnya dilaporkan ke kepolisian hanya karena membuat statement di media sosial milik pribadinya yang cenderung menggiring opini negatif tentang kejadian itu.
Komentar bernada miring dan seolah tidak berdasar dari Hanum putri Amien Rais terang terangan menganggap insiden tersebut ke arah isu playing victim pemerintah. Bahkan yang lebih lucu statemen dari Jerinx, personel band Superman Is Dead, mempertanyakan ukuran belati yang disebutnya terlalu kecil. Dia begitu mudah mengesampingkan kemungkinan belati beracun yang dipakai pelaku. Bahkan kemungkinan akan tertangkap lebih dulu jika pelaku menggunakan senjata ukuran yg lebih besar seperti katana atau samurai jepang.
Selain kedua orang di atas sejumlah akun medsos ikut diperkarakan. Akun-akun tersebut antara lain milik Jonru Ginting yg entah kenapa ga ada kapoknya, Gilang Kazuya Shimura, dan Bhagavad Shamabada. Para publik figur diatas seolah menganggap hal yang di publishnya adalah hal biasa, tidak bisa dipungkiri kecenderungan mereka sebagai oposan akut telah terbiasa menganggap kebencian dan dendam sebagai hal wajar. Nalar mereka sudah kronis yang berefek pada proses pendangkalan cara berpikir.
Tetapi menurut pandangan penulis hal tersebut tidak semengerikan adanya kabar tak sedap adanya akun medsos keluarga TNI aktif yang diduga ikut menyebarkan opini sesat peristiwa penusukan Wiranto. Bahkan gara-gara postingan sang istri di Facebook, Dandim Kendari yaitu Kolonel HS, ditahan dan dicopot dari jabatannya. Kolonel HS juga harus menjalani hukuman disiplin militer selama 14 hari.
Isi postingan IPDN di media FB nya tak beberapa lama selang insiden penusukan Wiranto adalah :
'Jangan cemen pak,...Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang.
Kemudian:
'Teringat kasus pak setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti.
Dalam postingannya IPDN memang tidak secara jelas menyebut nama Menkopolhukam Wiranto, tapi bukankah sudah jelas arahnya kemana tentunya yang bersangkutan harus menjelaskan di pengadilan atas isu apa dia melontarkan kalimat-kalimat itu. Selebihnya atas pernyataannya Ibu Persit (Persatuan Istri Tentara) satu ini juga harus mengungkap darimana ia memperoleh informasi adanya jutaan rakyat (Indonesia?) yang mati.
Bukan hanya IPDN, komentar negatif lainnya datang dari FS, istri Peltu YNS anggota Satpomau Lanud Muljono, Surabaya. Ibu Persit FS secara terang-terangan mengatakan dugaan kejadian di alun-alun Menes adalah drama Wiranto sebagai pengalihan isu pelantikan. Dan yang lebih keji lagi adalah bahwa jika kejadian itu benar maka ia mendoakan agar si penyerang Wiranto baik-baik saja dan yang ditusuk semoga lancar kematiannya!
Tidak berhenti disitu ternyata masih ada kabar yang berasal dari Bandung. Ibu Persit berinisial LZ, istri Sersan Dua Z yang bertugas di Detasemen Kavaleri Berkuda, diamankan aparat atas ujarannya yang tidak mencerminkan seorang anggota keluarga TNI. Serta Masih terbuka kemungkinan ada beberapa lainnya yang tak terungkap, komentar negatif dari lingkungan TNI (atau Polri) atas musibah yang menimpa pejabat tinggi negara.
Relita yang ada mengingatkan kita pada analisis Menhan Ryamizard soal adanya 3% anggota TNI-Polri yang terpapar paham radikalisme. Kasus-kasus besar belakangan ini telah menyeret sejumlah jenderal purnawirawan: peristiwa kerusuhan 21-22 Mei lalu dan rencana aksi untuk menggagalkan pelantikan presiden 19 Oktober nanti. Mereka antara lain Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen, Mayjen TNI (Purn.) Soenarko, Laksamana Muda (Purn.) Sony Santoso, dan mantan KSAL Laksamana (Purn.) Slamet Soebijanto.
Untuk itu sudah saatnya pemerintah dalam hal ini TNI, Polri, BIN, Polisi Militer dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila harus bertindak cepat. Sudah terbukti paham radikalisme menyusup di lingkungan kampus, di kalangan ASN, di tempat ibadah, dalam ormas bahkan hingga siswa sekolah dan guru.
Sudah selayaknya sebelum program deradikalisasi dilakukan di elemen masyarakat yang lain dan mereka yang terlibat jaringan, TNI dan Polri harus membersihkan diri di kalangan mereka sendiri dahulu. Secepatnya sebelum meluas dan membesar Keterlibatan sebagian kecil anggota TNI dan Polri dalam gerakan radikal pasti berdampak serius, memberi pesan menyesatkan pada masyarakat.
Kalau tidak segera dilakukan deradikalisasi di tubuh TNI –POLRI bukan tidak mungkin nantinya kalangan awam yang terpapar akan beranggapan bahwa gerakan radikal untuk merongrong pemerintahan yang sah mendapat dukungan militer sehingga menimbulkan kepercayaan diri yang keliru dalam cara berpikir, berbicara (komentar), dan bertindak mereka. Mereka berpikir apa yang dilakukannya mendapatkan pembenaran bahkan dari kalangan militer sendiri, tidak hanya dari petinggi-petinggi sipil dari ormas atau partai tertentu.
Akhirnya penulis berpendapat upaya pengawalan ketat kepada pejabat tinggi pemerintah sangat urgen dan harus dilakukan tapi hal tersebut akan menjadi sia-sia jika penyebab radikalisme tidak dilakukan, deradikalisasi sangat urgen, dimulai dari lingkungan TNI-Polri sendiri dan keluarganya. Resiko yang sedang kita hadapi sudah sangat serius.
Kurang berserah diri kepada Alloh, kemusyrikan merajalela, ketidakadilan dikesampingkan, jurang kemiskinan makin lebar. Banyak masyarakat yg kurang beruntung krn tdk mendapat kue pembangunan. Semoga Alloh menyelamatkan masyarakat yg berserah diri hanya kpd Alloh. Aamiin
ReplyDelete