PERANAN HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MERUBAH
MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
A. Dasar Pemikiran
Salah satu
keharusan yang dicatat oleh sejarah yang tidak bisa dihindari manusia adalah
tuntutan dinamika, perubahan, perkembangan dan pembaharuan dalam kehidupannya,
baik dalam aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial maupun aspek
hukum. Pembaharuan itu menjadi konsekuensi logis historis yang mengikuti dan
mendasari kehidupan manusia.
Tuntutan
tersebut akan menjadi jawaban bagi pemenuhan kepentingan hidup manusia. Begitu
kepentingannya sudah terpenuhi, tidak lantas hal ini bisa dikatakan telah
berakhir atau mencapai puncaknya. Di tengah proses perjalanan hidup manusia itu
sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai warga negara, adalah terbuka
kemungkinan terjadi dialektika (diskursus), evaluasi dan reformasi untuk
melengkapinya atau mengisi berbagai kekurangan dan kepentingan-kepentingan
lainnya.
Begitu pula
dalam kehidupan bernegara, yang salah satunya menempatkan aspek hukum sebagai
suatu supremasi, yang menurut konstitusi kita (UUD 1945) telah menguatkan
posisi negara menjadi “negara hukum” (rechstaat), maka karya-karya legislatif
yang merupakan implementasi secara yuridis-organik dari konstitusi juga
mengharuskan adanya pembaharuan yang sejalan dengan konstitusi dan kepentingan
hidup, termasuk hak-hak warga negara.
Seperti kita
ketahui proses perubahan hukum (pembaharuan hukum) terus berjalan, seiring dengan laju sejarah
peradaban manusia. Tanda-tanda perubahan ini bisa dilihat dari adanya
pergeseran fungsi hukum, yaitu dari fungsi hukum sebagai sarana pencegah
konflik atau penyelesai konflik, yang sering disebut “sarana ketertiban dan
keamanan”, sampai pada “hukum sebagai sarana
pembangunan”.
Berarti
selama kurun waktu ini telah terjadi suatu pergolakan pembaharuan hukum yang
cukup spektakuler, mengingat posisi normatif yuridis atau eksistensi
teori-teori hukum telah mengalami perkembangan dan pembaharuan fungsi dan
orientasinya.
Semula
posisi fungsi hukum merupakan sarana pencegahan konflik, artinya berbagai kasus
yang timbul antar warga negara dengan negara dapat dijembatani oleh hukum untuk
diselesaikan, namun fungsi ini kemudian mengalami perkembangan dan pergeseran
(pembaharuan), yaitu bergeser pada hukum sebagai alat kepentingan pembangunan
atau yang populer disebut “hukum sebagai alat untuk menjaga kewibawaan negara”.
Gerakan
revolusi (bisa jadi ada yang menyebut hal demikian sebagai reformasi) biasanya
ditandai dengan kekerasan dan banyaknya jatuh korban. Seperti pada revolusi
Perancis tahun 1789 dan Revolusi Balshefik pada tahun 1917, yang keduanya telah
diwarnai dengan kekerasan, pengorbanan, termasuk terjadinya perusakan struktur
konstitusional dan hukum yang ada.
Akhirnya
digantilah konstitusi, pemaknaan teori-teori hukum dan tertib hukum yang lama
dengan yang baru, yaitu sejak konstitusi Jerman dan Jepang setelah perang dunia
ke II, sebagai hasil kemenangan melawan Rezim Nazi waktu itu. Pemaknaan
terhadap teori-teori hukum mengalami berbagai macam tafsir atau intepretasi
sesuai dengan perubahan hidup atau gesekan sejarah kehidupan politik suatu
rezim.
Hal itu
menunjukkan bahwa pergeseran pada aspek-aspek kehidupan lain dalam suatu bangsa,
apalagi jika perubahan-perubahan bersifat keras (radikal) atau menuntut
pergantian hal-hal mendasar, seperti tuntutan amandemen (perubahan/
pembaharuan/ kaji ulang) konstitusi, maka resikonya akan membawa perubahan
besar bagi kelangsungan hidup negara dan bangsa itu.
Berbagai
unsur sosial bukan tidak mungkin akan dihadapkan dengan pro- kontra, antara
unsur sosial yang tetap mempertahankan pola dan teori-teori yang sudah diakui
kebenarannya dengan unsur sosial lain yang menuntut adanya perubahan dan
pemaknaan ulang terhadap wacana lama yang telah diragukan kebenarannya dan
kemanfaatannya bagi kehidupan dan perkembangan bangsa.
Tiga puluh
tahun kemudian misalnya, di Amerika muncul reaksi yang sering dikenal dengan
“Pembangkangan Sipil” (Civil disobedience)
yang dipelopori oleh masyarakat Negro. Mereka menuntut persamaan sosial, ekonomi dan
hukum dengan warga negara kulit putih. Sampai pada puncaknya keluarlah Putusan
Mahkamah Agung Amerika tentang persamaan hak bagi warga negara kulit hitam dan
kulit putih. Begitu seterusnya perubahan hukum terjadi sejalan dengan perubahan
sosial yang ada.
Kasus
“Pembangkangan Sipil” itu merupakan manifestasi perlawanan terhadap penerapan
suatu tatanan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak
menjembatani kepentingannya, bersinggungan dengan hak-hak publik maupun
privasinya atau berlawanan dengan hak-hak asasinya secara universal. Mereka
(warga kulit hitam) menuntut adanya persamaan hak yang dijamin oleh suatu
kepastian hukum yang tidak memihak atau menguntungkan warga kulit putih.
Kasus itu
justru mendeskripsikan atau menggambarkan bahwa suatu pembaharuan hukum akan
sulit dihindari dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan, tatkala warga
bangsa menilai bahwa ada beberapa hak publik maupun privatnya yang menuntut
jaminan kepastian lewat suatu perubahan perlindungannya.
Negara
selaku organisasi yang harus bertindak moderat melalui badan-badan eksekutif,
legislatif dan yudikatifnya tentu saja punya kewajiban untuk melahirkan,
mengkaji ulang, melakukan reposisi peran atau membuka tafsir ulang terhadap teori-teori
lama dan pemaknaan terhadapnya.
B. Lingkup Permasalahan
Berpijak pada
dasar pemikiran itu, penulis mencoba menawarkan suatu kerangka pemikiran yang
dibangun oleh Thomas, S. Khun, yang berkaitan dengan teori hukum yang
dipijakinya. Belajar dari pemikiran
seorang pakar akan menghadirkan suatu wacana baru atau ide komparatif
yang dapat mendukung, membenarkan atau sebaliknya merevisi dan memperbaharui
ide-ide yang telah diakui kebenarannya di tengah masyarakat.
Paradigma
yang dibangun Thomas S. Khun itu diajukan dalam pembahasan ini untuk menjawab
atau sekurang-kurangnya membandingkan tuntutan pembaharuan hukum, dan dari
pembaharuan hukum dapat diperankan sebagai alat memperbaharui kehidupan
masyarakat. Bagaimanapun, setiap tuntutan dalam pembaharuan kehidupan hukum
haruslah punya landasan teoritis yang memadai dan dapat dijadikan tolok ukur
yang konstruktif.
C. Hukum
dan Perubahan Sosial
Paradigma
yang dibangun oleh Thomas S. Khun, terkait dengan kehidupan masyarakat. Sesudah
Thomas S. Khun itu, pakar-pakar di Indonesia banyak yang mendiskursuskan
(membahas secara cermat) relasi hukum, kekuasaan dan masyarakat. Ketiganya
menjadi fokus perhatian, mengingat posisi masing-masing yang saling mendukung
dan mempengaruhinya.
Misalnya dalam
karya tulis ilmiah yang pernah ditulis oleh penulis (Hukum Dan Perubahan
Sosial) telah menguraikan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan
perubahan sosial, yaitu:
1.
Hukum sebagai sarana kontrol
sosial
2.
Hukum sebagai sarana social engineering
Sebagai sarana kontrol sosial, hukum
diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi (termasuk
merubah/mereformasi) orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan
masyarakat. Dalam teori ini jelas mengisyaratkan posisi fungsional hukum yang
bertindak sebagai kekuatan yang mengawasi roda kehidupan bermasyarakat.
Perilaku
anggota masyarakat selalu dalam pantauan dan pertanggungjawaban hukum. Apa yang
diperbuat oleh anggota masyarakat harus berhadapan dengan kekuatan hukum.
Secara teoritis, perilaku masyarakat harus sesuai dengan norma yang telah
diberlakukan. Jika bertentangan dengan norma yang telah digariskan, maka akan
ada tindakan atau sanksi-sanksinya.
Dalam
perspektif teori seperti itu, apa yang dilakukan atau dikerjakan masyarakat
bukanlah sebagai wujud menentukan tindakan sesuai dengan kemauan dan kebebasan
sendiri, namun sebagai pihak yang ditentukan dan diawasi cara bergaul, berelasi
atau berorganisasinya.
Kontrol
sosial (social control) tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai
aktivitas yang melibatkan penggunaan daripada kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang terorganisir. Dalam terminologi ini, hukum kelihatan bersifat
statis yaitu sekedar sebagai sarana memecahkan masalah secara konkrit untuk
mengatur interaksi sosial masyarakat.
Demikian
pula misalnya yang harus dihindari adalah agar tindakan organ pemerintahan
tidak mengarah/melakukan perbuatan kesewenang-wenangan, untuk itu diperlukan
upaya pengawasan secara yuridis terhadap tindakan organ pemerintahan yang
bersangkutan, disamping organ pemerintahan tersebut harus mempertanggung
jawabkan tindakannya secara hukum dan moral.
Hukum
sebagai kekuatan kontrol sosial itu menggunakan pembenaran teori hukum yang
condong bersifat menempatkan negara sebagai organisasi yang paling bertanggung
jawab dalam pemberdayaan hukumnya. Teori-teori hukum dipinjam untuk
menghidupkan hukum sebagai alat mengawasi perilaku anggota masyarakat dan menyelesaikan sejumlah problem yang
muncul ditengah masyarakat.
Kepentingan
interaksi sosial lebih dominan dilindungi dari perilaku anggotanya yang
kemungkinan merugikan atau melanggar norma-norma. Hal ini biasanya dibebankan
lewat sejumlah alat-alat negara yang sudah ditunjuk menjadi penegak hukumnya,
sehingga teori-teori hukum yang dibangun para pakar dapat terlihat
implementasinya secara empirik. (das sein).
Teori-teori
hukum memang baru dapat terlihat nilai-nilai urgensinya ketika sudah teruji
dalam realitas pelaksanaan hukumnya. Kemudian melalui implementasi ini, pelaksana
dapat melontarkan asumsi, wacana dan kritik terhadap teori-teori yang dimaksud.
Ada yang membenarkan nilai-nilai urgensinya setelah implementasinya bermanfaat,
namun ada pula yang tidak mengakui dan belum
mau menerimanya ketika hal itu tidak berdampak pada perubahan dan
pembaharuan kepentingan-kepentingannya. Hal ini tidak terlepas dari peran
negara yang diposisikan paling menentukan terhada p eksistensi hukum.
Sejak
permulaan abad ke-20 dengan munculnya ajaran Sosialisme dengan disertai adanya
revolusi industri timbullah perubahan-perubahan terutama di negara Eropa/Barat.
Negara yang dahulunya menganut sistim “Staatsonthouding”
(negara yang tidak turut serta dalam segala urusan kehidupan masyarakat).
Dalam hal
ini para pakar hukum di Indonesia menyatakan: “Negara modern bukan hanya
seperti negara hukum abad-19, akan tetapi merupakan negara kesejahteraan atau
disebut juga negara hukum sosial. Di dalam negara hukum liberal, undang-undang
dasarnya ditujukan untuk melindungi kebebasan individu, hal mana menjadi dasar
pemikiran bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang”.
Pada
negara-negara sosialis, pandangan tersebut telah berubah, hak-hak individu di
bidang ekonomi, sosial dan budaya wajib diselenggarakan oleh pemerintah.
Pemerintah wajib menyelenggarakan kesejahteraan bagi rakyat, kesehatan dan
pendidikan. Kewajiban pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya ini terumus
secara tegas dalam perundang-undangan. Hal ini sebagai suatu pijakan agar tidak
salah dan meluas dalam pengambilan kebijakan atau keputusan-keputusan di bidang
ketatanegaraan.
Konsekuwensi
dari penyelenggaraan pemerintahan adalah semakin banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah dengan masyarakat, berarti
pula semakin banyak wewenang yang diberikan kepada organ pemerintah untuk
melakukan tindakannya. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ini juga
mendapatkan kontrol yang ketat dari hukum.
Lain halnya
pendapat yang menyebut bahwa hukum sebagai sarana social engineering, orientasi hukum tidak lagi ditujukan untuk
memecahkan masalah semata, akan tetapi berkeinginan untuk menimbulkan
perubahan-perubahan dalam tingkah laku anggota masyarakat. Hukum sebagai sarana
social engineering adalah penggunaan
hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum dan keadaan masyarakat
sebagaimana yang dicita-citakan, atau meminjam istilah dari pakar hukum Mochtar
Kusumaatmadja, “hukum yang hidup “the
living law” dalam masyarakat (1976:8). Wajah hukum seperti ini bisa
disepadankan pada hukum modern sebagai lawan dari hukum tradisional. (Sudjono
Dirjosisworo, 1983:77).
Berdasarkan
paradigma itu, posisi hukum ditempatkan sebagai kekuatan yang mampu menimbulkan
perubahan-perubahan perilaku ditengah masyarakat. Artinya, teori-teori hukum yang
menjadi landasan berlakunya hukum diposisikan sebagai spirit normatif yang
dapat memodernisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam paradigma
seperti itu, ada pesan edukatif (kependidikan) yang disampaikan lewat
pemberlakuan suatu hukum. Hukum yang berlaku dalam masyarakat, secara teoritis
merupakan kumpulan aturan-aturan atau norma- norma yang dapat mendidik
masyarakat untuk diarahkan menuju cita-cita yang diinginkan.
Kumpulan
aturan- aturan itu mengajarkan kepada anggota masyarakat mengenai cara
berperilaku yang benar, yang membuat anggota masyarakat menjadi pro-aktif untuk
meninggalkan paradigma dan perilakunya yang masih konservatif dan tidak
menguntungkan. Akhirnya, diantara anggota masyarakat tumbuh kompetisi secara
sehat dan profesional.
Tentunya
tidak hanya daya kerja hukum di atas, masyarakat mengalami perubahan, melainkan
karena beberapa faktor dan aspek kehidupan manusia lainnya, seperti pengaruh
lingkungan alam, sosial ekonomi, politik dan budaya juga merupakan pendorong
perubahan itu.
Namun
begitu, kehadiran hukum yang dirumuskan melalui pijakan prinsip dan teori, yang
ditempatkan sebagai senjata (alat) untuk mengawal dan merubah pola berelasi
secara vertikal maupun horizontal, antara kepentingan privat dan kepentingan
publik, merupakan faktor utama yang membenarkan, memperbolehkan dan mendukung
perubahan-perubahan yang dilakukan manusia.
Bagaimanapun
memang harus diakui bahwa pengaruh faktor-faktor di luar hukum cukup menentukan
gerak manusia untuk melakukan perubahan. Misalnya aspek ekonomi dapat mendorong
manusia untuk mengadakan transaksi- transaksi atau kegiatan- kegiatan yang
dapat memperbesar akses pembaharuan kehidupannya. Desakan kepentingan yang
beraspek ekonomi kadang-kadang mampu mengeliminasi aspek lain, seperti aspek
hukum.
Perubahan-perubahan
yang dimotori oleh faktor eksternal itu, dengan sendirinya mendesak hukum untuk
menyediakan seperangkat peraturan perundang-undangan yang bisa menjamin
kepastian hukum dan menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Sebagai contoh
lahirnya undang-undang Hak Cipta, Undang-undang mengenai Perlindungan Konsumen,
Undang-undang Lingkungan Hidup, dan undang-undang tentang Kesehatan. Berbagai
peraturan perundang-undangan ini lahir karena dipengaruhi oleh tuntutan dan perkembangan
masyarakat yang selalu berubah.
Saling
pengaruh mempengaruhi antara hukum dan masyarakat, telah memperkuat pandangan
tentang dinamika sosial dan dinamika hukum, atau dengan kata lain hukum berubah sejalan dengan perubahan
masyarakat itu sendiri. Jika hukum tidak menempatkan perubahan masyarakat
sebagai suatu paradigma kesejarahan yang niscaya dan terbuka, maka hukum akan
dituding ketinggalan jaman atau gagal menterjemahkan kepentingan dinamika
sosial. Kalau hukum sampai dituding demikian karena diperlakukan sebagai
kekuatan stagnasi, maka resikonya teori-teori hukum yang diidealkan akan mampu
mengimplementasi akhirnya gagal dan tidak terlihat nilai-nilai kegunaanya.
Dengan kata
lain, masyarakat yang berubah adalah disertai dengan perubahan struktur sosial
dan sistem hukumnya, baik itu terjadi secara evolusioner maupun revolusioner.
Ketika masyarakat itu menunjukkan perubahan yang fundamental dalam aspek-aspek
kehidupannya, maka pada aspek hukum akan terpengaruh pula secara fundamental,
sehingga perlu melakukan pembaharuan yang sejiwa dengan tuntutan perubahan.
Sebagai
sarana “Social Engineering”
kaidah-kaidah hukum secara tegas dan sadar berusaha membawa dan mengarahkan
anggota masyarakat untuk membangun berbagai aspek kehidupan menuju masyarakat
yang adil dan makmur. Seperti telah diamanatkan dalam GBHN bahwa sasaran bidang
pembangunan hukum adalah:
“Terbentuknya dan
berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD
1945, … yang mampu menjamin kepastian ketertiban, penegakan, dan perlindungan
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan
mendukung pembangunan nasional”.
Rumusan
tersebut cukup ideal jika dapat terwujud. Suatu sistem hukum yang mampu
menjawab berbagai macam tuntutan, aspirasi atau kepentingan masyarakat
merupakan sistem hukum yang sangat dibutuhkan. Namun seringkali hal yang ideal itu sulit terlaksana.
D. Paradigma
Baru
Secara sepintas
penulis akan menguraikan bagaimana paradigma yang dikembangkan, kemudian
mencoba menganalisis masalah-masalah di atas dengan paradigma ini. Mungkinkah
hal ini dilakukan? Suatu pertanyaan yang pertanyaan yang perlu di uji untuk
mencari solusinya.
Konsep
paradigma baru sebagaimana ditulis dalam karya tulis ilmiah “Hukum Dan
Perubahan Sosial” adalah untuk menentang asumsi yang berlaku umum di kalangan
ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi secara “kumulatif”.
Menurut pandangannya, mitos semacam ini harus dihilangkan . Sebab inti
paradigma baru yang penulis uraikan yaitu “Perkembangan ilmu pengetahuan
bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi secara revolusioner” (George Ritzer,
1992:4).
Model
perkembangan ilmu pengetahuan menurut penulis telah dirumuskan dalam rangkaian
proses sebagai berikut:
P1 –
Ns – A – P – P2
(sumber
diambil dari, buku Lili Rasjidi, Hukum sebagai Sistem, 1993:68-70)
Pada tahap
P1 (berpijak pada masalah di atas), berarti aspek kerja hukum dalam hubungannya
dengan perubahan sosial, hukum menempatkan diri sebagai sarana kontrol sosial (as a tool of social control) , yaitu
mengontrol pemikiran dan langkah-langkah subyek hukum agar selalu terpelihara dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Berarti secara inklusif didalamnya, peran penguasa sangat dominan, mengingat
terlaksananya hukum itu memerlukan paksaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan,
hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran
belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah sosial lainnya, yang juga
mengenal bentuk-bentuk paksaan, dalam hal ini kekuasaan memaksa itu diatur baik
mengenai cara, ruang gerak, maupun pelaksanaannya oleh hukum (Mochtar
Kusumaatmadja, 1976:4-5).
Ada suatu
garis pemikiran tahap P1 itu bahwa secara teoritis hukum itu merupakan
rangkaian, sistematika dan kumpulan ide-ide yang didukung oleh teori-teori yang
mengatur mengenai perilaku manusia baik perilaku yang boleh dikerjakan maupun
terlarang untuk dikerjakan. Dalam tahap pemahaman teori ini, hukum merupakan
“kekuatan tang tertera di atas kertas” yang tidak akan bisa menunjukkan
kekuatannya jika tidak dipaksakan penerapannya dalam kehidupan manusia.
Pemaksaan
berlakunya hukum itu menggunakan alat kekuasaan yang diberi tanggung jawab
untuk menjaga kewibawaan hukum dan menghindarkan hukum dari berbagai bentuk
perilaku yang dapat mengakibatkan stagnasi dan lumpuhnya hukum.
Normal Sciencei (Ns) adalah akumulasi
ilmu pengetahuan. Pada tahap ini hukum berada pada kondisi statis (konservatif)
yaitu hukum sebagai penjaga malam. Hukum hanya diam saja terhadap apapun yang terjadi di sekelilingnya, sepanjang tidak terjadi
pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, paradigma hukum sebagai saran kontrol
sosial telah diterima dan berlaku di masyarakat tradisional. Sehingga mau tidak
mau hukum sebagai kaidah sosial yang harus melakukan transformasi-transformasi
sosial dengan yang lainnya.
Pada tahap
itu (Ns), paradigma hukum terbatas sebagai penjaga perilaku masyarakat.
Sepanjang masyarakat tidak melakukan pelanggaran, maka hukum tidak perlu
diarahkan untuk menjadi pro-aktif. Secara teoritis, paradigma hukum demikian
hanya bersifat pasif atau menunggu dan mengawasi aktivitas sosial.
Masuklah
pada periode (A), yaitu periode pertentangan, dimana kelompok ilmuan tidak
dapat mengelakkan pertentangan dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Kondisi seperti ini bisa dianalogkan pada kondisi hukum yang sudah tidak lagi
mampu mengantisipasi tuntutan dan perkembangan masyarakat.
Pada tahap
itu, hukum berada dalam posisi kehilangan daya fungsionalnya. Eksistensi secara
normatif atau teoritisnya masih tetap diakui, namun ketika hal-hal yang
bersifat ideal itu diajukan untuk menjawab berbagai bentuk tindakan anomali,
yaitu kepada unsur unsur sosial yang secara terbuka dan berani menentang dan
menyimpangi hukum atau norma, seperti aksi-aksi kekerasan massal, maka hukum
itu kehilangan antisipasi dan daya kerjanya. Hukum gagal membaca dan menjadi
solusi terhadap problem-problem penyimpangan ditengah masyarakat.
Sampai pada
periode kritis (C), yaitu hukum sebagai sarana kontrol sosial (yang
dilambangkan dengan P1) telah mengalami ketidakmampuan dalam menjalankan
fungsinya. Memang hukumlah yang akan bertindak jika terjadi pelanggaran hukum
atau tindak pidana di masyarakat. Tetapi ia juga harus menciptakan kondisi
sosial yang baru yaitu dengan peraturan-peraturan hukum yang diciptakan dan
dilaksanakan. Terjadilah hukum sebagai sarana “social engineering”.
Pada periode
kritis ( C ) itu merupakan tuntutan yang lebih besar pada fungsi hukum, yang
tidak sebatas mengontrol dan mempertanggung jawabkan perilaku masyarakat, namun
juga harus menciptakan kondisi dan membimbing perilaku sosial secara kondusif.
Artinya, hukum yang dibuat oleh badan legislatif adalah mengandung misi untuk
memperbaharui kehidupan masyarakat.
Krisis ini
memang harus segera diakhiri, diganti dengan teori baru yang ditandai dengan
proses “Revolusi Science) (R) atau
revolusi hukum yang berfungsi “as a tool
social engineering”, yaitu perubahan sosisl dari keadaan hidup yang serba
terbatas menuju ke keadaan hidup yang sejahtera atau kehidupan yang baik.
Sebagai
konsekuensinya dari proses itu adalah harus dilakukan modernisasi hukum, apa
itu dengan atas nama reformasi atau revolusi, namun yang jelas suatu produk
hukum, yang barangkali di dukung oleh badan legislatif yang masih mengakui
paradigma konservatif haruslah diperbaharui dengan produk hukum baru yang dapat
membawa perubahan drastis di tengah masyarakat.
Bertolak dari
dasar proses di atas, lahirlah paradigma baru (dilambangkan P2) dimana hukum
sebagai perilaku sosial dan sebagai sarana perubahan masyarakat. Dalam konteks
negara Indonesia, masyarakat yang sedang membangun menuju era tinggal landas,
pemahaman hukum sebagai sarana kontrol sosial tidak berarti harus ditinggalkan,
tetapi justru harus ditopang dengan hukum dalam arti hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:11) atau hukum sebagai
sarana social engineering/
pembaharuan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Hukum dapat berperan
sebagai kekuatan inti yang mengontrol dan sekaligus memperbaharui kehidupan
masyarakat.
Paradigma yang
mengacu pada teori Thomas S. Kun itu merupakan gabungan peran yang tidak hanya
menempatkan hukum sebagai kontrol sosial, namun juga sebagai alat untuk
memperbaharui kehidupan masyarakat. Tugas hukum yang demikian berat ini
diharapkan implementasinya jika pembaharuan hukum ditempatkan juga sebagai
keharusan dengan berpijak kepada realitas aspirasi dan dinamika kehidupan
masyarakat.
Di Singapura
dapat dijadikan sebagai contohnya, bahwa kehadiran hukum yang bisa
diimplementasikan secara proporsional ternyata mampu berperan demikian besar
dalam mempengaruhi gaya hidup, kedisiplinan dan pola pikir masyarakatnya.
Singapura akhirnya menjadi contoh suatu masyarakat yang tingkat kedisiplinannya
sangat tinggi dan penegakan hukumnya dapat dijadikan teladan.
Untuk
mengakhiri tulisan ini, penulis kutipkan pendapat Baharuddin Lopa, mengenai
tiga komponen atau unsur dimungkinkannya tegaknya hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat:
1.
Diperlukan adanya peraturan
hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
2.
Adanya aparat penegak hukum
yang profesional dan memiliki integritas moral terpuji, dan
3.
Adanya kesadaran hukum
masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum (1987:4).
Pendapat guru
besar itu menunjukkan bahwa eksistensi hukum dapat menjadi hukum dapat menjadi
alat untuk menata, mempengaruhi dan memperbaharui kehidupan masyarakat. Pola
pikir dan perilaku masyarakat dapat diarahkan secara terbimbing ke arah yang
lurus dan konstruktif jika hukum dapat diberdayakan sebagai kekuatan strategis
untuk mempengaruhinya.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin
Lopa, Permasalahan Pembinaan dan
Penegakan Hukum di Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta. 1987.
George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, Penyalur Alimandan, Rajawali Pers. Jakarta. 1992
Lili
Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. 1993
––––––, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra
Aditya Sakti. Bandung. 1993
C.F.G.
Sunaryati Hartono. Politik Hukum dan
Pembangunan Hukum Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Pro Justisia,
Tahun XI, No. 4, Oktober 1994.
Philipus
M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya. 1987.
Syachran
Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap
Tindakan Administrasi Negara. Alumni. Bandung. 1992
Sudjono Dirjosisworo. Sosiologi Hukum : Studi tentang Perubahan Hukum dan Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.
Mochtar
Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan
Hukum dalam Pembangunan Nasional. Binacipta. Bandung. 1976.
Thomas
S. Kuhn. Peran Paradigma dalam Revolusi
Sains. Penyunting Lili Rasjidi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Walujo, D. A., & Subijantoro, D. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif.
Walujo, D. A., & Subijantoro, D. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif.
No comments:
Post a Comment