Tuesday, July 28, 2015

PERANAN HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MERUBAH MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

PERANAN HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MERUBAH MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI




A.  Dasar Pemikiran
                  Salah satu keharusan yang dicatat oleh sejarah yang tidak bisa dihindari manusia adalah tuntutan dinamika, perubahan, perkembangan dan pembaharuan dalam kehidupannya, baik dalam aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial maupun aspek hukum. Pembaharuan itu menjadi konsekuensi logis historis yang mengikuti dan mendasari kehidupan manusia.
                  Tuntutan tersebut akan menjadi jawaban bagi pemenuhan kepentingan hidup manusia. Begitu kepentingannya sudah terpenuhi, tidak lantas hal ini bisa dikatakan telah berakhir atau mencapai puncaknya. Di tengah proses perjalanan hidup manusia itu sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai warga negara, adalah terbuka kemungkinan terjadi dialektika (diskursus), evaluasi dan reformasi untuk melengkapinya atau mengisi berbagai kekurangan dan kepentingan-kepentingan lainnya.
                  Begitu pula dalam kehidupan bernegara, yang salah satunya menempatkan aspek hukum sebagai suatu supremasi, yang menurut konstitusi kita (UUD 1945) telah menguatkan posisi negara menjadi “negara hukum”  (rechstaat), maka karya-karya legislatif yang merupakan implementasi secara yuridis-organik dari konstitusi juga mengharuskan adanya pembaharuan yang sejalan dengan konstitusi dan kepentingan hidup, termasuk hak-hak warga negara.
                  Seperti kita ketahui proses perubahan hukum (pembaharuan hukum)  terus berjalan, seiring dengan laju sejarah peradaban manusia. Tanda-tanda perubahan ini bisa dilihat dari adanya pergeseran fungsi hukum, yaitu dari fungsi hukum sebagai sarana pencegah konflik atau penyelesai konflik, yang sering disebut “sarana ketertiban dan keamanan”, sampai pada “hukum sebagai sarana  pembangunan”.
                  Berarti selama kurun waktu ini telah terjadi suatu pergolakan pembaharuan hukum yang cukup spektakuler, mengingat posisi normatif yuridis atau eksistensi teori-teori hukum telah mengalami perkembangan dan pembaharuan fungsi dan orientasinya.
                  Semula posisi fungsi hukum merupakan sarana pencegahan konflik, artinya berbagai kasus yang timbul antar warga negara dengan negara dapat dijembatani oleh hukum untuk diselesaikan, namun fungsi ini kemudian mengalami perkembangan dan pergeseran (pembaharuan), yaitu bergeser pada hukum sebagai alat kepentingan pembangunan atau yang populer disebut “hukum sebagai alat untuk menjaga kewibawaan negara”.
                  Gerakan revolusi (bisa jadi ada yang menyebut hal demikian sebagai reformasi) biasanya ditandai dengan kekerasan dan banyaknya jatuh korban. Seperti pada revolusi Perancis tahun 1789 dan Revolusi Balshefik pada tahun 1917, yang keduanya telah diwarnai dengan kekerasan, pengorbanan, termasuk terjadinya perusakan struktur konstitusional dan hukum yang ada.
                  Akhirnya digantilah konstitusi, pemaknaan teori-teori hukum dan tertib hukum yang lama dengan yang baru, yaitu sejak konstitusi Jerman dan Jepang setelah perang dunia ke II, sebagai hasil kemenangan melawan Rezim Nazi waktu itu. Pemaknaan terhadap teori-teori hukum mengalami berbagai macam tafsir atau intepretasi sesuai dengan perubahan hidup atau gesekan sejarah kehidupan politik suatu rezim.
                  Hal itu menunjukkan bahwa pergeseran pada aspek-aspek kehidupan lain dalam suatu bangsa, apalagi jika perubahan-perubahan bersifat keras (radikal) atau menuntut pergantian hal-hal mendasar, seperti tuntutan amandemen (perubahan/ pembaharuan/ kaji ulang) konstitusi, maka resikonya akan membawa perubahan besar bagi kelangsungan hidup negara dan bangsa itu.
                  Berbagai unsur sosial bukan tidak mungkin akan dihadapkan dengan pro- kontra, antara unsur sosial yang tetap mempertahankan pola dan teori-teori yang sudah diakui kebenarannya dengan unsur sosial lain yang menuntut adanya perubahan dan pemaknaan ulang terhadap wacana lama yang telah diragukan kebenarannya dan kemanfaatannya bagi kehidupan dan perkembangan bangsa.

                  Tiga puluh tahun kemudian misalnya, di Amerika muncul reaksi yang sering dikenal dengan “Pembangkangan Sipil” (Civil disobedience) yang dipelopori oleh masyarakat Negro.  Mereka menuntut persamaan sosial, ekonomi dan hukum dengan warga negara kulit putih. Sampai pada puncaknya keluarlah Putusan Mahkamah Agung Amerika tentang persamaan hak bagi warga negara kulit hitam dan kulit putih. Begitu seterusnya perubahan hukum terjadi sejalan dengan perubahan sosial yang ada.
                  Kasus “Pembangkangan Sipil” itu merupakan manifestasi perlawanan terhadap penerapan suatu tatanan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak menjembatani kepentingannya, bersinggungan dengan hak-hak publik maupun privasinya atau berlawanan dengan hak-hak asasinya secara universal. Mereka (warga kulit hitam) menuntut adanya persamaan hak yang dijamin oleh suatu kepastian hukum yang tidak memihak atau menguntungkan warga kulit putih.
                  Kasus itu justru mendeskripsikan atau menggambarkan bahwa suatu pembaharuan hukum akan sulit dihindari dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan, tatkala warga bangsa menilai bahwa ada beberapa hak publik maupun privatnya yang menuntut jaminan kepastian lewat suatu perubahan perlindungannya.
                  Negara selaku organisasi yang harus bertindak moderat melalui badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya tentu saja punya kewajiban untuk melahirkan, mengkaji ulang, melakukan reposisi peran atau membuka tafsir ulang terhadap teori-teori lama dan pemaknaan terhadapnya.
B.  Lingkup Permasalahan
                  Berpijak pada dasar pemikiran itu, penulis mencoba menawarkan suatu kerangka pemikiran yang dibangun oleh Thomas, S. Khun, yang berkaitan dengan teori hukum yang dipijakinya. Belajar dari pemikiran  seorang pakar akan menghadirkan suatu wacana baru atau ide komparatif yang dapat mendukung, membenarkan atau sebaliknya merevisi dan memperbaharui ide-ide yang telah diakui kebenarannya di tengah masyarakat.
                  Paradigma yang dibangun Thomas S. Khun itu diajukan dalam pembahasan ini untuk menjawab atau sekurang-kurangnya membandingkan tuntutan pembaharuan hukum, dan dari pembaharuan hukum dapat diperankan sebagai alat memperbaharui kehidupan masyarakat. Bagaimanapun, setiap tuntutan dalam pembaharuan kehidupan hukum haruslah punya landasan teoritis yang memadai dan dapat dijadikan tolok ukur yang konstruktif.

C.  Hukum dan Perubahan Sosial
                  Paradigma yang dibangun oleh Thomas S. Khun, terkait dengan kehidupan masyarakat. Sesudah Thomas S. Khun itu, pakar-pakar di Indonesia banyak yang mendiskursuskan (membahas secara cermat) relasi hukum, kekuasaan dan masyarakat. Ketiganya menjadi fokus perhatian, mengingat posisi masing-masing yang saling mendukung dan mempengaruhinya.
                  Misalnya dalam karya tulis ilmiah yang pernah ditulis oleh penulis (Hukum Dan Perubahan Sosial) telah menguraikan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial, yaitu:
1.      Hukum sebagai sarana kontrol sosial
2.      Hukum sebagai sarana social engineering
                  Sebagai sarana kontrol sosial, hukum diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi (termasuk merubah/mereformasi) orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam teori ini jelas mengisyaratkan posisi fungsional hukum yang bertindak sebagai kekuatan yang mengawasi roda kehidupan bermasyarakat.
                  Perilaku anggota masyarakat selalu dalam pantauan dan pertanggungjawaban hukum. Apa yang diperbuat oleh anggota masyarakat harus berhadapan dengan kekuatan hukum. Secara teoritis, perilaku masyarakat harus sesuai dengan norma yang telah diberlakukan. Jika bertentangan dengan norma yang telah digariskan, maka akan ada tindakan atau sanksi-sanksinya.
                  Dalam perspektif teori seperti itu, apa yang dilakukan atau dikerjakan masyarakat bukanlah sebagai wujud menentukan tindakan sesuai dengan kemauan dan kebebasan sendiri, namun sebagai pihak yang ditentukan dan diawasi cara bergaul, berelasi atau berorganisasinya.
                  Kontrol sosial (social control) tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan daripada kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang terorganisir. Dalam terminologi ini, hukum kelihatan bersifat statis yaitu sekedar sebagai sarana memecahkan masalah secara konkrit untuk mengatur interaksi sosial masyarakat.
                  Demikian pula misalnya yang harus dihindari adalah agar tindakan organ pemerintahan tidak mengarah/melakukan perbuatan kesewenang-wenangan, untuk itu diperlukan upaya pengawasan secara yuridis terhadap tindakan organ pemerintahan yang bersangkutan, disamping organ pemerintahan tersebut harus mempertanggung jawabkan tindakannya secara hukum dan moral.
                  Hukum sebagai kekuatan kontrol sosial itu menggunakan pembenaran teori hukum yang condong bersifat menempatkan negara sebagai organisasi yang paling bertanggung jawab dalam pemberdayaan hukumnya. Teori-teori hukum dipinjam untuk menghidupkan hukum sebagai alat mengawasi perilaku anggota masyarakat  dan menyelesaikan sejumlah problem yang muncul ditengah masyarakat.
                  Kepentingan interaksi sosial lebih dominan dilindungi dari perilaku anggotanya yang kemungkinan merugikan atau melanggar norma-norma. Hal ini biasanya dibebankan lewat sejumlah alat-alat negara yang sudah ditunjuk menjadi penegak hukumnya, sehingga teori-teori hukum yang dibangun para pakar dapat terlihat implementasinya secara empirik. (das sein).
                  Teori-teori hukum memang baru dapat terlihat nilai-nilai urgensinya ketika sudah teruji dalam realitas pelaksanaan hukumnya. Kemudian melalui implementasi ini, pelaksana dapat melontarkan asumsi, wacana dan kritik terhadap teori-teori yang dimaksud. Ada yang membenarkan nilai-nilai urgensinya setelah implementasinya bermanfaat, namun ada pula yang tidak mengakui dan belum  mau menerimanya ketika hal itu tidak berdampak pada perubahan dan pembaharuan kepentingan-kepentingannya. Hal ini tidak terlepas dari peran negara yang diposisikan paling menentukan terhada p eksistensi hukum.
                  Sejak permulaan abad ke-20 dengan munculnya ajaran Sosialisme dengan disertai adanya revolusi industri timbullah perubahan-perubahan terutama di negara Eropa/Barat. Negara yang dahulunya menganut sistim “Staatsonthouding” (negara yang tidak turut serta dalam segala urusan kehidupan masyarakat).
                  Dalam hal ini para pakar hukum di Indonesia menyatakan: “Negara modern bukan hanya seperti negara hukum abad-19, akan tetapi merupakan negara kesejahteraan atau disebut juga negara hukum sosial. Di dalam negara hukum liberal, undang-undang dasarnya ditujukan untuk melindungi kebebasan individu, hal mana menjadi dasar pemikiran bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang”.
                  Pada negara-negara sosialis, pandangan tersebut telah berubah, hak-hak individu di bidang ekonomi, sosial dan budaya wajib diselenggarakan oleh pemerintah. Pemerintah wajib menyelenggarakan kesejahteraan bagi rakyat, kesehatan dan pendidikan. Kewajiban pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya ini terumus secara tegas dalam perundang-undangan. Hal ini sebagai suatu pijakan agar tidak salah dan meluas dalam pengambilan kebijakan atau keputusan-keputusan di bidang ketatanegaraan.
                  Konsekuwensi dari penyelenggaraan pemerintahan adalah semakin banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah dengan masyarakat, berarti pula semakin banyak wewenang yang diberikan kepada organ pemerintah untuk melakukan tindakannya. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ini juga mendapatkan kontrol yang ketat dari hukum.
                  Lain halnya pendapat yang menyebut bahwa hukum sebagai sarana social engineering, orientasi hukum tidak lagi ditujukan untuk memecahkan masalah semata, akan tetapi berkeinginan untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku anggota masyarakat. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum dan keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan, atau meminjam istilah dari pakar hukum Mochtar Kusumaatmadja, “hukum yang hidup “the living law” dalam masyarakat (1976:8). Wajah hukum seperti ini bisa disepadankan pada hukum modern sebagai lawan dari hukum tradisional. (Sudjono Dirjosisworo, 1983:77).
                  Berdasarkan paradigma itu, posisi hukum ditempatkan sebagai kekuatan yang mampu menimbulkan perubahan-perubahan perilaku ditengah masyarakat. Artinya, teori-teori hukum yang menjadi landasan berlakunya hukum diposisikan sebagai spirit normatif yang dapat memodernisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
            Dalam paradigma seperti itu, ada pesan edukatif (kependidikan) yang disampaikan lewat pemberlakuan suatu hukum. Hukum yang berlaku dalam masyarakat, secara teoritis merupakan kumpulan aturan-aturan atau norma- norma yang dapat mendidik masyarakat untuk diarahkan menuju cita-cita yang diinginkan.
                  Kumpulan aturan- aturan itu mengajarkan kepada anggota masyarakat mengenai cara berperilaku yang benar, yang membuat anggota masyarakat menjadi pro-aktif untuk meninggalkan paradigma dan perilakunya yang masih konservatif dan tidak menguntungkan. Akhirnya, diantara anggota masyarakat tumbuh kompetisi secara sehat dan profesional.
                  Tentunya tidak hanya daya kerja hukum di atas, masyarakat mengalami perubahan, melainkan karena beberapa faktor dan aspek kehidupan manusia lainnya, seperti pengaruh lingkungan alam, sosial ekonomi, politik dan budaya juga merupakan pendorong perubahan itu.
                  Namun begitu, kehadiran hukum yang dirumuskan melalui pijakan prinsip dan teori, yang ditempatkan sebagai senjata (alat) untuk mengawal dan merubah pola berelasi secara vertikal maupun horizontal, antara kepentingan privat dan kepentingan publik, merupakan faktor utama yang membenarkan, memperbolehkan dan mendukung perubahan-perubahan yang dilakukan manusia.
                  Bagaimanapun memang harus diakui bahwa pengaruh faktor-faktor di luar hukum cukup menentukan gerak manusia untuk melakukan perubahan. Misalnya aspek ekonomi dapat mendorong manusia untuk mengadakan transaksi- transaksi atau kegiatan- kegiatan yang dapat memperbesar akses pembaharuan kehidupannya. Desakan kepentingan yang beraspek ekonomi kadang-kadang mampu mengeliminasi aspek lain, seperti aspek hukum.
                  Perubahan-perubahan yang dimotori oleh faktor eksternal itu, dengan sendirinya mendesak hukum untuk menyediakan seperangkat peraturan perundang-undangan yang bisa menjamin kepastian hukum dan menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Sebagai contoh lahirnya undang-undang Hak Cipta, Undang-undang mengenai Perlindungan Konsumen, Undang-undang Lingkungan Hidup, dan undang-undang tentang Kesehatan. Berbagai peraturan perundang-undangan ini lahir karena dipengaruhi oleh tuntutan dan perkembangan masyarakat yang selalu berubah.
                  Saling pengaruh mempengaruhi antara hukum dan masyarakat, telah memperkuat pandangan tentang dinamika sosial dan dinamika hukum, atau dengan kata lain  hukum berubah sejalan dengan perubahan masyarakat itu sendiri. Jika hukum tidak menempatkan perubahan masyarakat sebagai suatu paradigma kesejarahan yang niscaya dan terbuka, maka hukum akan dituding ketinggalan jaman atau gagal menterjemahkan kepentingan dinamika sosial. Kalau hukum sampai dituding demikian karena diperlakukan sebagai kekuatan stagnasi, maka resikonya teori-teori hukum yang diidealkan akan mampu mengimplementasi akhirnya gagal dan tidak terlihat nilai-nilai kegunaanya.
                  Dengan kata lain, masyarakat yang berubah adalah disertai dengan perubahan struktur sosial dan sistem hukumnya, baik itu terjadi secara evolusioner maupun revolusioner. Ketika masyarakat itu menunjukkan perubahan yang fundamental dalam aspek-aspek kehidupannya, maka pada aspek hukum akan terpengaruh pula secara fundamental, sehingga perlu melakukan pembaharuan yang sejiwa dengan tuntutan perubahan.
                  Sebagai sarana “Social Engineering” kaidah-kaidah hukum secara tegas dan sadar berusaha membawa dan mengarahkan anggota masyarakat untuk membangun berbagai aspek kehidupan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Seperti telah diamanatkan dalam GBHN bahwa sasaran bidang pembangunan hukum adalah:
      “Terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, … yang mampu menjamin kepastian ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional”.
                  Rumusan tersebut cukup ideal jika dapat terwujud. Suatu sistem hukum yang mampu menjawab berbagai macam tuntutan, aspirasi atau kepentingan masyarakat merupakan sistem hukum yang sangat dibutuhkan. Namun seringkali hal  yang ideal itu sulit terlaksana.
D.  Paradigma Baru
            Secara sepintas penulis akan menguraikan bagaimana paradigma yang dikembangkan, kemudian mencoba menganalisis masalah-masalah di atas dengan paradigma ini. Mungkinkah hal ini dilakukan? Suatu pertanyaan yang pertanyaan yang perlu di uji untuk mencari solusinya.
                  Konsep paradigma baru sebagaimana ditulis dalam karya tulis ilmiah “Hukum Dan Perubahan Sosial” adalah untuk menentang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi secara “kumulatif”. Menurut pandangannya, mitos semacam ini harus dihilangkan . Sebab inti paradigma baru yang penulis uraikan yaitu “Perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi secara revolusioner” (George Ritzer, 1992:4).
                  Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut penulis telah dirumuskan dalam rangkaian proses sebagai berikut:
                        P1 – Ns – A – P – P2
                        (sumber diambil dari, buku Lili Rasjidi, Hukum sebagai Sistem, 1993:68-70)
                  Pada tahap P1 (berpijak pada masalah di atas), berarti aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial, hukum menempatkan diri sebagai sarana kontrol sosial (as a tool of social control) , yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah subyek hukum  agar selalu terpelihara dan tidak  melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Berarti secara inklusif didalamnya, peran penguasa sangat dominan, mengingat terlaksananya hukum itu memerlukan paksaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah sosial lainnya, yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaan, dalam hal ini kekuasaan memaksa itu diatur baik mengenai cara, ruang gerak, maupun pelaksanaannya oleh hukum (Mochtar Kusumaatmadja,  1976:4-5).
                  Ada suatu garis pemikiran tahap P1 itu bahwa secara teoritis hukum itu merupakan rangkaian, sistematika dan kumpulan ide-ide yang didukung oleh teori-teori yang mengatur mengenai perilaku manusia baik perilaku yang boleh dikerjakan maupun terlarang untuk dikerjakan. Dalam tahap pemahaman teori ini, hukum merupakan “kekuatan tang tertera di atas kertas” yang tidak akan bisa menunjukkan kekuatannya jika tidak dipaksakan penerapannya dalam kehidupan manusia.
                  Pemaksaan berlakunya hukum itu menggunakan alat kekuasaan yang diberi tanggung jawab untuk menjaga kewibawaan hukum dan menghindarkan hukum dari berbagai bentuk perilaku yang dapat mengakibatkan stagnasi dan lumpuhnya hukum.
                  Normal Sciencei (Ns) adalah akumulasi ilmu pengetahuan. Pada tahap ini hukum berada pada kondisi statis (konservatif) yaitu hukum sebagai penjaga malam. Hukum hanya diam saja  terhadap apapun yang terjadi  di sekelilingnya, sepanjang tidak terjadi pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, paradigma hukum sebagai saran kontrol sosial telah diterima dan berlaku di masyarakat tradisional. Sehingga mau tidak mau hukum sebagai kaidah sosial yang harus melakukan transformasi-transformasi sosial dengan yang lainnya.
                  Pada tahap itu (Ns), paradigma hukum terbatas sebagai penjaga perilaku masyarakat. Sepanjang masyarakat tidak melakukan pelanggaran, maka hukum tidak perlu diarahkan untuk menjadi pro-aktif. Secara teoritis, paradigma hukum demikian hanya bersifat pasif atau menunggu dan mengawasi aktivitas sosial.
                  Masuklah pada periode (A), yaitu periode pertentangan, dimana kelompok ilmuan tidak dapat mengelakkan pertentangan dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Kondisi seperti ini bisa dianalogkan pada kondisi hukum yang sudah tidak lagi mampu mengantisipasi tuntutan dan perkembangan masyarakat.
                  Pada tahap itu, hukum berada dalam posisi kehilangan daya fungsionalnya. Eksistensi secara normatif atau teoritisnya masih tetap diakui, namun ketika hal-hal yang bersifat ideal itu diajukan untuk menjawab berbagai bentuk tindakan anomali, yaitu kepada unsur unsur sosial yang secara terbuka dan berani menentang dan menyimpangi hukum atau norma, seperti aksi-aksi kekerasan massal, maka hukum itu kehilangan antisipasi dan daya kerjanya. Hukum gagal membaca dan menjadi solusi terhadap problem-problem penyimpangan ditengah masyarakat.
                  Sampai pada periode kritis (C), yaitu hukum sebagai sarana kontrol sosial (yang dilambangkan dengan P1) telah mengalami ketidakmampuan dalam menjalankan fungsinya. Memang hukumlah yang akan bertindak jika terjadi pelanggaran hukum atau tindak pidana di masyarakat. Tetapi ia juga harus menciptakan kondisi sosial yang baru yaitu dengan peraturan-peraturan hukum yang diciptakan dan dilaksanakan. Terjadilah hukum sebagai sarana “social engineering”.
                  Pada periode kritis ( C ) itu merupakan tuntutan yang lebih besar pada fungsi hukum, yang tidak sebatas mengontrol dan mempertanggung jawabkan perilaku masyarakat, namun juga harus menciptakan kondisi dan membimbing perilaku sosial secara kondusif. Artinya, hukum yang dibuat oleh badan legislatif adalah mengandung misi untuk memperbaharui kehidupan masyarakat.
                  Krisis ini memang harus segera diakhiri, diganti dengan teori baru yang ditandai dengan proses  “Revolusi Science) (R) atau revolusi hukum yang berfungsi “as a tool social engineering”, yaitu perubahan sosisl dari keadaan hidup yang serba terbatas menuju ke keadaan hidup yang sejahtera atau kehidupan yang baik.
                  Sebagai konsekuensinya dari proses itu adalah harus dilakukan modernisasi hukum, apa itu dengan atas nama reformasi atau revolusi, namun yang jelas suatu produk hukum, yang barangkali di dukung oleh badan legislatif yang masih mengakui paradigma konservatif haruslah diperbaharui dengan produk hukum baru yang dapat membawa perubahan drastis di tengah masyarakat.
            Bertolak dari dasar proses di atas, lahirlah paradigma baru (dilambangkan P2) dimana hukum sebagai perilaku sosial dan sebagai sarana perubahan masyarakat. Dalam konteks negara Indonesia, masyarakat yang sedang membangun menuju era tinggal landas, pemahaman hukum sebagai sarana kontrol sosial tidak berarti harus ditinggalkan, tetapi justru harus ditopang dengan hukum dalam arti hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:11) atau hukum sebagai sarana social engineering/ pembaharuan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Hukum dapat berperan sebagai kekuatan inti yang mengontrol dan sekaligus memperbaharui kehidupan masyarakat.
            Paradigma yang mengacu pada teori Thomas S. Kun itu merupakan gabungan peran yang tidak hanya menempatkan hukum sebagai kontrol sosial, namun juga sebagai alat untuk memperbaharui kehidupan masyarakat. Tugas hukum yang demikian berat ini diharapkan implementasinya jika pembaharuan hukum ditempatkan juga sebagai keharusan dengan berpijak kepada realitas aspirasi dan dinamika kehidupan masyarakat.
                  Di Singapura dapat dijadikan sebagai contohnya, bahwa kehadiran hukum yang bisa diimplementasikan secara proporsional ternyata mampu berperan demikian besar dalam mempengaruhi gaya hidup, kedisiplinan dan pola pikir masyarakatnya. Singapura akhirnya menjadi contoh suatu masyarakat yang tingkat kedisiplinannya sangat tinggi dan penegakan hukumnya dapat dijadikan teladan.
                  Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis kutipkan pendapat Baharuddin Lopa, mengenai tiga komponen atau unsur dimungkinkannya tegaknya hukum dan keadilan  di tengah-tengah masyarakat:
1.      Diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
2.      Adanya aparat penegak hukum yang profesional dan memiliki integritas moral terpuji, dan
3.      Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum (1987:4).
                  Pendapat guru besar itu menunjukkan bahwa eksistensi hukum dapat menjadi hukum dapat menjadi alat untuk menata, mempengaruhi dan memperbaharui kehidupan masyarakat. Pola pikir dan perilaku masyarakat dapat diarahkan secara terbimbing ke arah yang lurus dan konstruktif jika hukum dapat diberdayakan sebagai kekuatan strategis untuk mempengaruhinya.


DAFTAR PUSTAKA


Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta. 1987.

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyalur Alimandan, Rajawali Pers. Jakarta. 1992

Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. 1993

––––––, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Sakti. Bandung. 1993

C.F.G. Sunaryati Hartono. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Pro Justisia, Tahun XI, No. 4, Oktober 1994.

Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya. 1987.

Syachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindakan Administrasi Negara. Alumni. Bandung. 1992

Sudjono Dirjosisworo. Sosiologi Hukum : Studi tentang Perubahan Hukum dan Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Binacipta. Bandung. 1976.

Thomas S. Kuhn. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Penyunting Lili Rasjidi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Walujo, D. A., & Subijantoro, D. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif.

No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...