Tuesday, July 28, 2015

SUDDEN DEATH KPK VS POLRI

SUDDEN DEATH KPK VS POLRI
CICAK VS BUAYA ADALAH SIMBOL RUNTUHNYA
ETIKA HUKUM DAN ETIKA  BERBANGSA LEMBAGA NEGARA

OLEH: DR. H. RUMADI SE. SH, M.Hum.


Wacana mencuatnya kembali istilah Cicak VS Buaya atau KPK VS POLRI entah,  jilid yang keberapa saat ini seolah menegaskan adanya konflik berkepanjangan antar lembaga yang seharusnya menegakkan hukum di NKRI ini. Yang masih hangat di beritakan di berbagai media saat ini adalah tidak lama setelah KPK menetapkan tersangka terhadap Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, calon Kepala Polri, atas sangkaan menerima gratifikasi. Jumat pagi 23 Januari 2015, Markas Besar Polri menangkap salah satu pimpinan KPK Bambang Widjojanto atas tuduhan menyuruh seseorang memberikan keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari kejadian ini memang tidak salah bila banyak kalangan beranggapan bahwa penangkapan Bambang Widjojanto adalah bagian dari reaksi balasan Polri terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memang sulit untuk tidak mengatakan bahwa dua kejadian diatas sebagai perseteruan antara dua institusi penegak hukum KPK VS POLRI, yang sebenarnya dari kejadian ini sebetulnya sangat tidak layak terjadi, dua lembaga yang seharusnya bersinergi dalam menegakkan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi baik di pusat maupun daerah, sekarang malah seolah terlihat saling menyerang dan melemahkan, ini wujud lemahnya supremasi hukum yang dipertontonkan ke dua lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh rakyat Indonesia bahkan dunia.
Sebenarnya awal dari masalah ini adalah ketika presiden merekomendasi calon kapolri yang notabene bermasalah menurut KPK, namin dalam situasi seperti ini Presiden harus turun tangan meredamkan ketegangan, namun tidak mencampuri urusan hukum yang dijalankan kedua lembaga itu, jika hal ini terus di biarkan berkelanjutan pastinya akan mempengaruhi jalannya pemerintahan atau bahkan bisa mengganggu stabilitas Negara. Selain itu, tidak bisa dipungkuri juga bahwa selama ini institusi kepolisian di pandang masih buruk citranya dimata masyarakat, ini momentum tepat yang bisa digunkan untuk melakukan reformasi di tubuh Polri.

Kedua lembaga besar ini seolah tidak menyadari bahwa masih banyak tugas besar yang harus dilakukan untuk memberangus para koruptor yang banyak merugikan negara, seperti membongkar korupsi perusahaan kelas kakap (Freeport), membongkar kasus BLBI yang banyak merugikan Negara, kasus Hambalang yang masih belum ada ujungnya, yang semuanya terancam berantakan jika dua institusi bersaudara ini terus berseteru.
Selain itu sebagai lembaga yang menjadi harapan masyarakat, penegak hukum dan pemberantas korupsi di negara ini, jangan sampai di tunggangi oleh muatan-muatan kepentingan politis yang hanya menguntungkan pribadi di dalamnya. Hal ini sangat kentara dari sisi kepentingan politis dimana salah satu koalisi fraksi dewan yang sebelumnya jelas-jelas menentang pengajuan calon ini, namun setelah adanya penetapan tersangka kemudian balik arah mendukungnya, bahkan menyatakan layak dalam uji kepatutannya. Untuk itu mari bersama- sama memberikan dukungan moral terhadap Polri maupun KPK agar bisa bersatu untuk mengganyang para koruptor yang ada di negeri ini, jangan sampai terprovokasi oleh oknum-oknum yang sengaja memperkeruh kondisi ini, sehingga KPK dan Polri tidak fokus dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Konflik yang terjadi belakangan ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan lagi ungkapan eufemistis (permainan / simbol-simbol yang bersifat lembut) yang digunakan, melainkan sudah menjadi semacam transformasi moral dan etik yang anomik (rancu), sehingga sarana bahasa yang digunakan menjadi suatu ungkapan kemunafikan. Penggunaan kata-kata secara munafik untuk menutup proses kebusukan dalam dunia hukum dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran benar-benar telah menjadi momok yang menakutkan. Hal  itu sungguh mencerminkan bahwa keadilan (hukum) sudah tidak dihormati lagi. Dengan perkataan lain, etik, moral, integritas dan keadilan bukan saja telah dipelintirkan, entah karena uang, entah karena kuasa, entah karena rekayasa atau diintervensi secara terselubung sehingga keadilan (hukum) telah dijungkirbalikkan (J.E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Kompas Penerbit Buku, jakarta,2009. Hal.216.)     

KRONOLOGI PENYEBAB KONFLIK
Sejumlah catatan penting munculnya perseteruan antara KPK dan Polri yang terangkum seperti yang di beritakan dalam http://nasional.news.viva.co.id/news/read/584453-9-catatan-penting-kisruh-kpk-dan-polri menyebutkan:
9 Januari
Presiden Joko Widodo mengajukan calon tunggal kapolri baru pengganti Jenderal Sutarman ke DPR. Nama itu diketahui sebagai Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG).
13 Januari
BG diumumkan sebagai tersangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan ini sehari sebelum ia menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat.
14 Januari
Komisi III DPR tetap menggelar uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen BG. Selama lebih dari enam jam, BG menjalani uji kepatutan dan kelayakan. Dari sembilan fraksi, hanya Fraksi Demokrat yang menyatakan menolak hadir.
"Keputusan tinggal di Presiden lagi. Kapan pelantikannya, itu hak Presiden. DPR sudah menyetujui dari uji kepatutan dan kelayakan," ujar Pimpinan Sidang Pleno Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Kapolri, Aziz Syamsudin, Rabu 14 Januari 2015.
15 Januari
DPR menggelar paripurna pengesahan pencalonan Komjen BG sebagai kapolri. Dalam paripurna yang dihadiri 411 anggota DPR itu, pencalonan BG tak mendapat pertentangan sengit. Hanya fraksi Demokrat tetap konsisten menolak pencalonan BG. 
22 Januari
Ketua KPK Abraham Samad dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ia dilaporkan LSM KPK Watch, atas sangkaan melanggar pasal 36 dan pasal 65 UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Namun laporan ini banyak tak tercium di media dan publik.
Selanjutnya, di hari yang sama politikus PDIP Hasto Kristiyanto, secara mendadak membuka skandal pertemuan antara Ketua KPK Abraham Samad bersama petinggi PDIP soal pencalonan cawapres. Mantan anggota DPR ini mengaku tak diutus partai, dan memastikan bila memiliki bukti atas pertemuan itu. Ia menilai langkahnya untuk mengingatkan publik bahwa Samad telah melakukan pelanggaran etik.
23 Januari
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, dicokok Bareskrim Polri. Secara tiba-tiba, pada pagi hari sekitar pukul 07.30 WIB, Bambang ditangkap, diborgol dan kemudian langsung dibawa ke Bareskrim Polri. Ia ditahan hingga dini hari. Dan baru bisa dilepaskan, karena tak ada alasan Polri untuk menahan.
Di malam itu juga gelombang dukungan atas KPK, bermunculan. Polri dianggap telah melakukan tindak kriminalisasi terhadap KPK. Karena Bambang ditangkap, lantaran laporan Sugianto Sabran, mantan anggota DPR pada 19 Januari 2015.



24 Januari 2015
Sehari usai Bambang ditangkap, giliran Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ia dilaporkan kuasa hukum PT Daisy Timer atas sangkaan tindakan kriminal berupa perampasan saham atas perusahaan tersebut.
30 Januari
KPK resmi menjadwalkan pemeriksaan terhadap Komjen BG. Namun, BG memastikan tak hadir. Karena menunggu putusan praperadilan dan dalam pra peradilan dilakukan penundaan hingga saat ini karena salah satu pihak termohon KPK tidak hadir.

Runtuhnya Etika Hukum Dan Etika  Berbangsa Lembaga Negara
Antara KPK dan Polri sebagai institusi penegak hukum sebenarnya merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan yang baik yaitu sama-sama menegakkan hukum di negara ini, jadi sudah jelas-jelas tidak ada masalah pada kedua lembaga ini. Yang menjadi masalah adalah adanya beberapa gelintir orang saja dalam lembaga ini yang menyebabkan kedua lembaga ini melupakan etika hukum dan etika berbangsa dengan jalan saling menghukum diantara keduanya dan terkesan ada unsur politisasi di dalamnya.  Sebenarnya Kebersamaan KPK dan Polri sangat dibutuhkan oleh bangsa ini Rakyat yang membiayai kedua lembaga ini tidak butuh tontonan pertikaian cobalah sama-sama untuk berpikir secara sederhana saja, siapa yang dirugikan akibat kasus ini dan siapa yang diuntungkan. Tentu ini akan menjadi sejarah negeri ini jika sampai terjadi layaknya kasus di masa lampau.






Runtuhnya Etika Hukum
wacana gerakan antikorupsi terus digalakkan, praktik korupsi terus merajalela, bahkan melibatkan lingkaran kekuasaan elite penegak hukum sehebat hakim mahkamah konstitusi. Hukum tidak berjalan semestinya karena kalangan penegak hukum yang diharapkan berperan memberantas korupsi justru terlibat di dalamnya. Hal ini menunjukkan aparatur negara mengabaikan etika. Etika penegak hukum dan keadilan menempatkan para penegak hukum ini sebagai abdi masyarakat, tetapi yang terjadi justru mereka berperan sebagai perusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaganya yang dianggap sebagai  lembaga yang paling dapat dipercaya. Tapi yang terjadi kedua lembaga justru memiliki anggota-anggota didalamnya yang saling mempolitisasi hukum sehingga kedua lembaga ini terlihat saling serang. Publik saat ini sudah bisa memandang polemik KPK vs Polri secara seimbang. Sejumlah oknum dalam dua lembaga hukum itu sama-sama membuat kesalahan dalam proses hukum. Oleh karena itu, seharusnya tidak saling menyalahkan adapun anggapan runtuhnya etika hukum ini menurut penulis diakibatkan oleh:
1.      KPK, sebagai institusi penegak hukum dalam penanganan korupsi terkesan melakukan politisasi dimana terkesan KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi sehari sebelum ia mengikuti fit and proper test di DPR. Terkesan KPK melakukan ini bukan semata-mata karena proses hukum. Melainkan juga karena didasari politisasi. Selain itu KPK juga tidak transparan karena tidak memberi surat penetapan tersangka pada Komjen Budi.
Munculnya kesan politisasi ini karena ketika KPK sudah mendapatkan bukti kenapa penetapannya tidak dari dulu? Padahal sempat dikatakan oleh ketua KPK bahwa institusinya sudah memberikan rapor merah pada Komjen Budi sejak lama. Trus apa kerja KPK selama ini?

            Terkait tindakan KPK yang dilakukan setelah penangkapan BW, ketua KPK melakukan konfrensi pers dan menyatakan “KPK di dzolimi” untuk apa menggunakan nama institusi KPK? Bukannya yang di tangkap hanya BW? Apakah KPK akan hancur hanya karena wakilnya bermasalah dengan hukum? Hal inilah yang membuat polemik bagi banyak rakyat.

2.      Polri, yang juga sebagai penegak hukum juga terlihat salah dalam menangani kasus Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Pasalnya, Polri tidak transparan. Secara tiba-tiba menangkap Bambang, yang sebelumnya tidak pernah diberitahu soal penetapannya sebagai tersangka hal ini tentu saja membuat publik menyoroti penangkapan Bambang yang dinilainya di luar kebiasaan.  Selain itu tuduhan yang dijadikan dasar adalah peristiwa yang telah lama berlangsung, dan sudah dilaporkan tetapi baru ditanggapi baru-baru ini, kembali lagi muncul pertanyaan apa kerja Polri selama ini?
Terkait tindakan Polri yang dilakukan setelah penetapan Komjen Budi menjadi Tersangka, kenapa sedemikian menyolok pembelaan yang dilakukan mulai menantang pra-peradilan sampai melibatkan banyak pengacara dalam prosesnya? Bukannya yang di tangkap hanya salah satu Komjennya? Apakah Polri akan hancur hanya karena salah satu wakilnya bermasalah dengan hukum? Toh masih banyak Komjen lain yang bersih di institusi Polri, selain itu kembali membongkar kasus-kasus lama yang melibatkan petinggi KPK juga sejatinya menunjukkan kinerja Polri yang lambat dalam sebuah penyelesaian kasus. Hal inilah juga yang membuat polemik bagi banyak rakyat.

3.      Ketidaktegasan Presiden, pengajuan BG oleh presiden sebagai calon tunggal Kapolri, adalah hak prerogatif presiden. Menurut penulis mestinya presiden sudah melakukan kajian mengapa BG yang diajukan. Banyak hal yang tidak diketahui publik, tetapi mempunyai arti sangat penting bagi presiden pastinya. Setelah BG diajukan, mendadak KPK menetapkan BG sebagai tersangka gratifikasi (terkait korupsi). Disini Polri sebagai institusi besar, aparat penegak hukum, penanggung jawab keamanan dalam negeri tersentuh harga dirinya, dan jelas merasa dipermalukan. Kemudian presiden mengambil kebijakan, mengganti Kapolri, disamping rangkaian penggantian Kabareskrim. Para petinggi Polri nampaknya merasa dipermalukan oleh KPK, merasa tidak dianggap. Bukankah lebih baik apabila dalam kasus BG tersebut KPK melakukan komunikasi intensif dengan Presiden dan Polri? Menjelaskan permasalahan akan menetapkan BG. Disini terlihat bahwa antar Presiden, KPK dan Polri tidak terjalin komunikasi yang baik. KPK bertahan dan menyatakan bahwa BG pada seleksi Menteri namanya sudah diberi stabilo merah. Memang menimbulkan pertanyaan dalam kondisi ini presiden tetap mengajukan BG.
Terkait penetapan status Komjen Budi Sebenarnya presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mempunyai kekuatan politis, kekuatan hukum, hak prerogatif, kekuasaan sebagai panglima tertinggi dan lain sebagainya yang hebat-hebat. Kini saatnya presiden menunjukkan sikap sebagai leader yang dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya, pemimpin yang kuat karena berani dan jujur. Jangan dilepaskan konflik yang terjadi, dan hanya berada di sisi netral. Konflik ini apabila dibiarkan akan menyeret bangsa kearah perpecahan yang semakin luas, kita bersama jelas tidak mengharapkan itu terjadi. Presiden bisa menjadi orang yang paling disalahkan, karena dialah pengambil keputusan akhir dan tertinggi di Republik ini jika tidak membatalkan keputusannya. Tidak perlu takut melanggar konstitusi karena memang bertindak benar.
Terkait penangkapan BW, dalam konperensi pers kemarin di Istana Bogor, presiden menyampaikan, "Sebagai kepala negara saya meminta kepada institusi Polri dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan aturan UU yang ada." Jokowi juga meminta agar tidak ada gesekan antara institusi Polri dan KPK saat menjalankan tugas masing-masing. Sikap Jokowi tersebut oleh aktivis dinilai tidak menyelesaikan masalah. Dikatakan para penggiat anti korupsi, yang terjadi sudah bukan gesekan lagi, tetapi sudah terjadi tabrakan.
Ketidak tegasan sebenarnya telah nampak sekali lagi karena, Dengan penangkapan dan dijadikannya tersangka Wakil Ketua KPK, Bambang Wijojanto, muncul masalah baru. Menurut UU Nomor. 30/2002 tentang KPK, pasal 32, Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena (c) menjadi terdakwa karena tindak kejahatan. Disebutkan oleh UU bahwa pemberhentian dimaksud ditetapkan oleh Presiden RI.

Lunturnya Etika Berbangsa
Mengangkat dan memberhentikan Kapolri adalah hak prerogatif presiden juga boleh mengusulkan agar Budi Gunawan (BG) tetap dilantik jadi Kapolri. Tetapi aparat pemerintah seharusnya memperhatikan etika berbangsa dan bernegara. Dengan logika ini, Presiden Jokowi perlu memilih calon Kapolri yang bersih, berintegritas dan jujur
Dalam hukum tata negara, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa masih berlaku. Ada pula TAP No. XI/MPR/1998 yang mengamanatkan penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. TAP No. VI terbit 9 November 2001 silam.
Pasal 3 TAP MPR No. VI/2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai ‘acuan dasar dalam kehidupan berbangsa’. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai; atau dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara. Misinya adalah agar setiap pejabat publik dan elit politik bersikap juur, amanah, sportif dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan.  Etika berada di atas hukum karena etika adalah sebuah kebajikan yang nilainya tertinggi. Karena itu, sudah menjadi etika seseorang yang berstatus tersangka tidak layak diangkat menjadi pejabat publik. “Siapapun orangnya, kalau dia dalam status tersangka, maka tidak layak diangkat jadi pejabat publik”.
Terkait dengan konflik ini sebagai manusia terlepas dia adalah seorang penegak hukum dan keadilan di negara ini memiliki kebebasan dalam mengambil tindakan etis. Tetapi bebas menentukan tindakan etis itu bukan berarti dia bisa sebebas-bebasnya mau melakukan apapun. Bebas disini berati bebas yang disertai tanggungjawab yang melekan pada diri setiap penegak hukum sebagai manusia.  Etika bernegara merupakan sebuah pedoman, dan para pejabat lembaga hukum sebagai manusia dan pejabat lembaga tinggi negara melanggar etika tersebut! Tindakan yang dilakukan baik oleh para pejabat KPK, Polri maupun anggota dewan dan presiden merupakan tindakan yang tidak benar, dengan tujuan yang tidak baik (merusak rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia) dan dilakukan pada saat yang tidak tepat (pada saat Indonesia tengah berjuang melawan ketidakadilan dan menciptakan sebuah sistem peradilan yang moderen berkeadilan dan berkepastian hukum). Para pejabat lembaga-lembaga negara sebagai manusia memang tidak sempurna, namun tanggungjawabnya sebagai penegak hukum dan pengambil kebijakan adalah sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan dia untuk melakukan sesuatu yang paling benar, paling baik, dan paling tepat.




Rekomendasi

Para pejabat itu harus kembali menyadari bahwa amanah yang dipikulnya berasal dari rakyat. Jangan tidak seenaknya saja, kekuasaan yang dipegangnya hanya sementara, tanggung jawabnya kepada rakyat. KPK sebaiknya kembali melakukan instrospeksi, melakukan komunikasi intensif yang positif dengan Presiden dan Polri. Jangan terkesan paling berkuasa tidak ada yang mengontrol. Laksanakan saja tugasnya dengan jujur, adil dan benar, jangan berpolitik. Harus diakui dukungan rakyat sangat kuat terhadap KPK yang paling dipercaya dalam menangani korupsi. Siapa anti KPK ya anti rakyat, begitu kesannya. Polri sebagai penegak hukum dan penanggung jawab keamanan dalam negeri, sebaiknya juga melakukan instrospeksi. Kini adalah era transparansi, sulit menutupi sesuatu yang buruk. Sebagai penegak hukum sudah mestinya Polri tidak berseteru dengan institusi lain, terlebih dengan rakyat. Konsekwensinya berat dan bisa luas apabila nantinya dianggap musuh rakyat. Musuhnya adalah penjahat, teroris, koruptor, bandar narkoba, pokoknya yang jahat dan perusak bangsa. Jangan terlalu emosi dan melupakan etika dalam melaksanakan tugas. Bangun komunikasi dengan KPK, tunduk kepada presiden. Para pemimpinnya harus lebih bijaksana, jangan terkompori. Terakhir saran kepada Presiden bukankah presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mempunyai kekuatan politis, kekuatan hukum, hak prerogatif, kekuasaan sebagai panglima tertinggi dan lain sebagainya yang hebat-hebat. Kini saatnya presiden menunjukkan sikap sebagai leader yang dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya, pemimpin yang kuat karena berani dan jujur. Jangan dilepaskan konflik yang terjadi, dan hanya berada di sisi netral. Konflik ini apabila dibiarkan akan menyeret bangsa kearah perpecahan yang semakin luas, kita bersama jelas tidak mengharapkan itu terjadi. Presiden bisa menjadi orang yang paling disalahkan, karena dialah pengambil keputusan akhir dan tertinggi di Republik ini. Sekali salah mengambil keputusan, maka rakyat bisa mencabut mandatnya, dan jelas ada yang sudah menanti kapan presiden akan diturunkan. Penulis serta banyak pihak sangat mengharapkan Presiden yang sudah tegas berani menenggelamkan kapal asing pencuri ikan dan menolak grasi hukuman mati bandar narkoba WNI dan warga negara asing, kali ini juga berani mengambil kebijakan tegas. Dalam kondisi ini, sudah tidak waktunya berbicara normatif, tetapi dibutuhkan keputusan yang jelas dan berpihak kepada rakyat. Tidak perlu takut, rakyat berada dibelakang presiden. Bangun komunikasi positif, beri arahan yang jelas dan tegas kepada KPK dan Polri.


Referensi
J.E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Kompas Penerbit Buku, jakarta,2009. Hal.216.




TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa

No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...