SUDDEN DEATH KPK VS POLRI
CICAK VS
BUAYA ADALAH SIMBOL RUNTUHNYA
ETIKA
HUKUM DAN ETIKA BERBANGSA LEMBAGA NEGARA
OLEH: DR. H. RUMADI SE. SH, M.Hum.
Wacana
mencuatnya kembali istilah Cicak VS Buaya atau KPK VS POLRI entah, jilid yang keberapa saat ini seolah
menegaskan adanya konflik berkepanjangan antar lembaga yang seharusnya
menegakkan hukum di NKRI ini. Yang masih hangat di beritakan di berbagai media
saat ini adalah tidak lama setelah KPK
menetapkan tersangka terhadap Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, calon
Kepala Polri, atas sangkaan menerima gratifikasi. Jumat pagi 23 Januari 2015,
Markas Besar Polri menangkap salah satu pimpinan KPK Bambang Widjojanto atas
tuduhan menyuruh seseorang memberikan keterangan palsu dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari kejadian ini memang tidak
salah bila banyak kalangan beranggapan bahwa penangkapan Bambang Widjojanto
adalah bagian dari reaksi balasan Polri terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Memang sulit untuk tidak mengatakan bahwa dua kejadian diatas sebagai
perseteruan antara dua institusi penegak hukum KPK VS POLRI, yang sebenarnya
dari kejadian ini sebetulnya sangat tidak layak terjadi, dua lembaga yang
seharusnya bersinergi dalam menegakkan hukum khususnya dalam pemberantasan
korupsi baik di pusat maupun daerah, sekarang malah seolah terlihat saling
menyerang dan melemahkan, ini wujud
lemahnya supremasi hukum yang dipertontonkan ke dua lembaga penegak hukum yang
seharusnya menjadi contoh rakyat Indonesia bahkan dunia.
Sebenarnya awal dari masalah ini
adalah ketika presiden merekomendasi calon kapolri yang notabene bermasalah
menurut KPK, namin dalam situasi seperti ini Presiden harus turun tangan
meredamkan ketegangan, namun tidak mencampuri urusan hukum yang dijalankan
kedua lembaga itu, jika hal ini terus di biarkan berkelanjutan pastinya akan
mempengaruhi jalannya pemerintahan atau bahkan bisa mengganggu stabilitas
Negara. Selain itu, tidak bisa dipungkuri juga bahwa selama ini institusi
kepolisian di pandang masih buruk citranya dimata masyarakat, ini momentum
tepat yang bisa digunkan untuk melakukan reformasi di tubuh Polri.
Kedua lembaga besar ini seolah
tidak menyadari bahwa masih banyak tugas besar yang harus dilakukan untuk
memberangus para koruptor yang banyak merugikan negara, seperti membongkar
korupsi perusahaan kelas kakap (Freeport), membongkar kasus BLBI yang banyak
merugikan Negara, kasus Hambalang yang masih belum ada ujungnya, yang semuanya
terancam berantakan jika dua institusi bersaudara ini terus berseteru.
Selain itu sebagai lembaga yang
menjadi harapan masyarakat, penegak hukum dan pemberantas korupsi di negara
ini, jangan sampai di tunggangi oleh muatan-muatan kepentingan politis yang
hanya menguntungkan pribadi di dalamnya. Hal ini sangat kentara dari sisi
kepentingan politis dimana salah satu koalisi fraksi dewan yang sebelumnya
jelas-jelas menentang pengajuan calon ini, namun setelah adanya penetapan tersangka
kemudian balik arah mendukungnya, bahkan menyatakan layak dalam uji
kepatutannya. Untuk itu mari bersama- sama memberikan dukungan moral terhadap
Polri maupun KPK agar bisa bersatu untuk mengganyang para koruptor yang ada di
negeri ini, jangan sampai terprovokasi oleh oknum-oknum yang sengaja
memperkeruh kondisi ini, sehingga KPK dan Polri tidak fokus dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya.
Konflik yang terjadi
belakangan ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan lagi ungkapan
eufemistis
(permainan / simbol-simbol yang bersifat lembut) yang
digunakan, melainkan sudah menjadi semacam transformasi moral dan etik yang
anomik (rancu), sehingga sarana bahasa yang digunakan menjadi suatu ungkapan
kemunafikan. Penggunaan kata-kata secara munafik untuk menutup proses kebusukan
dalam dunia hukum dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran benar-benar
telah menjadi momok yang menakutkan. Hal
itu sungguh mencerminkan bahwa keadilan (hukum) sudah tidak dihormati
lagi. Dengan perkataan lain, etik, moral, integritas dan keadilan bukan saja
telah dipelintirkan, entah karena uang, entah karena kuasa, entah karena
rekayasa atau diintervensi secara terselubung sehingga keadilan (hukum) telah
dijungkirbalikkan (J.E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Kompas Penerbit Buku,
jakarta,2009. Hal.216.)
KRONOLOGI PENYEBAB KONFLIK
Sejumlah
catatan penting munculnya perseteruan antara KPK dan Polri yang terangkum
seperti yang di beritakan dalam http://nasional.news.viva.co.id/news/read/584453-9-catatan-penting-kisruh-kpk-dan-polri menyebutkan:
9
Januari
Presiden
Joko Widodo mengajukan calon tunggal kapolri baru pengganti Jenderal Sutarman
ke DPR. Nama itu diketahui sebagai Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG).
13
Januari
BG
diumumkan sebagai tersangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penetapan ini sehari sebelum ia menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Dewan
Perwakilan Rakyat.
14
Januari
Komisi
III DPR tetap menggelar uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen BG. Selama
lebih dari enam jam, BG menjalani uji kepatutan dan kelayakan. Dari sembilan
fraksi, hanya Fraksi Demokrat yang menyatakan menolak hadir.
"Keputusan
tinggal di Presiden lagi. Kapan pelantikannya, itu hak Presiden. DPR sudah
menyetujui dari uji kepatutan dan kelayakan," ujar Pimpinan Sidang Pleno
Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Kapolri, Aziz Syamsudin, Rabu 14 Januari
2015.
15
Januari
DPR
menggelar paripurna pengesahan pencalonan Komjen BG sebagai kapolri. Dalam
paripurna yang dihadiri 411 anggota DPR itu, pencalonan BG tak mendapat
pertentangan sengit. Hanya fraksi Demokrat tetap konsisten menolak pencalonan
BG.
22
Januari
Ketua
KPK Abraham Samad dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ia dilaporkan LSM KPK Watch,
atas sangkaan melanggar pasal 36 dan pasal 65 UU nomor 30 tahun 2002 tentang
KPK. Namun laporan ini banyak tak tercium di media dan publik.
Selanjutnya,
di hari yang sama politikus PDIP Hasto Kristiyanto, secara mendadak membuka
skandal pertemuan antara Ketua KPK Abraham Samad bersama petinggi PDIP soal
pencalonan cawapres. Mantan anggota DPR ini mengaku tak diutus partai, dan
memastikan bila memiliki bukti atas pertemuan itu. Ia menilai langkahnya untuk
mengingatkan publik bahwa Samad telah melakukan pelanggaran etik.
23
Januari
Wakil
Ketua KPK Bambang Widjojanto, dicokok Bareskrim Polri. Secara tiba-tiba, pada
pagi hari sekitar pukul 07.30 WIB, Bambang ditangkap, diborgol dan kemudian
langsung dibawa ke Bareskrim Polri. Ia ditahan hingga dini hari. Dan baru bisa
dilepaskan, karena tak ada alasan Polri untuk menahan.
Di
malam itu juga gelombang dukungan atas KPK, bermunculan. Polri dianggap telah
melakukan tindak kriminalisasi terhadap KPK. Karena Bambang ditangkap, lantaran
laporan Sugianto Sabran, mantan anggota DPR pada 19 Januari 2015.
24
Januari 2015
Sehari
usai Bambang ditangkap, giliran Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke
Bareskrim Polri. Ia dilaporkan kuasa hukum PT Daisy Timer atas sangkaan
tindakan kriminal berupa perampasan saham atas perusahaan tersebut.
30
Januari
KPK
resmi menjadwalkan pemeriksaan terhadap Komjen BG. Namun, BG memastikan tak
hadir. Karena menunggu putusan praperadilan dan dalam pra peradilan dilakukan
penundaan hingga saat ini karena salah satu pihak termohon KPK tidak hadir.
Runtuhnya Etika Hukum Dan Etika Berbangsa Lembaga Negara
Antara KPK dan Polri sebagai institusi penegak hukum sebenarnya merupakan
lembaga yang dibentuk dengan tujuan yang baik yaitu sama-sama menegakkan hukum
di negara ini, jadi sudah jelas-jelas tidak ada masalah pada kedua lembaga ini.
Yang menjadi masalah adalah adanya beberapa gelintir orang saja dalam lembaga
ini yang menyebabkan kedua lembaga ini melupakan etika hukum dan etika
berbangsa dengan jalan saling menghukum diantara keduanya dan terkesan ada
unsur politisasi di dalamnya. Sebenarnya
Kebersamaan KPK dan Polri sangat
dibutuhkan oleh bangsa ini Rakyat yang membiayai kedua lembaga ini tidak butuh
tontonan pertikaian cobalah sama-sama untuk berpikir secara sederhana saja,
siapa yang dirugikan akibat kasus ini dan siapa yang diuntungkan. Tentu ini
akan menjadi sejarah negeri ini jika sampai terjadi layaknya kasus di masa
lampau.
Runtuhnya Etika Hukum
wacana gerakan antikorupsi terus digalakkan, praktik korupsi terus
merajalela, bahkan melibatkan lingkaran kekuasaan elite penegak hukum sehebat
hakim mahkamah konstitusi. Hukum tidak berjalan semestinya karena kalangan
penegak hukum yang diharapkan berperan memberantas korupsi justru terlibat di
dalamnya. Hal ini menunjukkan aparatur negara mengabaikan etika. Etika penegak
hukum dan keadilan menempatkan para penegak hukum ini sebagai abdi masyarakat,
tetapi yang terjadi justru mereka berperan sebagai perusak kepercayaan
masyarakat terhadap lembaganya yang dianggap sebagai lembaga yang paling dapat dipercaya. Tapi
yang terjadi kedua lembaga justru memiliki anggota-anggota didalamnya yang
saling mempolitisasi hukum sehingga kedua lembaga ini terlihat saling serang.
Publik saat ini sudah bisa memandang polemik KPK vs Polri secara seimbang.
Sejumlah oknum dalam dua lembaga hukum itu sama-sama membuat kesalahan dalam
proses hukum. Oleh karena itu, seharusnya tidak saling menyalahkan adapun
anggapan runtuhnya etika hukum ini menurut penulis diakibatkan oleh:
1.
KPK, sebagai institusi
penegak hukum dalam penanganan korupsi terkesan melakukan politisasi dimana
terkesan KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi
sehari sebelum ia mengikuti fit and proper test di DPR. Terkesan KPK melakukan
ini bukan semata-mata karena proses hukum. Melainkan juga karena didasari
politisasi. Selain itu KPK juga tidak transparan karena tidak memberi surat
penetapan tersangka pada Komjen Budi.
Munculnya kesan politisasi ini karena ketika KPK sudah mendapatkan
bukti kenapa penetapannya tidak dari dulu? Padahal sempat dikatakan oleh ketua
KPK bahwa institusinya sudah memberikan rapor merah pada Komjen Budi sejak
lama. Trus apa kerja KPK selama ini?
Terkait tindakan
KPK yang dilakukan setelah penangkapan BW, ketua KPK melakukan konfrensi pers
dan menyatakan “KPK di dzolimi” untuk apa menggunakan nama institusi KPK?
Bukannya yang di tangkap hanya BW? Apakah KPK akan hancur hanya karena wakilnya
bermasalah dengan hukum? Hal inilah yang membuat polemik bagi banyak rakyat.
2.
Polri, yang juga sebagai
penegak hukum juga terlihat salah dalam menangani kasus Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto. Pasalnya, Polri tidak transparan. Secara tiba-tiba menangkap
Bambang, yang sebelumnya tidak pernah diberitahu soal penetapannya sebagai
tersangka hal ini tentu saja membuat publik menyoroti penangkapan Bambang yang
dinilainya di luar kebiasaan. Selain itu
tuduhan yang dijadikan dasar adalah peristiwa yang telah lama berlangsung, dan
sudah dilaporkan tetapi baru ditanggapi baru-baru ini, kembali lagi muncul
pertanyaan apa kerja Polri selama ini?
Terkait tindakan Polri yang
dilakukan setelah penetapan Komjen Budi menjadi Tersangka, kenapa sedemikian
menyolok pembelaan yang dilakukan mulai menantang pra-peradilan sampai melibatkan
banyak pengacara dalam prosesnya? Bukannya yang di tangkap hanya salah satu
Komjennya? Apakah Polri akan hancur hanya karena salah satu wakilnya bermasalah
dengan hukum? Toh masih banyak Komjen lain yang bersih di institusi Polri,
selain itu kembali membongkar kasus-kasus lama yang melibatkan petinggi KPK
juga sejatinya menunjukkan kinerja Polri yang lambat dalam sebuah penyelesaian
kasus. Hal inilah juga yang membuat polemik bagi banyak rakyat.
3.
Ketidaktegasan Presiden, pengajuan BG oleh presiden sebagai
calon tunggal Kapolri, adalah hak prerogatif presiden. Menurut penulis mestinya
presiden sudah melakukan kajian mengapa BG yang diajukan. Banyak hal yang tidak
diketahui publik, tetapi mempunyai arti sangat penting bagi presiden pastinya. Setelah
BG diajukan, mendadak KPK menetapkan BG sebagai tersangka gratifikasi (terkait
korupsi). Disini Polri sebagai institusi besar, aparat penegak hukum,
penanggung jawab keamanan dalam negeri tersentuh harga dirinya, dan jelas
merasa dipermalukan. Kemudian presiden mengambil kebijakan, mengganti Kapolri,
disamping rangkaian penggantian Kabareskrim. Para petinggi Polri nampaknya
merasa dipermalukan oleh KPK, merasa tidak dianggap. Bukankah lebih baik
apabila dalam kasus BG tersebut KPK melakukan komunikasi intensif dengan
Presiden dan Polri? Menjelaskan permasalahan akan menetapkan BG. Disini
terlihat bahwa antar Presiden, KPK dan Polri tidak terjalin komunikasi yang
baik. KPK bertahan dan menyatakan bahwa BG pada seleksi Menteri namanya sudah
diberi stabilo merah. Memang menimbulkan pertanyaan dalam kondisi ini presiden
tetap mengajukan BG.
Terkait penetapan status Komjen Budi
Sebenarnya presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mempunyai
kekuatan politis, kekuatan hukum, hak prerogatif, kekuasaan sebagai panglima
tertinggi dan lain sebagainya yang hebat-hebat. Kini saatnya presiden
menunjukkan sikap sebagai leader yang dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya,
pemimpin yang kuat karena berani dan jujur. Jangan dilepaskan konflik yang
terjadi, dan hanya berada di sisi netral. Konflik ini apabila dibiarkan akan
menyeret bangsa kearah perpecahan yang semakin luas, kita bersama jelas tidak
mengharapkan itu terjadi. Presiden bisa menjadi orang yang paling disalahkan,
karena dialah pengambil keputusan akhir dan tertinggi di Republik ini jika
tidak membatalkan keputusannya. Tidak perlu takut melanggar konstitusi karena
memang bertindak benar.
Terkait
penangkapan BW, dalam konperensi pers kemarin di Istana Bogor, presiden
menyampaikan, "Sebagai kepala negara saya meminta kepada institusi Polri
dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai
dengan aturan UU yang ada." Jokowi juga meminta agar tidak ada gesekan
antara institusi Polri dan KPK saat menjalankan tugas masing-masing. Sikap
Jokowi tersebut oleh aktivis dinilai tidak menyelesaikan masalah. Dikatakan
para penggiat anti korupsi, yang terjadi sudah bukan gesekan lagi, tetapi sudah
terjadi tabrakan.
Ketidak
tegasan sebenarnya telah nampak sekali lagi karena, Dengan penangkapan dan
dijadikannya tersangka Wakil Ketua KPK, Bambang Wijojanto, muncul masalah baru.
Menurut UU Nomor. 30/2002 tentang KPK, pasal 32, Pimpinan KPK berhenti atau
diberhentikan karena (c) menjadi terdakwa karena tindak kejahatan. Disebutkan
oleh UU bahwa pemberhentian dimaksud ditetapkan oleh Presiden RI.
Lunturnya Etika Berbangsa
Mengangkat
dan memberhentikan Kapolri adalah hak prerogatif presiden juga boleh
mengusulkan agar Budi Gunawan (BG) tetap dilantik jadi Kapolri. Tetapi aparat
pemerintah seharusnya memperhatikan etika berbangsa dan bernegara. Dengan
logika ini, Presiden Jokowi perlu memilih calon Kapolri yang bersih,
berintegritas dan jujur
Dalam
hukum tata negara, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
masih berlaku. Ada pula TAP No. XI/MPR/1998 yang mengamanatkan penyelenggaraan
negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. TAP No. VI terbit 9
November 2001 silam.
Pasal 3
TAP MPR No. VI/2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi
negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai ‘acuan dasar dalam
kehidupan berbangsa’. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara
negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem
nilai; atau dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan
negara. Misinya adalah agar setiap pejabat publik dan elit politik bersikap
juur, amanah, sportif dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila
terbukti melakukan kesalahan. Etika berada di atas hukum karena etika
adalah sebuah kebajikan yang nilainya tertinggi. Karena itu, sudah menjadi
etika seseorang yang berstatus tersangka tidak layak diangkat menjadi pejabat
publik. “Siapapun orangnya, kalau dia dalam status tersangka, maka tidak layak
diangkat jadi pejabat publik”.
Terkait
dengan konflik ini sebagai manusia terlepas dia adalah seorang penegak hukum
dan keadilan di negara ini memiliki kebebasan dalam mengambil tindakan etis.
Tetapi bebas menentukan tindakan etis itu bukan berarti dia bisa sebebas-bebasnya
mau melakukan apapun. Bebas disini berati bebas yang disertai tanggungjawab
yang melekan pada diri setiap penegak hukum sebagai manusia. Etika
bernegara merupakan sebuah pedoman, dan para pejabat lembaga hukum sebagai
manusia dan pejabat lembaga tinggi negara melanggar etika tersebut! Tindakan
yang dilakukan baik oleh para pejabat KPK, Polri maupun anggota dewan dan
presiden merupakan tindakan yang tidak benar, dengan tujuan yang tidak baik
(merusak rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia) dan
dilakukan pada saat yang tidak tepat (pada saat Indonesia tengah berjuang
melawan ketidakadilan dan menciptakan sebuah sistem peradilan yang moderen
berkeadilan dan berkepastian hukum). Para pejabat lembaga-lembaga negara
sebagai manusia memang tidak sempurna, namun tanggungjawabnya sebagai penegak
hukum dan pengambil kebijakan adalah sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan
dia untuk melakukan sesuatu yang paling benar, paling baik, dan paling tepat.
Rekomendasi
Para pejabat itu harus kembali menyadari bahwa amanah yang
dipikulnya berasal dari rakyat. Jangan tidak seenaknya saja, kekuasaan yang
dipegangnya hanya sementara, tanggung jawabnya kepada rakyat. KPK sebaiknya
kembali melakukan instrospeksi, melakukan komunikasi intensif yang positif
dengan Presiden dan Polri. Jangan terkesan paling berkuasa tidak ada yang
mengontrol. Laksanakan saja tugasnya dengan jujur, adil dan benar, jangan
berpolitik. Harus diakui dukungan rakyat sangat kuat terhadap KPK yang paling
dipercaya dalam menangani korupsi. Siapa anti KPK ya anti rakyat, begitu
kesannya. Polri sebagai penegak hukum dan penanggung jawab keamanan dalam
negeri, sebaiknya juga melakukan instrospeksi. Kini adalah era transparansi,
sulit menutupi sesuatu yang buruk. Sebagai penegak hukum sudah mestinya Polri
tidak berseteru dengan institusi lain, terlebih dengan rakyat. Konsekwensinya
berat dan bisa luas apabila nantinya dianggap musuh rakyat. Musuhnya adalah
penjahat, teroris, koruptor, bandar narkoba, pokoknya yang jahat dan perusak bangsa.
Jangan terlalu emosi dan melupakan etika dalam melaksanakan tugas. Bangun
komunikasi dengan KPK, tunduk kepada presiden. Para pemimpinnya harus lebih
bijaksana, jangan terkompori. Terakhir saran kepada Presiden bukankah presiden
sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mempunyai kekuatan politis,
kekuatan hukum, hak prerogatif, kekuasaan sebagai panglima tertinggi dan lain
sebagainya yang hebat-hebat. Kini saatnya presiden menunjukkan sikap sebagai
leader yang dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya, pemimpin yang kuat karena
berani dan jujur. Jangan dilepaskan konflik yang terjadi, dan hanya berada di
sisi netral. Konflik ini apabila dibiarkan akan menyeret bangsa kearah
perpecahan yang semakin luas, kita bersama jelas tidak mengharapkan itu terjadi.
Presiden bisa menjadi orang yang paling disalahkan, karena dialah pengambil
keputusan akhir dan tertinggi di Republik ini. Sekali salah mengambil
keputusan, maka rakyat bisa mencabut mandatnya, dan jelas ada yang sudah
menanti kapan presiden akan diturunkan. Penulis serta banyak pihak sangat
mengharapkan Presiden yang sudah tegas berani menenggelamkan kapal asing
pencuri ikan dan menolak grasi hukuman mati bandar narkoba WNI dan warga negara
asing, kali ini juga berani mengambil kebijakan tegas. Dalam kondisi ini, sudah
tidak waktunya berbicara normatif, tetapi dibutuhkan keputusan yang jelas dan
berpihak kepada rakyat. Tidak perlu takut, rakyat berada dibelakang presiden.
Bangun komunikasi positif, beri arahan yang jelas dan tegas kepada KPK dan
Polri.
Referensi
J.E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Kompas
Penerbit Buku, jakarta,2009. Hal.216.
TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa
No comments:
Post a Comment