Monday, September 8, 2014

REFORMASI DAN PARADIGMA TNI SEBAGAI PERBAIKAN CITRA TNI DAN MEMPEROLEH KEMBALI KEPERCAYAAN DARI MASYARAKAT

REFORMASI DAN PARADIGMA TNI SEBAGAI PERBAIKAN CITRA TNI DAN MEMPEROLEH KEMBALI KEPERCAYAAN DARI MASYARAKAT

Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul pada masa reformasi 1998. Penggunaan kata TNI  terkait dengan upaya reformasi internal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Munculnya istilah ini sebagai respon kalangan TNI terhadap desakan publik terhadap penghapusan peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan  sebelum 1998. Tuntutan reformasi tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru.
Secara umum, tuntutan gerakan masyarakat dalam reformasi di sektor keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan (termasuk TNI) menjadi institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi pemerintahan sipil, akuntabel serta menghormati HAM.

Sektor keamanan yang dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara. Dalam definisi ini termasuk TNI dan Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi sipil yang bertanggungjawab dalam pengelolaan dan pengawasannya, seperti Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu reformasi kolektif intrainstitusional yang meliputi; Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Dinas Imigrasi, Departemen Pertahanan, Kejaksaan, Parlemen, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Polri. (Institute for defense security and peace studies, Reformasi TNI 2007)
Dalam konteks transisi demokrasi dan sistem yang berkembang di negara demokratis, salah satu langkah politik yang didorong dalam reformasi sektor keamanan adalah membangun supremasi pemerintahan sipil atas institusi militer. Karenanya isu-isu reformasi sektor keamanan yang dikembangkan  mengarah kepada definisi Timothy Edmunds yang melihat reformasi keamanan sebagai “pengaturan keamanan dalam sebuah negara secara efektif dan efisien dalam kerangka pengawasan sipil yang demokratis”.
Pada masa transisi dari demokrasi terpimpin ke demokrasi pancasila, terutama pada saat pengambilalihan kekuasaan di Indonesia, 1965-1968, militer semakin mendominasi politik Indonesia. Fase berikutnya yang menarik adalah munculnya upaya untuk mempertahankan kekuasaan itu. Dengan demikian, ABRI, dalam kenyataan itu, telah berubah tidak hanya melindungi kepentingan kelas elit, tetapi juga sangat menentukan jalur politik, birokrasi, ekonomi, maupun sosial. Peran ABRI akhirnya berubah menjadi bagaimana mempertahankan keamanan dan stabilitas politik agar status quo semakin terjaga. Hubungan semacam ini lalu disebut oleh banyak kalangan sebagai sistem otoriter birokratis, yaitu ketika seluruh struktur politik, terutama tempat-tempat strategis dalam proses politik, dimasukinya, sebagai bagian dari strategi stabilisasi politik dan pembangunan ekonomi.
Perlahan tapi pasti, reformasi Internal TNI yang dilaksanakan mulai membuahkan hasil.  Meskipun belum sepenuhnya mampu memuaskan berbagai pihak, perubahan yang dilakukan TNI mulai mendapat simpati rakyat.  Disisi lain,  upaya membangun citra yang dilaksanakan para pejabat Humas TNI (Puspen TNI) sebagai ujung tombak, mulai mampu mendongkrak citra TNI.  Indikasinya, dalam beberapa even kegiatan, prajurit TNI mulai bisa membaur dan bahkan mereka juga diterima masyarakat.
Secara yuridis formal, reformasi internal TNI ditandai dengan keluarnya Ketetapan MPR  Nomor : VI dan VII/MPR/2000 tentang paradigma baru TNI, dan ditindak lanjuti dengan UU nomor 2 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.  Ketiganya menjadi starting point penting  bergulirnya reformasi internal TNI secara lebih terarah, jelas dan ligitimed. Apabila diawalnya reformasi TNI ditujukan hanya untuk mencabut Dwifungsi ABRI dan keluarnya TNI dari Legislatif,  kini reformasi mengalami perkembangan.  Mulai dari larangan tugas kekaryaan, politik praktis hingga larangan mengelola bisnis. Dengan demikian bila ada yang menilai reformasi TNI gagal,   semestinya mereka juga melihat dan mempertimbangkan konteks  reformasi sebagai sebuah proses dinamnis yang terus bergerak dan berjalan dalam tubuh TNI.  Sehingga kegagalan tidak bisa dilihat dari satu dua kasus saja,  karena proses itu belum selesai, tetapi masih terus berjalan.
Paradigma pembangunan bidang pertahanan dan keamanan telah menunjukkan kemajuan yang di kedepankan melalui agenda- agenda pembaharuan, mengingat TNI sebagai bagian integral bangsa Indonesia senantiasa memegang teguh jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional berperan serta mewujudkan keadaan aman dan rasa aman masyarakat sesuai perannya sebagai alat pertahanan NKRI. TNI sebagai bagian dari rakyat dan berjuang bersama rakyat senantiasa menggugah kepedulian TNI untuk mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi, juga terwujudnya hubungan sipil militer yang sehat dan persatuan kesatuan bangsa melalui pemiki ran, pandangan, dan langkah-langkah reformasi internal TNI.

MEMPERBAIKI CITRA TNI 
Dalam memperbaiki citranya di mata masyarakat langkah yang dilakukan TNI ini diantaranya meliputi:
1. Mengimplementasikan program reformasi birokrasi TNI di satuan masing-masing secara berkelanjutan pada aspek doktrin, struktur dan administrasi, khususnya aspek kultur dan mindset personel TNI, baik dalam konteks tugas dan jabatan maupun dalam konteks peran TNI dalam membangun komunikasi sosial. Hal ini penting untuk menjadi concern para perwira sekalian, karena reformasi birokrasi TNI merupakan roh, yang harus menjiwai semua kebijakan, program dan kegiatan serta sistem organisasi TNI yang akan digerakan, termasuk upaya mengeliminasi ego sektoral dan dalam rangka mewujudkan motto “Bersama Rakyat TNI Kuat”, sebagai upaya meningkatkan kepercayaan rakyat kepada TNI, yang saat ini rakyat percaya bahwa TNI telah berpihak kepada rakyat.
2. Kedua, dalam kaitan kebijakan pembangunan kekuatan dan kemampuan pokok minimum TNI, ditekankan kepada staf perencana di jajaran TNI, untuk menyusun rencana pengembangan kekuatan (bangkuat) dan pengembangan kemampuan (bangpuan) secara cerdas dalam koridor interoperabilitas TNI, salah satunya dengan menghidupkan kembali dewan kebijakan penentu (wanjaktu) alut dan alusista. Kemudian, kepada staf wasrik di jajaran TNI untuk mengawal segala kebijakan, program dan kegiatan TNI, dalam hal ini program bangkuat dan bangpuan MEF TNI, agar program dan anggaran efektif pada track yang telah ditetapkan, serta agar terhindar dari kecenderungan penyimpangan, sekaligus sebagai upaya meningkatkan public image bahwa TNI telah profesional.
3. Meningkatkan hubungan kerja dan sinergitas usaha dengan pemerintah daerah dan Polri, baik dalam konteks tugas dan optimalisasi peran TNI, serta hal lain bagi kepentingan organisasi. Hal ini penting untuk menjadi modal bagi keberadaan TNI di tengah masyarakat dalam percepatan penyelesaian persoalan, baik bagi kepentingan pemerintah daerah dan Polri maupun bagi kepentingan TNI, termasuk dalam mempertahankan aset pertanahan TNI dan penyelesaian sengketa lahan TNI dengan masyarakat dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat secara persuasif. Pada sisi lain, pelajari peraturan perundangan di pusat dan di daerah untuk mencari peluang pelibatan peran TNI lebih dalam di daerah, seperti peluang instruksi Presiden nomor 2 tahun 2013, pada pembentukan Pusdalsos dan Pusdalsis sehingga kepentingan TNI dapat diakomodasi dan menjadi bagian dari APBD, serta beberapa peluang dari instansi lainnya, guna optimalisasi peran TNI di wilayah perbatasan dan pulau terluar/terdepan sebagai bagian dari percepatan pembangunan nasional dan pembangunan di daerah.
4. Memahami bahwa early warning system TNI adalah intelijen dan teritorial, karena apapun kegiatan dan tugas TNI, akan sangat tergantung kepada kemampuan intelijen dan kemampuan teritorial, yang kedua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh setiap personel intelijen dan personel teritorial. Inilah sesungguhnya pasukan TNI terdepan, yang menjadi bagian dalam paradigma perang modern, guna mengelaborasi serta mengeksploitasi potensi daerah. Intelijen dan Teritorial harus mampu menciptakan kondisi dan mengkondisikan kondisi untuk digunakan bagi kepentingan peran dan tugas TNI.
5. Para perwira merupakan pemimpin yang dalam setiap statement, sikap dan tindakan mengandung konsekuensi moril, politis dan hukum, terlebih dalam kaitan demokrasi, serta netralitas TNI dalam perpolitikan nasional. Pegang teguh komitmen netralitas TNI dalam Pemilu tahun 2014 dan suksesi kepemimpinan nasional. Jangan mengurangi penilaian masyarakat tersebut dengan kegiatan yang cenderung memihak kepada salah satu partai politik.
Kegiatan TNI dalam politik praktis, bisnis dan lain sebagainya dipermulaan abad ke-21 diatur dengan pengecualian harus di pensiunkan terlebih dahulu. Sikap tersebut bertujuan untuk menjaga kredibilitas TNI sebagai alat pemerintah yang profesional. Penutupan hak politik bagi TNI yang masih aktif merupakan upaya meningkatkan partisipasi politik rakyat, sehingga dalam segi politik tidak sama sekali diberi ruang gerak dan dituntut untuk bersikap independen. Disamping itu, tertutupnya ruang gerak politik bagi kaum militer merupakan sebagai upaya untuk menciptakan kepercayaan diri bagi orang-orang sipil dalam mengurusi pemerintahan dengan menjalankan program-programnya yang dinilai berkulturkan demokrasi, bukan otoriter atau militerian.
Lahirnya UU TNI No 34 tahun 2004 diharapkan dapat dijadikan sebagai parameter oleh aparat TNI dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan kode etik, falsafah hidup yang terkandung dalam Pancasila. Selain itu, dapat dijadikan sebagai alat kontrol TNI agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan di luar kewenangannya. Dengan demikian peran dan fungsi TNI terhadap masyarakat dapat dirasakan sesuai dengan tuntutan masyarakat di era reformasi serta menjunjung tinggi supermasi sipil. Di lain pihak sikap tersebut pun dapat mendorong pula terciptannya tatanan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berorientasi pada keutuhan bangsa dan negara.
Dari uraian tersebut bila di implementasikan secara menyeluruh dan utuh, akan membentuk TNI sebagai komponen negara yang memiliki jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara professional. Secara fungsi pun dapat berperan sebagai alat perekat persatuan dan kesatuan bangsa yang tergelar dari Sabang sampai Marauke. Makna lain dari itu adalah sebagai upaya merubah bahkan menghilangkan stigma buruk di mata rakyat Indonesia maupun dunia Internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang demokratis bukan negara junta militer.

No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...