Tuesday, July 28, 2015

MEMPERKUAT KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEMOGA TIDAK HANYA SEKEDAR JANJI

MEMPERKUAT KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEMOGA TIDAK HANYA SEKEDAR JANJI
Oleh
OLEH: DR. H. RUMADI SE. SH, M.Hum


Diawali dari diterimanya gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) oleh pengadilan. Hakim Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Putusan itu dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (sumber; kompas).  Peristiwa ini seolah Peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di tanah air. BG dan kawan-kawan tentu sangat puas dengan hasil ini, namun tidak demikian dengan yang lainnya. Tapi inilah lakon hukum yang tengah kita saksikan bersama. Keputusan ini akan membawa efek yang sangat tidak baik, selain bagi penegakan hukum juga bagi pemberangusan praktek korupsi di tanah air.
Namun sang presiden masih kembali memulihkan kepercayaan masayarakat kepadanya dengan membatalkan pelantikan BG. Tapi teranyata membatalkan BG sebagai Kapolri bukan akhir dari segalanya, bukan “real happy ending” yang terajdi, pasalnya ada beberapa keputusan yang mengiringi keputusan tersebut, selain pengusulan Komjen Badrodin Haiti sebagai Cakapolri, penonaktifan duo Abraham Samad - Bambang Widjoyanto, presiden juga menunjuk pimpinan sementara KPK, dengan Taufiequrrachman Ruki sebagai Plt Ketua KPK, seorang purnawirawan bintang dua yang juga pernah menjadi pimpinan KPK edisi pertama.  Hal ini pun bukan langkah yang tepat untuk mendamaikan kedua institusi yang saling terlibat friksi ini.

Ditunjukknya Ruki yang sudah berusia 69 tahun dengan perppu yang di dalamnya sekaligus berisi pencabutan batasan usia pimpinan KPK pun terkesan dipaksakan. Sebab pada Oktober tahun 2010, di Era Mahfud MD, Makhkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan pengujian UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait syarat usia calon pimpinan KPK yang dimohonkan Farhat Abbas dan OC Kaligis. Dengan demikian pasal yang mengatur syarat usia calon pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 29 angka 4 dan 5 UU KPK tetap berlaku, usia calon pimpinan KPK yakni minimal 40 tahun dan maksimal 65 tahun. Penunjukkan Ruki menjadi Plt Ketua KPK ternyata tidak membawa angin segar bagi usaha pemberantas korupsi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, pimpinan KPK justru “melepas” BG begitu saja, melimpahkan ke Kejaksaan Agung sebelum dilakukan gelar perkara terlebih dahulu. Kebanyakan orang sudah mafhum, bahwa pelimpahan ini merupakan jalan pintas pembebasan BG melalui SP3 yang nantinya dikeluarkan oleh Mabes Polri.
Akibat hal ini tidak salah bila masyarakat mulai berspekulasi bahwa penunjukkan Ruki memang sudah disetting sejak praperadilan BG dikabulkan. Tiap-tiap proses dan keputusan politik pasti ada tujuan yang direncanakan. Ada desain yang sudah diset, baik itu desain kecil, sedang maupun besar yang kita kenal dengan istilah “grand design”. Desain-desain ini juga ada yang bertujuan baik, ada pula yang bertujuan buruk. “grand design” pencakapolrian BG dan penunjukkan Ruki sebagai Plt Ketua KPK tentu bukan serta-merta kehendak Jokowi. Sebagai “petugas partai” wajar jika ia selalu dibisiki, dipengarui bahkan ditekan oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya, terutama yang berasal dari partai pengusung, yakni PDIP dan kawan-kawan. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa “finishing touch” nya tetaplah Jokowi dan ia sendiri yang harus bertanggung jawab atas carut marut yang terjadi.
Kejadian Berulang
Pengamat Hukum Pidana, Syaiful Bahri mengatakan, intervensi dan kriminalitas terhadap KPK selalu terjadi disaat KPK mengusut kasus-kasus besar yang melibatkan institusi KPK. Ada kecenderungang yang membuat masyarakat jadi berfikir bahwa apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden SBY.  Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat), dan endingnya Antasari pun dikriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan menggusur Antasari.
Kriminalisasi Bibit dan Chandra. Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra, termasuk yang rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan. Dan pada akhirnya karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dan yang terakhir Bambang dan Samad pun di gulung habis meski hanya dengan perkara kecil yang terjadi jauh sebelum mereka menjadi petinggi KPK.
Menagih Janji Presiden
Salah satu janji Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam Program Nawacita adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Namun yang terjadi adalah sudah ada dua orang yang menjadi korban pelemahan.  Abraham Samad menjadi tersangka atas kasus pemalsuan dokumen dan Bambang Widjojanto menjadi tersangka atas kasus pemberian keterangan palsu. Selain kriminalisasi, tidak sedikit pegawai dan penyidik mendapat intimidasi dari pihak yang tidak dikenal.
Ketika dua pemimpin KPK menjadi tersangka, respons yang dilakukan Jokowi sungguh di luar harapan. Jokowi, dalam keputusannya, Rabu, 18 Februari lalu, justru tidak memberi ketegasan untuk menghentikan proses kriminalisasi dan ancaman terhadap KPK.  Presiden lebih memilih memberhentikan sementara (non-aktif) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pemimpin KPK, karena berstatus tersangka. Presiden juga menunjuk Taufiequrachman Ruki (mantan Ketua KPK), Indriyanto Seno Adji (akademikus), dan Johan Budi (Deputi Pencegahan KPK) sebagai pelaksana tugas sementara pemimpin KPK.  Sehingga, muncul asumsi bahwa Keputusan Presiden soal penunjukan tiga orang pelaksana tugas pemimpin KPK merupakan bentuk legalisasi terhadap upaya kriminalisasi yang dialami oleh dua pemimpin KPK. Tanpa adanya ketegasan Presiden untuk menghentikan proses kriminalisasi ini, proses pemeriksaan dan kriminalisasi terhadap sejumlah pemimpin ataupun penyidik yang diduga direkayasa atau terkesan dicari-cari akan terus berlanjut.
Upaya pelemahan ini makin Nampak ketika Proses hukum yang dilakukan oleh Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto, berdasarkan laporan Ombudsman, juga dinilai melanggar aturan dan ditemukan sejumlah maladministrasi. Ombudsman memberikan sejumlah rekomendasi, perlu adanya sanksi terhadap para penyidik Polri yang dinilai bermasalah.
Dalam kerangka penyelamatan KPK, seharusnya sikap atau tindakan yang perlu dilakukan oleh Presiden adalah memerintahkan Polri menghentikan proses kriminalisasi terhadap pemimpin, pegawai, dan penyidik KPK. Alternatif lainnya adalah Presiden dapat membentuk tim independen untuk menilai secara obyektif apakah proses kriminalisasi terhadap pemimpin KPK dinilai wajar atau tidak wajar.

Belajar dari pembentukan tim independen pernah dilakukan Presiden SBY dalam kasus Bibit-Chandra. Atas masukan rekomendasi tim independen yang juga disebut sebagai Tim 8, SBY kemudian memerintahkan Jaksa Agung menghentikan proses penuntutan (deponering) terhadap kasus Bibit dan Chandra. KPK akhirnya terselamatkan dari upaya pelemahan.   Dalam menyikapi polemik KPK-Polri saat ini, tidak terlihat sikap Jokowi dalam membela dua komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dibidik Polri. Berbeda saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan, kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah tidak perlu dilanjutkan sampai ke pengadilan lantaran berbau kriminalisasi. Kejaksaan Agung pun akhirnya men-deponeering kasus tersebut. Fakta hukum berupa rekaman yang dipertontonkan ke publik di persidangan MK, November 2009 lalu menunjukkan jika Bibit dan Chandra menjadi korban kriminalisasi yang dilakukan mafia hukum.
Pemberantasan korupsi jangan hanya sebatas jargon dan janji-janji muluk semata. Pemberantasan korupsi juga tidak bisa berjalan parsial dan sekadar diarahkan untuk menghantam para pihak menjadi lawan.  Namun, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara berkelanjutan, baik dalam bentuk tindakan represif maupun preventif.
Rakyat harus terus menagih janji Jokowi agar melaksanakan amanat Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, Bebas Korupsi dan Nepotisme. Ekspektasi rakyat terhadap Presiden Jokowi agar memperkuat KPK sangat tinggi karena korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, namun juga melabrak hak-hak sosial dan ekonomi rakyat.
Tap MPR No XI/1998 adalah mandat rakyat yang diberikan kepada para penyelenggara negara agar membentuk badan khusus, yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan agar dapat lebih agresif memberantas korupsi. Rakyatlah yang menginginkan KPK lantaran institusi hukum formal seperti Polri dan Kejaksaan tidak optimal memberantas korupsi sehingga membuat kepercayaan rakyat hilang (losing trust).
Tatkala menyimak kemauan politik para pemegang kekuasaan, baik di pemerintahan, legislatif maupun yudikatif, sangat lemah dalam memberantas korupsi, mau tidak mau, pemberantasan korupsi mengandalkan dukungan rakyat.
Semua lapisan masyarakat, kelompok profesi, swasta, serikat buruh, lembaga agama, akademisi, kelompok masyarakat sipil, dan sebagainya, tidak boleh berhenti mengawal KPK. Jika elemen rakyat sudah apatis, maka ibarat kanker, korupsi akan terus menjalar, yang akhirnya membunuh sendi-sendi kehidupan bangsa ini.
Masyarakat harus terus menagih janji Jokowi yang tercantum dalam Program Nawa Cita, yaitu memperkuat KPK. Jokowi harus memastikan bahwa keputusan yang diambil dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat KPK dalam melawan korupsi di negeri ini. Bukan sebaliknya, membiarkan KPK dilemahkan.
Rekomendasi
Perlu ada terobosan-terobosan dari Presiden Jokowi agar persoalan ini bisa selesaidengan tuntas. Sekali lagi, jika memang harus melakukan intervensi hukum, kenapa Presiden Jokowi tak mau melakukan. Hasilnya pun untuk masyarakat dan yang penting korupsi bisa dikalahkan. Pada akhirnya KPK harus menang dan korupsi harus kalah.Para pimpinan KPK tidak hanya dengan mempunyai komitmen ini namun juga mewujudkan dalam tindakan dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang saat ini telahmenjadi penyakit akut di negeri ini. Para pimpinan maupun PLT KPK tidak perlu khawatir dengan tekanan pihak-pihak yang melanggengkan korupsi,karena KPK mendapat dukungan dari rakyat.
Jika memang fokus KPK hanya pada kepentingan pemberantasan korupsi,maka komitmen KPK harus menang dan korupsi harus kalah, bisa diwujudkan. Sedangkan Presiden Jokowi yang semasa menjadiwali kota dan gubernur dikenal dengan pejabat antikorupsi harus membuktikan bahwa dia adalah sosok yang antikorupsi.Tentu harus ada terobosan keputusan dari Presiden Jokowi jika memang ingin disebut tokoh antikorupsi. Jangan justru, saat negeri ini dipimpin oleh Presiden Jokowi,upaya pemberantasan korupsi pada titik terendah dan para koruptor bisa menari-nari.  Masyarakat menunggu janji Presiden Jokowi yang lebih konkret. Karena jika tidak Presiden Jokowi bisa dituduh lebih suka melihat KPK kalah, korupsi menang.       
REFERENSI


No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...