MEMPERKUAT KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEMOGA TIDAK HANYA
SEKEDAR JANJI
Oleh
OLEH: DR. H. RUMADI SE. SH, M.Hum
Diawali dari diterimanya gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan
(BG) oleh pengadilan. Hakim Sarpin Rizaldi memutuskan
bahwa penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak sah. Putusan itu dibacakan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. (sumber; kompas). Peristiwa ini seolah Peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di tanah
air. BG dan kawan-kawan tentu sangat puas dengan hasil ini, namun tidak
demikian dengan yang lainnya. Tapi inilah lakon hukum yang tengah kita saksikan
bersama. Keputusan ini akan membawa efek yang sangat tidak baik, selain bagi
penegakan hukum juga bagi pemberangusan praktek korupsi di tanah air.
Namun sang presiden masih kembali memulihkan kepercayaan
masayarakat kepadanya dengan membatalkan pelantikan BG. Tapi teranyata
membatalkan BG sebagai Kapolri bukan akhir dari segalanya, bukan “real happy
ending” yang terajdi, pasalnya ada beberapa keputusan yang mengiringi keputusan
tersebut, selain pengusulan Komjen Badrodin Haiti sebagai Cakapolri,
penonaktifan duo Abraham Samad - Bambang Widjoyanto, presiden juga menunjuk
pimpinan sementara KPK, dengan Taufiequrrachman Ruki sebagai Plt Ketua KPK,
seorang purnawirawan bintang dua yang juga pernah menjadi pimpinan KPK edisi
pertama. Hal ini pun bukan langkah yang
tepat untuk mendamaikan kedua institusi yang saling terlibat friksi ini.
Ditunjukknya
Ruki yang sudah berusia 69 tahun dengan perppu yang di dalamnya sekaligus
berisi pencabutan batasan usia pimpinan KPK pun terkesan dipaksakan. Sebab pada
Oktober tahun 2010, di Era Mahfud MD, Makhkamah Konstitusi (MK) telah menolak
permohonan pengujian UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) terkait syarat usia calon pimpinan KPK yang dimohonkan Farhat Abbas dan
OC Kaligis. Dengan demikian pasal yang mengatur syarat usia calon pimpinan KPK
yang diatur dalam Pasal 29 angka 4 dan 5 UU KPK tetap berlaku, usia calon
pimpinan KPK yakni minimal 40 tahun dan maksimal 65 tahun. Penunjukkan Ruki
menjadi Plt Ketua KPK ternyata tidak membawa angin segar bagi usaha pemberantas
korupsi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, pimpinan KPK justru “melepas”
BG begitu saja, melimpahkan ke Kejaksaan Agung sebelum dilakukan gelar perkara
terlebih dahulu. Kebanyakan orang sudah mafhum, bahwa pelimpahan ini merupakan
jalan pintas pembebasan BG melalui SP3 yang nantinya dikeluarkan oleh Mabes
Polri.
Akibat hal
ini tidak salah bila masyarakat mulai berspekulasi bahwa penunjukkan Ruki
memang sudah disetting sejak praperadilan BG dikabulkan. Tiap-tiap proses dan
keputusan politik pasti ada tujuan yang direncanakan. Ada desain yang sudah
diset, baik itu desain kecil, sedang maupun besar yang kita kenal dengan
istilah “grand design”. Desain-desain ini juga ada yang bertujuan baik, ada
pula yang bertujuan buruk. “grand design” pencakapolrian BG dan penunjukkan
Ruki sebagai Plt Ketua KPK tentu bukan serta-merta kehendak Jokowi. Sebagai
“petugas partai” wajar jika ia selalu dibisiki, dipengarui bahkan ditekan oleh
orang-orang yang ada di sekelilingnya, terutama yang berasal dari partai
pengusung, yakni PDIP dan kawan-kawan. Namun demikian, perlu digaris bawahi
bahwa “finishing touch” nya tetaplah Jokowi dan ia sendiri yang harus
bertanggung jawab atas carut marut yang terjadi.
Kejadian Berulang
Pengamat Hukum Pidana, Syaiful Bahri mengatakan, intervensi dan
kriminalitas terhadap KPK selalu terjadi disaat KPK mengusut kasus-kasus besar
yang melibatkan institusi KPK. Ada kecenderungang yang membuat masyarakat jadi
berfikir bahwa apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang
sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang
bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu
mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang
yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini
masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita
telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru,
menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main
tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden SBY. Antasari bukan hanya akan membongkar Century,
tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam
tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat),
dan endingnya Antasari pun dikriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan
menggusur Antasari.
Kriminalisasi Bibit dan Chandra. Lalu bagaimana dengan Bibit dan
Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK
akan melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra, termasuk
yang rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap,
Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka
penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan. Dan pada akhirnya karena
dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan
Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa
Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah
kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dan yang terakhir Bambang dan Samad pun di gulung habis meski hanya
dengan perkara kecil yang terjadi jauh sebelum mereka menjadi petinggi KPK.
Menagih Janji Presiden
Salah satu janji Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam Program
Nawacita adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun yang terjadi adalah sudah ada dua orang
yang menjadi korban pelemahan. Abraham
Samad menjadi tersangka atas kasus pemalsuan dokumen dan Bambang Widjojanto
menjadi tersangka atas kasus pemberian keterangan palsu. Selain kriminalisasi,
tidak sedikit pegawai dan penyidik mendapat intimidasi dari pihak yang tidak
dikenal.
Ketika dua pemimpin KPK menjadi tersangka, respons yang dilakukan
Jokowi sungguh di luar harapan. Jokowi, dalam keputusannya, Rabu, 18 Februari
lalu, justru tidak memberi ketegasan untuk menghentikan proses kriminalisasi
dan ancaman terhadap KPK. Presiden lebih
memilih memberhentikan sementara (non-aktif) Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto sebagai pemimpin KPK, karena berstatus tersangka. Presiden juga
menunjuk Taufiequrachman Ruki (mantan Ketua KPK), Indriyanto Seno Adji
(akademikus), dan Johan Budi (Deputi Pencegahan KPK) sebagai pelaksana tugas
sementara pemimpin KPK. Sehingga, muncul
asumsi bahwa Keputusan Presiden soal penunjukan tiga orang pelaksana tugas
pemimpin KPK merupakan bentuk legalisasi terhadap upaya kriminalisasi yang
dialami oleh dua pemimpin KPK. Tanpa adanya ketegasan Presiden untuk
menghentikan proses kriminalisasi ini, proses pemeriksaan dan kriminalisasi
terhadap sejumlah pemimpin ataupun penyidik yang diduga direkayasa atau
terkesan dicari-cari akan terus berlanjut.
Upaya pelemahan ini makin Nampak ketika Proses hukum yang dilakukan
oleh Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto, berdasarkan laporan Ombudsman, juga
dinilai melanggar aturan dan ditemukan sejumlah maladministrasi. Ombudsman
memberikan sejumlah rekomendasi, perlu adanya sanksi terhadap para penyidik
Polri yang dinilai bermasalah.
Dalam kerangka penyelamatan KPK, seharusnya sikap atau tindakan
yang perlu dilakukan oleh Presiden adalah memerintahkan Polri menghentikan
proses kriminalisasi terhadap pemimpin, pegawai, dan penyidik KPK. Alternatif
lainnya adalah Presiden dapat membentuk tim independen untuk menilai secara
obyektif apakah proses kriminalisasi terhadap pemimpin KPK dinilai wajar atau
tidak wajar.
Belajar dari pembentukan tim independen pernah dilakukan Presiden SBY dalam kasus Bibit-Chandra. Atas masukan rekomendasi tim independen yang juga disebut sebagai Tim 8, SBY kemudian memerintahkan Jaksa Agung menghentikan proses penuntutan (deponering) terhadap kasus Bibit dan Chandra. KPK akhirnya terselamatkan dari upaya pelemahan. Dalam menyikapi polemik KPK-Polri saat ini, tidak terlihat sikap Jokowi dalam membela dua komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dibidik Polri. Berbeda saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan, kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah tidak perlu dilanjutkan sampai ke pengadilan lantaran berbau kriminalisasi. Kejaksaan Agung pun akhirnya men-deponeering kasus tersebut. Fakta hukum berupa rekaman yang dipertontonkan ke publik di persidangan MK, November 2009 lalu menunjukkan jika Bibit dan Chandra menjadi korban kriminalisasi yang dilakukan mafia hukum.
Belajar dari pembentukan tim independen pernah dilakukan Presiden SBY dalam kasus Bibit-Chandra. Atas masukan rekomendasi tim independen yang juga disebut sebagai Tim 8, SBY kemudian memerintahkan Jaksa Agung menghentikan proses penuntutan (deponering) terhadap kasus Bibit dan Chandra. KPK akhirnya terselamatkan dari upaya pelemahan. Dalam menyikapi polemik KPK-Polri saat ini, tidak terlihat sikap Jokowi dalam membela dua komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dibidik Polri. Berbeda saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan, kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah tidak perlu dilanjutkan sampai ke pengadilan lantaran berbau kriminalisasi. Kejaksaan Agung pun akhirnya men-deponeering kasus tersebut. Fakta hukum berupa rekaman yang dipertontonkan ke publik di persidangan MK, November 2009 lalu menunjukkan jika Bibit dan Chandra menjadi korban kriminalisasi yang dilakukan mafia hukum.
Pemberantasan korupsi jangan hanya sebatas jargon dan janji-janji
muluk semata. Pemberantasan korupsi juga tidak bisa berjalan parsial dan
sekadar diarahkan untuk menghantam para pihak menjadi lawan. Namun,
pemberantasan korupsi harus dilakukan secara berkelanjutan, baik dalam bentuk
tindakan represif maupun preventif.
Rakyat harus terus menagih janji
Jokowi agar melaksanakan amanat Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih, Bebas Korupsi dan Nepotisme. Ekspektasi rakyat terhadap Presiden
Jokowi agar memperkuat KPK sangat tinggi karena korupsi tidak hanya
menggerogoti keuangan negara, namun juga melabrak hak-hak sosial dan ekonomi
rakyat.
Tap MPR No XI/1998 adalah mandat
rakyat yang diberikan kepada para penyelenggara negara agar membentuk badan
khusus, yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan
agar dapat lebih agresif memberantas korupsi. Rakyatlah yang menginginkan KPK
lantaran institusi hukum formal seperti Polri dan Kejaksaan tidak optimal
memberantas korupsi sehingga membuat kepercayaan rakyat hilang (losing
trust).
Tatkala menyimak kemauan politik
para pemegang kekuasaan, baik di pemerintahan, legislatif maupun yudikatif,
sangat lemah dalam memberantas korupsi, mau tidak mau, pemberantasan korupsi
mengandalkan dukungan rakyat.
Semua lapisan masyarakat,
kelompok profesi, swasta, serikat buruh, lembaga agama, akademisi, kelompok
masyarakat sipil, dan sebagainya, tidak boleh berhenti mengawal KPK. Jika
elemen rakyat sudah apatis, maka ibarat kanker, korupsi akan terus menjalar,
yang akhirnya membunuh sendi-sendi kehidupan bangsa ini.
Masyarakat harus terus menagih janji Jokowi yang tercantum dalam
Program Nawa Cita, yaitu memperkuat KPK. Jokowi harus memastikan bahwa
keputusan yang diambil dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat KPK dalam
melawan korupsi di negeri ini. Bukan sebaliknya, membiarkan KPK dilemahkan.
Rekomendasi
Perlu ada terobosan-terobosan dari Presiden Jokowi agar persoalan
ini bisa selesaidengan tuntas. Sekali lagi, jika memang harus melakukan
intervensi hukum, kenapa Presiden Jokowi tak mau melakukan. Hasilnya pun untuk
masyarakat dan yang penting korupsi bisa dikalahkan. Pada akhirnya KPK harus
menang dan korupsi harus kalah.Para pimpinan KPK tidak hanya dengan mempunyai
komitmen ini namun juga mewujudkan dalam tindakan dalam menyelesaikan
kasus-kasus korupsi yang saat ini telahmenjadi penyakit akut di negeri ini.
Para pimpinan maupun PLT KPK tidak perlu khawatir dengan tekanan pihak-pihak
yang melanggengkan korupsi,karena KPK mendapat dukungan dari rakyat.
Jika memang fokus KPK hanya pada kepentingan pemberantasan
korupsi,maka komitmen KPK harus menang dan korupsi harus kalah, bisa
diwujudkan. Sedangkan Presiden Jokowi yang semasa menjadiwali kota dan gubernur
dikenal dengan pejabat antikorupsi harus membuktikan bahwa dia adalah sosok
yang antikorupsi.Tentu harus ada terobosan keputusan dari Presiden Jokowi jika
memang ingin disebut tokoh antikorupsi. Jangan justru, saat negeri ini dipimpin
oleh Presiden Jokowi,upaya pemberantasan korupsi pada titik terendah dan para
koruptor bisa menari-nari. Masyarakat
menunggu janji Presiden Jokowi yang lebih konkret. Karena jika tidak Presiden
Jokowi bisa dituduh lebih suka melihat KPK kalah, korupsi menang.
REFERENSI
No comments:
Post a Comment