MEMULIAKAN PETANI MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN
PELTU. DR. H. RUMADI. SE. SH. M.Hum.
AJENDAM V/BRAWIJAYA
Setelah beberapa waktu lalu raykat di negara ini di pusingkan
dengan naik turunnya barang kebutuhan pokok akibat naik turunnya BBM, kali ini
yang menjadi trending topic dalam berbagai media adalah masalah kenaikan beras
yang notabene adalah kebutuhan mendasar yang paling pokok di sektor pangan bagi
bangsa ini.
Sesuatu yang sangat ironis sepertinya terjadi di negeri ini,
Indonesia merupakan Negara agraris serta memiliki banyak sekali Sumber
Daya Alam yang melimpah. Jika dilihat seharusnya Indonesia bisa mencukupi
kebutuhan pangan masyarakatnya sendiri. Namun pada kenyataannya produksi pangan
Indonesia masih melakukan impor pangan dari Negara lain karena produksi
pangannya dianggap belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia akan
pangan. Bahkan Indonesia yang notabene dianggap sebagai Negara penghasil beras
terbesar ketiga di dunia harus melakukan impor beras dari Negara-negara
lain untuk bisa mencukupi kebutuhan beras masyarakat Indonesia.
Bahkan terkesan masalah kedaulatan pangan adalah jargon dari
pemerintahan baru seperti “revolusi mental” yang cenderung hanya lips service
dan sulit untuk di wujudkan. Pemerintah seolah tidak menyadari jika masalah
kelangkaan beras sangat rawan karena bisa membuat rakyat menjadi marah dan pada
suatu saat nanti akan bisa terjadi gejolak politik, apabila pemerintah tidak
segera mengambil langkah langkah yang memihak pada rakyat.Tidak adanya daya
beli sebagian masyarakat sebagai akibat masih tingginya angka kemiskinan dan
pengangguran di Indonesia. Kita kembalikan lagi hal pada hati nurani para
pemimpin negeri ini di manakah rasa nasionalismenya.
Penyebab Kelangkaan Beras
Seperti yang terjadi pada umumnya, jika ada kelangkaan pasti akan
ada kenaikan harga, inilah yang membuat rakyat semakin susah. Bahkan berbagai
hal tentang penyebab kelangkaan ini mulai simpang siur diberitakan mulai tidak
bersahabatnya cuaca hingga ada permainan para spekulan. Ini kemudian menjadi
pertanyaan besar trus apa kerja pemerintah selama ini?
Seperti yang di sebutkan oleh menteri perdagangan yang menyebutkan
bahwa kelangkaan beras ini akibat ulah mafia beras (http://www.tubasmedia.com).
Atau para anggota dewan yang menganggap Bulog lamban dalam melakukan operasi
pasar, hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa pemerintah kita ini
lemah, dan jauh dari jargon yang dikemukakannya mengenai kedaulatan pangan.
Bagaimana tidak spekulan pasti ada dalam setiap perdagangan, tapi mengapa bisa
Bulog sebagai badan usaha pemerintah yang ditunjuk untuk mengatasi masalah ini
tidak bisa berbuat apa-apa dan seperti kalah dengan adanya mafia?
Akar Masalah dari semua ini adalah kita seolah melupakan petani
sebagai salah satu komponen utama untuk mewujudkan Kedaulatan pangan ini, bukan
rahasia lagi jika meskipun di gembar-gemborkan adanya benih dan pupuk murah,
tetapi semua itu di kemas dalam aturan yang tidak pro kepada petani, sehingga
aturan yang dibuat itu tidak tepat sasaran alias para petani masih merasa
kesulitan mendapatkan pupuk maupun benih murah itu.
Kebijakan pertanian pada umumnya dan beras
pada khususnya ternyata menempatkan petani sebagai pemain utama sektor ini
dalam posisi yang sangat menyedihkan. Petani sebagai tulang punggung pertanian
berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Para petani bukanlah orang yang
malas sehingga menjadi miskin. Namun sekeras apapun bekerja, pendapatan yang
diperoleh sangat kecil dan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan subsisten.
Sedangkan untuk membiayai ongkos produksi periode berikutnya, satu-satunya cara
adalah berhutang.
Apakah kondisi ini akan terus dibiarkan
berlarut-larut? Atau memang profesi petani sudah tidak layak lagi ada di
Indonesia karena yang terjadi adalah penindasan, bahkan pembunuhan, secara
pelan-pelan. Atau mungkin pemerintah berencana untuk menjadikan Indonesia
menjadi pengimpor utama beras di dunia. Kondisi ini bisa jadi terwujud ketika
profesi petani benar-benar hilang di Indonesia. Jika hal ini terjadi mustahil
jargon ‘KEDAULATAN PANGAN’ akan bisa diwujudkan.
AKAR MASALAH UTAMA TERJADINYA KRISIS PANGAN
Meningkatnya kebutuhan pangan baik dalam jumlah, keragaman dan
mutunya, seiring dengan pertumbuhan populasi dan kualitas hidup masyarakat. Sumberdaya
lahan dan perairan sebagai basis kegiatan sektor pertanian semakin terdesak
oleh kegiatan perekonomian lainnya termasuk prasarana pemukinan dan
transportasi. Selain itu, produksi komoditas pangan juga menghadapi tantangan
di bidang teknologi, SDM, kegiatan hulu dan hilir, kesejahteraan masyarakat
produsen maupun konsumen, sistem pasar domestik hingga global, dan
penyelenggaraan pelayanan publik. Berbagai permasalahan dan tantangan yang
mempengaruhi upaya pembangunan ketahanan pangan, sebagai berikut.
Ketersediaan Pangan
Berbagai kendala dalam meujudkan kedaulatan pangan ini adalah
kemampuan produksi pangan yang semakin terbatas. Beberapa masalah kunci untuk
memenuhi ketersediaan pangan, yaitu: konversi lahan pertanian ke nonpertanian
khususnya sawah semakin luas. Peran lahan sebagai basis produksi pertanian
tidak tergantikan. Ketersediaan lahan adalah syarat mutlak mewujudkan ketahanan
pangan nasional. Tingginya laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian
mengakibatkan semakin langkanya sumber daya air untuk pertanian. Buruknya
saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian menyebabkan lahan pertanian
sering mengalami kekeringan dan gagal panen.
Masalah lain, meliputi fenomena iklim yang semakin tidak menentu
(eratik), karena pengaruh global warming yang diakibatkan
oleh emisi karbon dan illegal logging. Keterbatasan
petani dalam memanfaatkan teknologi pertanian dalam meningkatkan produktifitas
hasil pertaniannya. Kemampuan bulog menyerap gabah dan beras petani hanya
8%-10% dari kebutuhan beras Indonesia, sehingga belum mampu menjaga stok pangan
nasional. Kebijakan impor pangan untuk mencukupi stok pangan nasional
menyebabkan harga di dalam negeri tertekan dan merugikan para petani. Adanya
krisis bahan bakar fosil dan isu lingkungan membuat isu bahan bakar nabati (biofuel)
naik. Berbagai komoditas seperti kelapa sawit, kedelai, singkong, dan jagung
sekarang ditanam untuk keperluan biofuel. Padahal, kebutuhan pangan
nasional masih sulit untuk dipenuhi sendiri.
Permasalahan Distribusi
Stabilitas pasokan dan harga merupakan indikator penting yang
menunjukkan kinerja subsistem distribusi. Beberapa permasalahan terkait dengan
aspek distribusi, yaitu belum memadainya prasarana dan sarana distribusi untuk
menghubungkan lokasi produsen dengan konsumen di seluruh wilayah yang
menyebabkan kurang terjaminnya kelancaran arus distribusi pangan. Hal ini dapat
menghambat akses fisik dan berpotensi memicu kenaikan harga, sehingga dapat
menurunkan kualitas konsumsi pangan. Ketidaklancaran proses distribusi juga
merugikan produsen, karena disamping biaya pemasaran yang mahal, hasil
pertanian merupakan komoditi yang mudah susut dan rusak. Selain itu,
ketidakstabilan harga memberatkan petani. Dengan sifat produksi yang musiman,
penurunan harga pada saat panen cenderung merugikan petani. Sebaliknya, pada
saat tertentu, harga pangan meningkat dan menekan konsumen, tetapi peningkatan
harga tersebut tidak banyak dinikmati para petani sebagai produsen.
Pada distribusi benih dan pupuk dijumpai kesulitan petani
mendapatkan pupuk utamanya pupuk bersubsidi juga merupakan permasalahan dalam
sistem distribusi. Berdasarkan analisis, ditemukan beberapa faktor yang
berpengaruh menurunkan kemampuan penyediaan pupuk pada koperasi, yaitu (1)
kuota penyaluran pupuk koperasi yang hanya sekitar 30 %, (2) monopoli
penyaluran pupuk oleh swasta, (3) kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh ekspor
pupuk illegal ke luar negeri, pengalihan penjulan pupuk ke perusahaan
perkebunan besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu sehingga menyulitkan
koperasi menyediakan pupuk dalam jumlah yang memadai bagi petani, (4) jumlah
permintaan pupuk petani khususnya di Pulau Jawa yang terus meningkat, (5) harga
pupuk yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) menciptakan kendala pembiayaan
bagi koperasi untuk mensuplai pupuk kepada petani.
Konsumsi Pangan dan Kondisi
Petani
Meledaknya jumlah pertambahan
jumlah penduduk yang semakin besar dengan konsentrasi pangan pokok beras,
diikuti dengan laju produktivitas hasil pertanian yang lambat akan
semakin mempersulit beban penyediaan pagan, terutama dalam kondisi semakin
terbatasnya sumber daya alam sebagai basis produksi. Kebijakan pengembangan
pangan yang terfokus pada beras telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan
karbohidrat lainnya. Teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat kurang
berkembang dibandingkan teknologi produksi dan kurang bisa mengimbangi semakin
membanjirnya produk pangan olehan yang berasal dari pangan impor. Masyarakat
pada daerah terpencil masih mengalami kerawanan pangan secara berulang (kronis)
pada musim paceklik. Demikian pula sering terjadi kerawanan pangan mendadak
(transein) pada daerah-daerah yang terkena bencana. Akibatnya di beberapa
daerah mengalami kekurangan pangan atau kasus malnutrisi akibat tidak mampu
menjangkau akses konsumsi pangan.
Seperti kita ketahui petani
adalah ujung tombak penjaga ketahanan dan kedaulatan pangan pangan. Jika
produktivitas dan pendapatan mereka meningkat, akan sangat sigknifikan
kontribusinya kepada ketahanan pangan nasional. Pertama, jika
produktivitas usaha tani meningkat, suplai pangan nasional juga meningkat. Kedua,
ketika hasil usaha tani mereka mampu memberikan pendapatan tinggi, berarti
akses mereka terhadap pangan meningkat. Naiknya pendapatan petani berarti aspek
keterjangkauan dalam ketahanan pangan nasional akan meningkat. Ada empat
kendala yang dihadapi petani untuk meningkatkan produktivitas dan
pendapatannya. Pertama, kendala struktural sumber daya lahan. Sebagian
besar petani kita adalah petani lahan sempit. Teori ekonomi mengatakan ada ukuran
skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic
of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan dan efisien. Kedua,
masalah rendahnya akses terhadap input pertanian penting. Ketiga,
minimnya akses terhadap dana dan modal. Keempat, banyaknya masalah
pada pemasaran output mereka.
MEMULIAKAN PETANI MENGATASI AKAR MASALAH
Masalah kelangkaan beras ini sebenarnya sangat mudah jika semua
komponen yang ada di dalamnya bersatu padu dan bahu membahu dengan sedikit
memuliakan petani sebagai komponen utama dalam masalah ini, langkah-langkah
mudah ini akan benar-benar dapat mewujudkan ‘kedaulatan pangan’ jika semua
pihak mempunyai komitmen untuk menjalankannya dengan baik. Adapun
langkah-langkahnya adalah:
1.
Membuat aturan subsidi dan
penyaluran benih dan pupuk yang lebih pro kepada petani karena kita ketahui Keresahan yang ditimbulkan di masyarakat seperti penyaluran
pupuk bersubsidi berpotensi tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan
kebutuhan petani. Volume penyaluran pupuk bersubsidi yang dilaporkan produsen
pupuk tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya, sehingga berdampak pada
perhitungan subsidi, hal ini memerlukan program tata kelola program subsidi
pupuk maupun benih yang benar-benar di perhatikan oleh pemerintah.
Kalau kita telusuri kesulitan petani mendapatkan pupuk utamanya
pupuk bersubsidi juga merupakan permasalahan dalam sistem distribusi pupuknya.
Berdasarkan pengamatan, ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh menurunkan
kemampuan penyediaan pupuk pada koperasi, yaitu (1) kuota penyaluran pupuk
koperasi yang hanya sekitar 30 %, (2) monopoli penyaluran pupuk oleh swasta,
(3) kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh ekspor pupuk illegal ke luar negeri,
pengalihan penjulan pupuk ke perusahaan perkebunan besar atau dihilangkan untuk
tujuan tertentu sehingga menyulitkan koperasi menyediakan pupuk dalam jumlah
yang memadai bagi petani, (4) jumlah permintaan pupuk petani khususnya di Pulau
Jawa yang terus meningkat, (5) harga pupuk yang melebihi Harga Eceran Tertinggi
(HET) menciptakan kendala pembiayaan bagi koperasi untuk mensuplai pupuk kepada
petani.
2.
Melakukan Upaya agar sawah tidak
menghilang adalah dengan menerbitkan undang2 konservasi lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2b) Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tapi hal ini
kadang cukup sulit dalam penerapanya..bagaimana bisa melarang orang menjual
sawah2nya sendiri ke pemilik modal untuk dialih fungsikan atau mengkonversi
sawah tersebut menjadi rumah bagi anak2nya, tetapi dengan membuat kebijakan
yang pro kepada petani, paling tidak akan membuat petani tidak begitu saja
melepaskan lahannya, karena yang ada saat ini adalah justru petani adalah pihak
yang lemah ketika lahannya akan di jadikan sesuatu atau untuk pembangunan bagi
para pengembang atau investor di bidang pembangunan.
Padahal dengan
menghilangnya lahan pertanian ini, pada musim penghujan akan cepat menyebabkan
bencana juga karena hilangnya unsur serapan air akibat hilangnya fungsi lahan.
3.
Mengembalikan fungsi Bulog
sebagai penstabil harga beras di pasaran, disini Perum Bulog juga harus
memberikan harga beli terhadap produk dengan harga yang wajar kepada para
petani. Saat bersamaan petani juga mendapatkan pendapatan yang cukup dengan kepercayaan
bahwa produksinya bisa dibeli Bulog. Sehingga keuntungan itu bisa dinikmati
untuk kehidupannya.
4.
Kebijakan pemerintah dalam
mengatur stabilisasi harga gabah dan beras sering tidak efektif dan dinikmati
para petani. Dikotomi pro-produsen/konsumen juga tidak pernah lepas dari
pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan perberasan dimana harus
melindungi produsen (petani) sekaligus konsumen. Disinilah diperlukan kebijakan
ganda yang lebih komprehensif sebagai kompromi guna menyatukan dua kepentingan.
Oleh karena itu, kebijakan HPP perlu dibarengi kebijakan lain yang bisa
mengangkat kesejahteraan petani. Pertama, dalam jangka
menengah/panjang kebijakan kontrol harga langsung dihilangkan, dikompensasi
dengan subsidi input (pemberian bibit unggul,
pupuk, penyuluhan, irigasi yang baik, teknologi pertanian, dan lainnya) untuk
menurunkan biaya yang harus ditanggung petani padi. Kedua, stabilitas
pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi kosumen komoditas pangan.
Menghadapi berbagai problematika ketahanan pangan nasional dewasa
ini, maka pemerintah perlu menata kembali struktur perekonomiannya apabila
tidak ingin hanya menjadi pasar produk asing serta mengalami krisis pangan yang
berkepanjangan. Kebijaksanaan pembangunan di Indonesia perlu diarahkan pada
pertumbuhan sektor pertanian. Oleh karena itu, sangatlah strategis bahwa perlu
adanya strategi pembangunan nasional yang meletakkan sektor pertanian sebagai
mesin penggerak ekonomi bangsa. Dengan cara ini, kapasitas produksi pertanian
lebih dapat ditingkatkan termasuk kemampuan ekspor sehingga mampu mengurangi
kebutuhan impor, sekaligus memperbesar cadangan devisa yang selanjutnya dapat
mengurangi defisit anggaran. Selain itu, apabila kinerja sektor pertanian dan
pendapatan masyarakat pedesaan yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia
meningkat, maka permintaan masyarakat terhadap input-input industri menjadi
lebih tinggi sehingga transformasi ekonomi ke arah industrialisasi akan menjadi
lebih kokoh (Nasoetion, 2003).
Sistem pertanian berbasis rakyat merupakan sistem pertanian
tradisional yang biasanya bersifat subsistem. Secara sosiologis, petani
Indonesia lebih bersifat subsistem, kurang mengenal potensi dirinya sendiri
untuk bergerak lebih maju ke arah pertanian komersial (Ikhsan dan Mohammad,
1996). Sehingga setiap ada peluang bisnis, yang sigap menangkap bukan petani,
melainkan pedagang. Nilai tambah terbesar jatuh ke tangan pedagang, sedangkan
petani tetap bertahan dalam level subsistem. Oleh karena itu, diperlukan bekal
keterampilan bagi petani yang dibantu pemerintah agar dapat memberikan nilai
tambah produk pangan yang dihasilkan melalui industri pengolahan pangan dan
tambahan modal.
Sistem pertanian rakyat tidak boleh dihilangkan, karena menyangkut
hajat hidup petani yang sudah lama bergelut dengan pertanian pangan. Namun,
sistem produksi rakyat seperti ini sulit ditingkatkan sehingga diperlukan
kebijakan dan sistem pertanian pangan modern untuk diterapkan. Peran negara dan
swasta sebagai industri besar didorong untuk menjalankan produksi pangan beras
berupa areal persawahan besar (rice estate). Strategi ini
digunakan untuk mengimbangi sistem pertanian pangan besar dan modern di
negara-negara pengekspor pangan, seperti AS, Australia, dan negara di Eropa.
Bahkan sektor pertanian di negara tersebut ketat diproteksi, ditambah subsidi
oleh negara dalam jumlah sangat besar.
PENUTUP
Selama ini akibat kelangkaan pangan ini
kita tidak menyadari bahwa pihak yang paling dirugikan oleh kebijakan pertanian
khususnya beras adalah petani sendiri. Petani berada pada posisi diambang
kemiskinan. Ketika telah menjadi miskin, petani semakin terpuruk karena
kemiskinan menjadikan petani rentan, tidak berdaya dan voiceless.
Kondisi ini disebabkan oleh ketidakmampuan petani untuk memperoleh nilai tambah
atas produk yang dihasilkannya. Nilai tambah dari pertanian diambil oleh
pengusaha dan dunia industri.
Untuk itu perlu di buat
kebijakan-kebijakan yang benar-benar memuliakan petani, diantaranya Bulog harus
mengambil peran penting dalam memantau dan mengawasi tata niaga beras. Selama
ini posisi Bulog ambigu yakni sebagai regulator dan pemain. Sebagai regulator,
Bulog seharusnya tidak diperkenankan menjadi pemain. Dalam sepakbola akan
sangat sulit mengalahkan tim yang bermain tapi merangkap sebagai wasit. Kebijakan
Kedaulatan pangan ini ini tidak akan berhasil apabila tidak ada political
will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan petani atau lebih
memuliakan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan ini mencakup
lintas wilayah, sektor, dan pelaku. Perbedaan kepentingan antar faktor pasti
terjadi dan hal itu sangat alamiah. Ketika setiap faktor tidak bisa duduk
bersama maka realisasi kebijakan ini akan semakin sulit terwujud.
Kedaulatan dan Ketersediaan
pangan merupakan tulang punggung pertahanan nasional. Kebijakan ketahanan
pangan nasional pada saat ini masih belum membuat bangsa Indonesia terbebas
dari krisis pangan. Kondisi ini disebabkan oleh permasalahan subsistem
ketersediaan pangan, distribusi, konsumsi dan kondisi petani. Kemampuan
produksi pangan yang semakin terbatas disebabkan meluasnya konversi lahan
pertanian ke nonpertanian, permasalahan saluran irigasi, teknologi pengolahan
sawah oleh petani masih bersifat tradisional, pengelolaan distribusi pupuk yang
amburadul, serta kebijakan impor pangan yang menjadi bumerang terhadap
ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, faktor kunci dalam menjaga
ketahanan pangan bukan hanya dari peran pemerintah saja, tetapi juga peran
masyarakat sebagai benteng terakhir penjaga ketahanan pangan nasional.
Kebijaksanaan pembangunan
Indonesia perlu diarahkan pada pertumbuhan di sektor pertanian sebagai mesin
penggerak ekonomi bangsa. Dibutuhkan strategi baru dengan pilar produksi sistem
pertanian modern yang melibatkan pertanian rakyat, peran BUMN, dan swasta berupa
areal persawahan besar (rice estate). Dengan cara ini, maka
kesenjangan antara produktivitas pertanian dan nonpertanian dapat dihilangkan
dan kelangsungan pertumbuhan nasional lebih terjamin. Pembangunan masyarakat
pedesaan/petani perlu di arahkan kepada penciptaan sektor pertanian sebagai
lapangan usaha yang menarik, sehingga konversi tanah pertanian ke nonpertanian
dapat dicegah secara alamiah. Dengan demikian upaya pencegahan dan pengendalian
alih fungsi lahan pertanian melalui peraturan-peraturan formal pemerintah akan
menjadi lebih bermakna.
Referensi:
Arifin, B. 2007. Diagnosa Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan
Implementasinya. Prosoding Seminar Nasional Multifungsi dan
Konversi Lahan Pertanian.
Mukhamad Kurniawan, 2006, Petani,
Kuli di Lahan Sendiri, Fokus Kompas, 25 Nov 2006
Sri Hartati Samhadi,2006, Kambing
Hitam Kemiskinan, Fokus Kompas, 25 Nov 2006
http://www.tubasmedia.com/berita/mendag-rachmat-gobel-diminta-tangkap-mafia-beras/
No comments:
Post a Comment