MENGKRITISI KEPUTUSAN HAKIM PADA
SIDANG PRA PERADILAN KASUS “BG”
Oleh:
Dr. H.
Rumadi, SE., SH., M.Hum
Teka-teki mengenai pra peradilan yang diajukan
oleh Calon Kapolri Budi Gunawan atas penetapan
tersangkanya yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, melalui hakim Praperadilan atas kasus
tersebut, Sarpin Rizaldi, mengabulkan pra
peradilan yang diajukan oleh BG atas penetapan tersangkanya. Pada intinya
beberapa hal yang sangat patut untuk dikritisi lebih lanjut mengenai dasar
penjatuhan putusan tersebut, yang jelas BERBEDA dari
dasar penjatuhan yang dapat dijatuhkan menurut penulis dalam tulisan tersebut.
Sebuah
putusan hakim yang sudah selayaknya dihormati Namun ada beberapa hal yang
sangat patut untuk dikritisi lebih lanjut mengenai dasar penjatuhan putusan
tersebut, ada 3 (tiga) dasar penjatuhan putusan tersebut yang sangat menjadi
perhatian disini.
Pertama, oleh hakim dinyatakan bahwa BG bukanlah penyelenggara negara,
sehingga tidak tepat KPK melakukan proses hukum terhadap BG.
Kedua, menurut pendapat hakim bahwa KUHAP memang tidak memasukkan
penetapan tersangka sebagai objek pra peradilan. Namun, menurut undang-undang
kehakiman, hakim memiliki wewenang untuk mengadili sebuah perkara yang belum
ada di dalam aturan, dengan tujuan memberi tafsir yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Ketiga, hakim berpendapat bahwa tidak ada bukti dari KPK yang membuktikan
unsur “kerugian negara” seperti yang dituduhkan.
Tiga
dasar inilah yang akan kita kritisi lebih lanjut dalam tulisan ini.
Dasar
Pertama
Disini
ada pertanyaan mengenai hakim yang menggunakan alasan “BG bukanlah
penyelenggara negara, maka KPK tidak dapat melakukan proses hukum terhadap BG”.
Sebelumnya,
memang tidak ada yang salah dengan hakim Sarpin yang menyatakan bahwa BG
bukanlah penyelenggara negara. Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, beserta penjelasannya,
disebutkan bahwa:
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang:
- Melibatkan aparat penegak
hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
- Mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat; dan/atau
- Menyangkut kerugian negara
paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Lalu,
apabila kita melihat Pasal 2 angka 7 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, beserta penjelasannya, disebutkan bahwa:
Penyelenggara
Negara meliputi:
1…
7.
Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
Yang
dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat
yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
1.
…
4.
Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil,
militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Apabila
kita melihat kepada website resmi dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur
Negara (Kemenpan), maka pejabat eselon di lingkungan Polri adalah sebagai
berikut:
Eselon
I:
Wakil
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) (I.a); Inspektur
(Irwasum) (I.a); Kepala Badan (I.a); Deputi Kapolri (I.a); Kepala Badan (I.b);
Wakil Inspektur (I.b); Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (I.b);
Gubernur (PTIK dan AKPOL) (I.b); Kepala Lembaga (Lemdiklat) (I.b); Kepala
Divisi (I.b); Wakil Kepala Badan (I.b); Kepala Korps (Korbrimob) (I.b).
Eselon
II:
Kapolda
(II.a); Wakil Kepala Divisi (II.a); Kepala Biro (II.a); Kepala Pusat
(II.a); Direktur (II.a); Inspektur (II.a); Inspektur Wilayah (II.a); Kepala
Sekolah (Selapa dan Secapa) (II.a); Kepala Rumah Sakit Polri (II.a); Kepala
Detasemen (Densus 88) (II.a); Kepala Bagian (II.b); Instruktur Bidang (II.b).
Eselon
III:
Kepala
Bagian (III.a); Kepala Subdirektorat (III.a); Kepala Bidang (III.a).
Eselon
IV:
Kepala
Subbagian (IV.a); Kepala Seksi (IV.a); Kepala Subbidang (IV.a).
Eselon
V:
Kepala
Urusan (V.a); Kepala Subseksi (V.a)
Apabila
kita melihat struktur eselon di atas, maka sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir
Polri pada saat itu, BG memang tidak dapat
diklasifikasikan sebagai penyelenggara negara.
Memang
sampai di sini, hakim berada pada posisi yang benar namun yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah kedudukan ini serta merta menggugurkan posisi BG sebagai aparat
penegak hukum?
Kalau
dilihat UU 2/2002, bahwa dalam Pasal 2
dinyatakan jelas bahwa “Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”.
Artinya,
anggota dari lembaga kepolisian, yang memiliki fungsi seperti yang disebutkan
di atas, dapat secara langusng kita artikan sebagai aparat penegak hukum, yaitu
aparat yang menjalankan fungsi penegakan hukum. Status aparat hukum ini pula
mengikat bagi BG, yang adalah anggota kepolisian.
Dalam
hal ini fungsi penegakan hukum sangat terkait dengan proses penyelidikan dan
penyidikan, sehingga tidak jarang orang menafsirkan bahwa yang disebut sebagai
aparat penegak hukum, dalam konteks lembaga kepolisian, adalah penyelidik atau
penyidik.
Padahal,
kalau kita melihat secara definisi tentang kepolisian, anggota kepolisian, dan
fungsi dari kepolisian, maka status aparat penegak hukum melekat kepada semua
anggota kepolisian, terlepas ia adalah penyelidik, penyidik, atau bukan, yang
dalam hal ini adalah anggota kepolisian yang melaksanaan fungsi administratif.
Harus
dibedakan status anggota kepolisian dalam konteks negara dan konteks secara
kelembagaan. Secara kenegaraan, seluruh anggota kepolisian adalah aparat penegak
hukum, walaupun secara lembaga kepolisian, ia hanya menjalankan tugas yang
bersifat administratif.
Dengan
pendekatan ini, maka tidak tepat hakim
dalam perkara pra peradilan BG menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memproses
BG secara hukum, karena memang walaupun dia bukan penyelenggara negara,
status BG adalah sebagai aparat penegak hukum, yang menurut Pasal 11 UU KPK di
atas, dapat diproses hukum oleh KPK.
Yang
paling mengherankan, hakim juga seharusnya tidak menafikkan fakta bahwa syarat
kedua yang ada di Pasal 11 UU KPK, yaitu “mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat”, sudah terpenuhi.
Kalau
hanya untuk hal tersebut tidak perlu mengadakan penelitian ilmiah atau survey
untuk melihat bahwa perkara BG ini sangat mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat. Kita lihat saja dari berapa banyak jumlah kamera yang meliput
jalannya pra peradilan tersebut dan bagaimana stasiun televisi Indonesia setiap
hari menyuguhkan perkembangan-perkembangan dari kasus BG, bahkan
menanyangkannya secara live.
Dengan
logika yang sehat saja kita sudah bisa menilai bahwa perkara BG ini sangat
menarik perhatian masyarakat dan tentu mendatangkan keresahan. Mengapa? Karena
BG adalah calon Kapolri, kepala dari salah satu institusi penegakan hukum di
Indonesia.
Pertanyaannya,
masyarakat mana yang tidak resah, calon dari kepala institusi penegakan hukum
negaranya, diduga terlibat kasus yang bagi masyarakat luas sangat diperangi,
yaitu korupsi?
Apakah
kita harus mengadakan penelitian ilmiah untuk membuktikan ini? Saya kira tidak
perlu. Cukup dengan akal dan logika yang sehat saja untuk menyatakan demikian.
Dasar
Kedua
Menurut
penulis, ada hal yang dilakukan dengan dasar yang tidak tepat yang dilakukan
oleh hakim dalam menentukan bahwa penetapan tersangka sebagai objek pra peradilan.
Hakim
mendasarkan kepada UU kehakiman yang bisa melakukan penemuan hukum selama belum
di atur, dan KUHAP belum mengatur penetapan tersangka sebagai objek pra
peradilan.
Pertanyaannya,
apakah bisa dengan alasan sesederhana itu lalu hakim membuat hukum baru dengan
melakukan penemuan hukum? Apa yang mendorong hakim akhirnya melaksanakan
kewenangannya untuk melakukan penemuan hukum?
Hal
ini lah yang tidak dijelaskan oleh hakim dalam menetapkan penetapan tersangka
sebagai objek pra peradilan, sehingga sangat terkesan tidak memiliki alasan.
Bahkan, kalau kita mendengar pembacaan putusan tersebut pagi lalu, yang
tergambar adalah KUHAP belum mengatur penetapan tersangka sebagai objek pra
peradilan.
Namun,
bukan berarti hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengadili itu, atau dalam
kata lain: “kan belum diatur, tidak dilarang, berarti boleh”. Lalu, agar dapat
diatur, dipakai lah UU kehakiman sebagai dasar hukum untuk melakukan penemuan
hukum.
Mengenai
penemuan hukum, Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa latar belakang perlunya
seorang hakim melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh
menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya
tidak lengkap atau tidak jelas, atau yang dikenal dengan asas Ius Curia
Novit, atau hakim dianggap tahu mengenai hukum.
Asas
ini juga tercantum jelas dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain
itu, dalam buku Panduan Bantuan Hukum milik Sudikno, Sudikno menyatakan bahwa
cara penemuan hukum disdapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
Metode
Interpretasi atau Penafsiran
Merupakan
metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk
mengetahui makna undang-undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam
hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya.
Interpretasi
atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:
- Gramatikal, yaitu penafsiran
menurut bahasa sehari-hari.
- Historis, yaitu penafsiran
berdasarkan sejarah hukum.
- Sistimatis, yaitu menafsirkan
undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.
- Teleologis, yaitu penafsiran
menurut makna/tujuan kemasyarakatan.
- Perbandingan hukum, yaitu
penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain.
- Futuristis, yaitu penafsiran
antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum.
Logika
berpikir pada Konstruksi Hukum
Dapat
digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara
tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai peristiwa yang
terjadi. Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika
berpikir secara:
- Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi, peristiwa
yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam
undang-undang diperlakukan sama.
- Penyempitan hukum. Pada
penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap
peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau
konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
- Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu
menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang
diatur dalam undang-undang.
Pertanyannya,
apakah hakim sebebas itu untuk melakukan penemuan hukum? Apakah semua hal harus
dilarang terlebih dahulu baru tidak boleh dilakukan? Apakah mengatur, bahkan
membentuk hukum baru, tentang suatu hal yang belum diatur tidak memerlukan
dasar-dasar yang kuat, mengingat hal yang akan di atur bisa saja merugikan
orang lain?
Apakah
hal tersebut tidak harus dijelaskan dalam putusan yang mengandung penemuan
hukum? Kalau hakim bisa sebebas itu membuat putusan dengan melandaskan kepada
kewenangan penemuan hukum yang dimilikinya, pertanyannya, apa gunanya peraturan
perundang-undangan yang sudah dibuat dengan memakan waktu dan tenaga, kalau
memang sangat gampang untuk disimpangi, tanpa alasan yang jelas dan kuat?
Ini
lah yang tidak dilakukan oleh Hakim Sarpin.
Hakim
hanya menyebutkan bahwa KUHAP tidak mengatur, UU kehakiman boleh penemuan
hukum, lalu langsung diterobos pasal KUHAP.
Apa
alasannya sampai harus menerobos ketentuan dalam KUHAP? Hanya Tuhan dan Hakim
Sarpin yang tahu hingga saat ini.
Hakim
Sarpin sebenarnya menjelaskan (mungkin) alasan ia melakukan penemuan hukum
dengan menetapkan penetapan tersangka sebagai objek pra peradilan. Sarpin
menuturkan bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari sebuah proses
penyelidikan dan penyidikan.
Di
dalamnya, kata dia, mengandung unsur pemaksaan yang tertuang di dalam KUHAP.
Namun, apakah benar ada pemaksaan dalam penetapan tersangka? Jawabannya adalah
tidak ada.
Lagipula
tidak semua upaya paksa yang ada di proses penyelidikan dan penyidikan dapat di
pra peradilan kan, apabila kita mengacu kepada Pasal 77 KUHAP. Hanya sebatas
penangkapan dan penahanan.
Kalau
hakim Sarpin mendasarkan adanya unsur pemaksaan dalam tahap penyelidikan dan
penyidikan, berarti secara tidak langsung hakim Sarpin menyatakan bahwa
penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat, yang juga ada dalam tahap
penyelidikan dan penyidikan, juga masuk ke dalam objek pra peradilan.
Semakin
konyol saja dampak dari pendapat tersebut, karena hal-hal tersebut tidak lah
masuk sebagai objek pra peradilan karena sudah ada izin dari Pengadilan sebelum
pelaksanaannya, sehingga sudah ada control dari Pengadilan dan apabila
dilakukan dengan cara yang tidak sah, yang dapat dilakukan adalah mekanise
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, sesuai Pasal 95 KUHAP, bukan lah
pra peradilan.
Poin
yang ingin penulis sampaikan adalah pendapat hakim Sarpin yang mendasarkan
kepada penetapan tersangka adalah bagian dari penyelidikan dan penyidikan yang
memiliki unsur pemaksaan, sehingga seharusnya dapat di pra peradilan kan adalah
tidak tepat.
Karena
tidak semua yang ada di tahap penyelidikan dan penyidikan memiliki unsur
pemaksaan yang dapat di pra peradilan kan, sehingga tidak bisa digeneralisasi
bahwa semua yang ada di tahap penyelidikan dan penyidikan, karena memiliki
unsur pemaksaan, dapat di pra peradilan kan, termasuk penetapan tersangka.
Menurut
penulis, alasan ini tidak tepat dijadikan dasar untuk memasukkan penetapan
tersangka sebagai objek pra peradilan.
Dasar
Ketiga
Tentang
KPK yang tidak membuktikan mengenai unsur “kerugian negara” dalam kasus BG,
menurut penulis, ada kesalahan besar yang dilakukan hakim Sarpin dalam
menggunakan dasar ini.
Sebelumnya,
yang harus kita ketahui bersama bahwa BG diduga melakukan tindak pidana
menerima suap dan menerima gratifikasi, yang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 jo.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur dalam Pasal 11 dan 12 untuk menerima suap dan Pasal
12B untuk menerima gratifikasi.
Bunyi
Pasal-pasal tersebut adalah :
Pasal
11
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
Pasal
12
Dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya;
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
- Hakim yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili;
- Seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang
kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan; atau
- Pegawai negeri atau
penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.
Pasal
12 B
(1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b.
yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Mari
kita sekarang sama-sama membaca pasal-pasal yang sudah penulis sertakan di
atas. Penulis sengaja menyertakan bunyi pasal-pasal yang diduga kepada BG agar
kita bisa melihat bersama-sama dengan kemampuan membaca kita yang penulis
yakin, kita semua pasti sudah lulus dari pemberantasan buta huruf, sehingga
membaca pasal-pasal di atas tidak lah akan terasa sulit.
Pertanyaan
yang timbul adalah, dari pasal-pasal di atas, apakah ada disebutkan “kerugian
negara”? atau bagi anak hukum, apakah ada unsur “kerugian negara” dalam
pasal-pasal yang didugakan kepada BG di atas?
Jawabannya
adalah ….. TIDAK ADA.
Artinya,
apa unsur “kerugian negara” memang tidak perlu dibuktikan dalam perkara BG
karena tidak disyaratkan oleh UU Tipikor untuk membuktikan BG bersalah dan
terbukti melanggar pasal-pasal di atas.
Lalu
kenapa Hakim Sarpin mendasarkan tidak dibuktikannya unsur “kerugian negara” ini
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa penyidikan KPK tidak sah, sehingga
penetapan tersangkanya harus dinyatakan tidak sah, padahal itu tidak
disyaratkan undang-undang?
Kita
semua pasti yakin Hakim Sarpin lulus pemberantasan buta huruf dan
seharusnya bisa membaca hal ini, sehingga seharusnya tidak terjadi kesalahan
seperti saat ini.
Penulis
berpendapat, Hakim Sarpin mendasarkan bahwa harus adanya pembuktian unsur
“kerugian Negara” kepada putusan pra peradilan tersangka bioremediasi Chevron,
Bachtiar Abdul Fatah, tahun 2012 lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun,
pada dasarnya, Hakim Sarpin tidak bisa secara langsung mendasarkan kepada
putusan tersebut. Mengapa? Karena pasal
yang didakwakan adalah BERBEDA. Perlu diketahui bahwa Bachtiar didakwa
dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yang berbunyi:
Pasal
2
1) Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2) Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal
3
Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Bisa
kita lihat dan baca bersama, bahwa unsur “kerugian negara” adalah unsur yang
disyaratkan oleh Pasal yang didakwakan kepada Bachtiar, sehinga tidak adanya
pembuktian unsur “kerugian negara” menjadi sangat penting, karena bagaimana
mungkin seseorang ditetapkan sebagai tersangka korupsi dengan pasal sangkaan
Pasal 2 dan 3 ketika tidak ada unsur “kerugian Negara”.
Namun,
logika ini tentunya tidak dapat digunakan pada kasus tersangka yang pasal
sangkaannya tidak mensyaratkan unsur “kerugian negara”, seperti kasus BG, yang
disangka dengan Pasal 11, 12, dan 12B. Sehingga, penulis berkesimpulan bahwa
alasan tidak dibuktikannya unsur “kerugian negara” oleh KPK dalam kasus BG tidak
dapat dijadikan dasar untuk menyebut bahwa proses hukum yang dilakukan terhadap
BG adalah tidak sah.
Penutup
Ada
3 hal yang harus penulis luruskan dari putusan ini. Pertama, terlepas dari
dasar putusan yang konyol, kita patut
mengapresiasi hakim Sarpin yang menemukan lingkup penyelenggara negara yang
bisa diproses oleh KPK.
Ini
disadari setelah putusan pra peradilan BG, bahwa penyelenggara negara yang bisa
diproses oleh KPK, selain penyelenggara-penyelenggara negara lain yang ada di
Pasal 2 UU 28/1999, hanyalah sebatas
pejabat eselon I.
Hal
ini harusnya disadari oleh KPK, karena hal ini digariskan dengan tegas oleh UU
KPK sendiri, sehingga kedepannya tidak ada pejabat eselon II atau lebih rendah
(selain yang yang tertera di Pasal 2 UU28/1999), dan tidak berstatus penegak
hukum, yang diproses oleh KPK, kecuali perkaranya menarik perhatian dan
mendatangkan keresahan masyarakat, serta menyangkut kerugian negara minimal 1
milyar rupiah.
Hal
ini berguna agar KPK tidak melakukan sesuatu yang ada diluar kewenangan KPK.
Kedua,
putusan pra peradilan initidak
mengatakan kalau BG tidak bersalah. Secara tidak langsung, putusan ini
hanya mengatakan bahwa BG bisa diproses dengan pasal-pasal itu, namun bukan
oleh KPK, jadi secara logika kasus ini harus diproses oleh Polri.
Tapi
apakah mungkin bisa diproses dengan posisi BG sekarang? Pada dasarnya, KPK tetap bisa melakukan proses hukum
terhadap BG. Karena walaupun BG tidak dapat dikualifikasikan sebagai
penyelenggara negara, seperti dalam putusan, KPK masih dapat memproses dengan status BG sebagai penegak hukum.
Oleh
karena itu pula, penulis berpendapat, pada dasarnya, secara hukum, putusan ini tidak memiliki dampak apapun
terhadap proses BG. Jadi sebenarnya, tidak perlu menjadi polemik di
masyarakat seperti saat ini. Hanya saja memang putusannya patut dikritisi
secara ilmu hukum, khususnya pertimbangan Hakim Sarpin.
Dan
yang ketiga, Hakim Sarpin hanya
menghubungkan status eselon BG dengan penyelenggara negara, bukan dengan
penegak hukum. Jadi, dengan BG yang pada saat itu hanya eselon II, hakim
menyatakan BG bukan lah penyelenggara negara.
Hakim
tidak menyatakan bahwa dengan eselon II, BG bukan penegak hukum. Penulis merasa
perlu meluruskan hal ini karena beberapa media mem-blowing ke arah yang
salah, dimanadengan tingkat eselon BG yang adalah eselon II pada saat itu,
hakim menyatakan BG bukan lah penegak hukum, sehingga hal ini yang memunculkan
beberapa meme di sosial media, yang banyak menghubungkan dengan tilang.
Padahal,
eselonisasi BG tidak ada hubungannya dengan
statusnya sebagai penegak hukum, sehingga BG adalah tetap penegak hukum, terlepas
ia eselon berapa, sama dengan anggota kepolisian lainnya.
Sebagai
jokes tentu tidak masalah, tapi seharusnya kita mengetahui duduk masalah
sebenarnya agar kita tidak menganggap jokes itu sebagai sebuah fakta dan
salah kaprah tentang hubungan eselon BG, status penyelenggara negara, dan
status penegak hukum.
Referensi
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/26/07091241/KY.Akan.Panggil.KPK.Terkait.Putusan.Hakim.Sarpin
No comments:
Post a Comment