Tuesday, July 28, 2015

FRIKSI KPK VERSUS POLRI JANGAN
PENGARUHI KEPEMIMPINAN PRESIDEN


Adanya gesekan antara dua Institusi Hukum (KPK Dan POLRI) dalam masa 100 hari kepemimpinan Presiden Jokowi seakan menimbulkan tanda tanya besar terhadap gaya kepemimpinan presiden kita. Kondisi yang dipicu pencalonan  Kapolri oleh presiden seolah menjadi masalah yang berlarut-larut yang kini melibatkan berbagai elemen pemerintahan.  Kondisi yang terjadi di Republik Indonesia sekarang ini seperti sebuah negara yang gagal (failed States), maka tidak salah lagi jabawannya kunci untuk mengatasi kegagalan itu adalah sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kualitas yang tinggi serta beretika, baik itu negarawan, politikus maupun aparatur pemerintahannya. Sebenarnya semua itu dapat diraih apabila kita memiliki kepemimpinan nasional yang hebat dan berkualitas dari berbagai macam aspek kemampuan.
Pemimpin organisasi haruslah dapat memahami dan belajar siapa dirinya, apa yang berarti bagi kehidupannya, dan kemudian mempunyai keberanian untuk bertindak dan memperjuangkannya. Dalam kasus friksi antara KPK dan Polri ini sebenarnya Presiden bisa dengan mudah menyelesaikan friksi antara kedua lembaga ini, presiden cukup menggunakan hak prerogatif-nya, dan bisa menyudahi rivalitas dua institusi itu. Namun saat ini semua seakan sudah tahu Presiden tidak leluasa lagi menggunakan kekuasaannya itu. Sebab, Presiden dipaksa harus mendengar dan memenuhi kepentingan para pendukungnya. Persoalan pun berkembang menjadi makin rumit, adalah konflik antara dua institusi KPK dan POLRI ini menjadi indikator utama berubahnya gaya kepemimpinan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat ini. Presiden kita seolah diam saja ketika kekuatan politik pendukungnya, termasuk para relawan dan LSM, terang-terangan merampas hak prerogatifnya.

Terkait konflik kedua institusi ini presiden seolah sudah kehilangan rasa kepemimpinannya. Jika itu yang terjadi, berarti negeri ini bakal dikendalikan oleh kekuatan di luar istana tempat sang pemimpin tinggal. Sebab, para pemimpin yang ada sudah dianggap tidak mampu lagi menjalankan roda kepemimpinan. Bahkan terkesan pada kasus friksi KPK dan POLRI ini penyelesaiannya di tentukan oleh Pra-Peradilan padahal seharusnya yang menjadi penentu sebenarnya dalam menyelesaikan polemik pencalonan Budi Gunawan adalah kepemimpinan Presiden Jokowi. Kenapa ini bisa terjadi padahal sebelumnya Jargon “REVOLUSI MENTAL” keras di gaungkan sang presiden, bahkan beliau sendiri mengatakan adanya perubahan karakter bangsa, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Dengan tegas pula beliau mengatakan Terminologi "revolusi", tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Menurut dia, kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. "Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita," tegas Jokowi. Dia berkeyakinan, dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik




TIPE KEPEMIMPINAN YANG SEMPAT DIKAGUMI RAKYAT
Seperti kita ketahui Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepadapengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah “melakukanya dalam kerja” dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas (Stogdil 1974)
Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), istilah ini dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain :
Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, tidak akan ada pimpinan.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.
Mengacu pada teori-teori di atas sebenarnya Presiden Jokowi telah mengimplementasikannya sejak sebelum terpilih menjadi orang nomor 1 di Republik ini  bahkan ada beberapa sifat kepemimpinan yang menjadi kelebihan Jokowi dibandingkan dengan yang lain, kalau kita cermati kelebihan itu menurut ( Manuhoro) diantaranya adalah :
Rendah Hati, sifat Jokowi yang paling disenangi adalah sikapnya yang rendah hati, ia terlihat tidak pernah bicara sinis, ia selalu membungkuk bila bertemu orang, ia menyalami siapa saja,dan ia ‘ngajeni’ (bhs jawa = menghormati) siapapun. Banyak kawan saya di Solo berkata padasaya dan memberikan kesaksian bahwa memang karakter dia begitu, siapa saja dia sapa, dan bertanya kabarnya, ini adalah karakter orang Jawa dari sisi rakyat jelata yang guyub dan tidak memandang jabatan, ia lebih memandang jabatan sebagai ‘Kerja’ bukan status sosial, jadi iatidak merasa lebih dari orang lain.
Sikap yang tulus dari seseorang adalah dilihat saja dari caranya bicara, caranya bekerja, biasanyaorang yang tulus bekerja tanpa beban dan tidak direpotkan pada hal-hal yang artifisial, orangyang tulus tidak pernah berpikir macam-macam ‘kerja ya kerja’ ndak usah ada hidden agenda,trik-trik dan segala apapun yang membuat dirinya diuntungkan dan merugikan banyak orang.
Sederhana, Karakter yang paling disukai dari Jokowi bagi jutaan rakyat Indonesia adalah sikapnya yang‘sederhana dalam tingkah dan bicara’. Ia tidak berlebihan, tidak memakai baju yang amat mahal, ia pakai pakaiansederhana, sepatunya sederhana, tidak pernah pamer kekayaan. Kita sering miris bahwa ditengah rakyat banyak yang  lapar banyak pejabat tak tau malu pamer pesta pernikahan besar-besaran, bagaimana perasaan kita bila melihat ada seorang anak kelaparan, ada seorang anak memikul dagangan bakso, atau anak mencari rejeki dengan mengais-ngais sampah, sementara pemimpinnya menikahkan anaknya dengan Pancuran coklat setinggi 5 meter? Dan anak yang lapar itu melihat dari tontonan di teve hanya makan ikan asin dan tahu?, Bagaimana perasaankepemimpinan model beginian?
Bukan Pendendam, Karakter yang disukai Jokowi banyak orang adalah ‘Tidak Pendendam’. Ia tidak pernah membalas ucapan-ucapan yang merendahkan dirinya bahkan ia merasa setiap ucapan yangmerendahkan adalah berkah Tuhan yang ‘harus’ ia terima saja. Mungkin publik masih banyak ingat tentang ucapan Gubernur Jawa Tengah saat ribut-ribut eks Gudang Es Sari Petodjo di KotaSolo yang mau dibangunken mall tapi Jokowi menolak, lalu Jokowi dibilang “Walikota Goblok”oleh Gubernur Semarang, Jokowi tidak membalas dengan ucapan pedas tapi dengan ucapan yangsantai namun tak dimasukkan ke hati “Lha, memang saya orang Goblok” kata Jokowi sambilketawa-ketawa. Dan Jokowi jalan terus dengan keyakinannya, ia tidak mendendam tapi sekaligustak plin plan.
Komunikatif,  Jokowi rupanya sangat memahami ilmu komunikasi, dari sisi ini ketrampilannya yang terbesar adalah cara berdialog dan bernegosiasi. Kalau dilihat dari cara bahasanya, ia memang amat khas Solo, cara bicaranya ‘Ngglenik’ atau akrab tanpa batas kepada lawan bicaranya, ini cara khas rakyat jelata bila sedang kongkow. Jokowi tidak mengasingkan dirinya seperti seorang bangsawan yang sakral ketika bicara dengan masyarakat yang dipimpinnya, ia masuk ke dalamalam pemikiran lawan bicaranya dengan tenggelam dalam alam bawah sadar mereka
Taktis, satu sikap yang disukai oleh masyarakat kepada Jokowi adalah kemampuannya dalam berpikir taktis, di satu sisi ia bisa berpikir sosialis yaitu : melakukan tindakan-tindakan kolektif dimanakekayaan negara bisa diarahkan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Di satu sisi Jokowi sangat taktis dalam berbisnis, ia amat berotak bisnis, dan otaknya untuk ini amat moncer.
Berbhineka, Karakter Berbhinneka Jokowi amat disukai jutaan orang Indonesia, Jokowi mengajarkan dalamruang publik dan tata pemerintahan yang rasional tidak baik mengedepankan sentimen identitasseperti agama, suku dan status sosial tapi kedepankanlah prestasi, kedepankanlah nilai-nilaikejujuran dan etika, serta membawa rasionalitas ke dalam tataran perjuangan politik sehinggarakyat diajari dalam memilih ukuran-ukuran rasional-lah yang dikedepankan bukan ukuran-ukuran kuasa Tuhan seperti Agama, Suku dan Status Sosial.
Jokowi mempraktekkan model kepemimpinan tersebut dengan tidak mementingkan diri sendiri. Jokowi menempatkan orang lain di depan dirinya, ini suatu kunci kemimpinan yang sukses. Sebuah kepemimpinan yang berani, Untuk melakukan suatu hal dengan benar diperlukan keberanian. Berani menjadi tidak populer, berani menanggung risiko, dan berani memperjuangkan hal yang diyakini. Pemimpin kadang harus menggali jauh ke dalam dirinya untuk menemukan kekuatan dan keberanian untuk melawan ketika seseorang tidak dapat menerima pendapatnya tanpa alasan yang jelas. Beberapa orang mengatakan,  tanpa keberanian maka kepemimpinan tidak dapat ditunjukkan atau ditonjolkan. Beberapa pemimpin pada organisasi yang besar menyatakan,  keberanian adalah hal yang penting, tetapi kadang diartikan dengan melakukan hal-hal yang akan membuat dirinya mendapat promosi atau meningkatkan gajinya (Prof. M.H. Matondang, Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen Strategik, 2008).
Ruang kosong yang berbentuk kerinduan atau harapan yang tidak mampu di isi oleh pemimpin lainnya ini merupakan peluang yang berusaha dimasuki oleh pasangan Jokowi melalui pendekatan kecerdasan emosional (emotional intelligence / EI),  yaitu memancing tumbuhnya perasaan positif  dari dalam diri masyarakat Jakarta sebagai konstituennya. Pigur Jokowi bagaikan sebuah resonance - sumber sifat-sifat positif- yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mengeluarkan aspirasinya. Model yang dipergunakan oleh Jokowi ini merupakan sebuah terobosan baru untuk meretas kemapanan cara berpikir para elit politik yang terpelihara dengan baik selama ini, dan dalam hal ini Jokowi dapat dilihat secara kasat mata mampu mempergunakan kecerdasan emosional tersebut untuk menyelami isi perasaan masyarakat yang sesungguhnya (ber-empathy), dan berusaha menempatkan diri serta perasaannya sebagaimana perasaan masyarakat sebenarnya, artinya tidak cukup hanya ber-simpati tetapi harus mampu ber-empathy. Ber-empathy dalam hal ini berarti mampu memahami perasaan masyarakat dan mampu memproyeksikan perasaannya sesuai dengan perasaan masyarakat.
Dalam teori manajemen, kemampuan mempergunakan kecerdasan emosional ini disebut dengan model primal leadership, yaitu sebuah model kepemimpinan yang dibangun berdasarkan pendekatan sistem neurologi yang melalui riset mengenai otak diperoleh pengetahuan baru yang mengatakan bahwa  suasana hati dan tindakan seorang pemimpin memiliki dampak signifikan kepada orang-orang yang dipimpinnya, dan penelitian tersebut membuktikan seorang pemimpin yang cerdas secara emosi akan mampu menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme serta membuat orang lain termotivasi dan berkomitmen. Sejarah telah banyak mencatat bahwa pemimpin besar yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya adalah seorang pemimpin yang mampu menyelami perasaan rakyatnya, mampu membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi baik itu melalui pikiran, perkataan dan tindakannya maupun melalui visi dan ide-ide yang dikemukakannya. Sehingga untuk menjadi seorang pemimpin besar tidak cukup dengan hanya mengandalkan kharisma dan pencitraan tetapi harus mampu melibatkan emosi.

KEPEMIMPINAN PRESIDEN SAAT INI
Seiring berjalannya waktu nampak perjalanan Presiden Joko Widodo  sejak dilantik hingga sekarang ini, telah banyak ditemukan berbagai keganjilan, atawa tepatnya antara janji yang pernah disampaikan sebelumnya dengan kenyataannya tidak sesuai sama sekali. satu per satu orang-orang yang pernah berada di dalam lingkaran tim sukses ketika menuju kursi RI 1 mendapatkan jatah kedudukan, baik dalam jajaran menteri kabinet maupun sebagai pimpindan lembaga non kementerian.  Misalnya saja anak dan menantu AM Hendropriyono. Menantunya, Brigjen (Sekarang Mayjen) M. Andika Perkasa diangkat menjadi komandan pasukan pengamanan Presiden. Sedangkan Diaz Hendropriyono,  anak mantan Kepala BIN tersebut dijadikan sebagai komisaris Telkomsel. Begitu juga politisi partai Golkar yang ‘mbalelo’, karena tidak sejalan dengan ARB,  Nusron Wahid, diangkat sebagai Kepala BNP2TKI. Kemudian Luhut Panjaitan, mantan menteri Perindustrian di kabinet Megawati pun  baru-baru ini dijadikan pimpinan dalam lembaga UKP (Unit Kerja Presiden). Dalam jajaran kementerian pun ‘bergelimangan’ terisi penuh oleh mereka yang konon memiliki jasa saat mengantarkan mantan Walikota solo tersebut untuk menjadi presiden RI ketujuh itu. Masih mendingan kalau mereka yang diangkat sebagai pejabat dalam birokrat tersebut memiliki kapabelitas, kredibilitas, dan sikap profesionalitas yang mumpuni, disini juga tidak perlu kita sebutkan lagi. Kemana gaung “Revolusi Mental” yang selama ini di gembar-gemborkan.
Kalau kita cermati ada beberapa tipikal kepemimpinan yang berubah dan seolah terdegradasi dari sosok seorang Jokowi pada saat sebelum beliau terpilih menjadi presiden dan setelah beliau menjadi presiden sekarang ini, perubahan yang sangat nampak terlihat ini adalah ciri kepemimpinan, pengaruh, kekuasaan, pengikut, kompetensi dan komunikasi yang dimiliki presiden, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ciri yang menonjol, beliau mempunyai ciri Servant Leadership, artinya kepemimpinan yang melayani. Ini sering dikatakan oleh Jokowi bahwa saya adalah pelayan anda, sekali lagi Jokowi ingin menonjolkan bahwa memimpin adalah bekerja dan melayani.  Hal ini nampak ketika beliau menjadi walikota maupun gubernur yang selalu membudayakan blusukan, bedanya pada saat sebelum menjadi presiden beliau langsung menuntaskan masalah saat itu juga jika terjadi ada ketidakberesan, namun pada saat menjabat presiden, meski tetap melakukan blusukan tidak semua masalah langsung dituntaskan bahkan cenderung terjebak dalam tindakan tidak produktif, misal menyerahkan solusi kepada menterinya.
Pengaruh, memiliki pengaruh berdasarkan “ketokohan” atau pribadi yang bersangkutan.  Hal ini seolah luntur pada saat menjadi presiden terlihat dari kabinet kerja yang dibentuknya sudah kita ketahui ada unsur “balas budi” pada nama-nama menteri yang diusungnya, dan sangat nampak indikasi justru adanyanya kekuatan lain dari pengusungnya dalam menentukannya.
Kuasa, dihasilkan karena posisi tapi juga karena “kepemimpinannya yang diakui”, jarang menggunakan kuasa dalam kepemimpinannya lebih memusatkan kepada komunikasi yang intensif, namun pada saat ini memang hal ini masih dilakukan tapi terlihat kekuasaan yang dimiliki sama sekali mati, terlebih dalam penyelesaian friksi KPK dan POLRI, Jokowi seolah justru banyak pertimbangan dalam memutuskannya padahal beliau punya hak prerogatif yang harus dihormati oleh semua pihak.
Pengikut, pengikutnya adalah mereka yang sangat merindukan perubahan, mereka adalah orang-orang yang sangat dinamis dan kreatif ini dibuktikan pada waktu pemilihan walikota hingga gubernur bahkan ketika Pilpres, namun kini seolah relawan justru berbalik merampas hak prerogatifnya, mereka atau pengikutnya seolah tidak sadar bahwa Jokowi saat ini adalah orang nomor 1 di republik ini yang justru harus di dukung bukan dilemahkan.
Komunikasi, Jokowi sangat paham,bahwa kunci keberhasilan dia selama memimpin adalah dalam komunikasi, dan benar sekali,sebuah survey mengatakan bahwa 90 persen masalah sudah selesai ketika komunikasi terselesaikan namun saat ini ketika masih kental adanya politik “balas budi” seolah komunikasi yang dilaksanakan hanya meminta masukan, dan menunggu dalam waktu yang lama tanpa penyelesaian yang jelas.

Sikap Presiden Seharusnya
Kecerdasan emosi ini bagi seorang pemimpin bersifat primal -yang utama-  atau memiliki fungsi sangat penting dalam sebuah kepemimpinan karena melalui kemampuan mempergunakan kecerdasan emosi ini seorang pemimpin akan mampu menggerakkan emosi orang-orang yang dipimpinnya terutama untuk menggerakkan emosi kolektif  ke arah yang positif.
Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi mumpuni akan dianggap berhasil apabila mampu mendorong emosi masyarakat ke arah postif, antusiasme, dan berkomitmen, dan seorang pemimpin pecundang umumnya hanya mengandalkan kemampuannya mendorong orang lain ke arah negative thingking, kebencian dan kecemasan. Seorang pemimpin yang mampu mengembangkan perasaan positif maka pemimpin tersebut akan menjadi resonansi (resonance), yaitu pemimpin yang mampu menyelaraskan diri dengan perasaan orang-orang yang dipimpinnya dan menggerakkan perasaan mereka ke arah emosi positif.  Kata resonansi (resonance) berasal dari bahasa latin resonare yang artinya “menggemakan”, sedangkan menurut Oxford English Dictionary arti resonance adalah “penguatan atau pemanjangan suara melalui pemantulan” atau “melalui getaran yang selaras”.
Jadi kepemimpinan yang resonan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kepemimpinan yang mampu memantulkan bunyi untuk menggerakkan nada emosi positif orang yang dipimpinnya yang terlihat ketika seorang pemimpin mampu membuat getaran yang selaras secara emosional dan berada pada gelombang yang sama didalam perasaan yang sama.Salah satu tanda pemimpin yang resonan adalah ketika seorang pemimpin mampu menjadikan pengikutnya bervibrasi dengan energi semangat dan antusiasme pemimpin dan ketika seorang pemimpin mampu menciftakan perekat yang mengikat orang yang dipimpin kedalam sebuah cita-cita atau visi bersama, dan inilah satu lagi contoh terpenting dalam model primal leadership.
Model primal leadership inilah yang telah lama hilang dari tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini, dan bagaikan sebuah kerinduan yang telah lama tidak terobati dalam atmosfir kehidupan politik Bangsa Indonesia. Keberhasilan Jokowi sebagai Walikota Solo yang dianggap mampu memimpin masyarakat Solo dengan metode merakyat, mengatasi masalah rakyat dengan mempergunakan kaca mata rakyat serta kedekatan dirinya dengan perasaan masyarakat Solo menjadi sebuah contoh model kepemimpinan yang mengandalkan kecerdasan emosional dalam arti keterampilan kepemimpinan yang mengandalkan kemampuan memproyeksikan diri pemimpin kedalam perasaan yang sedang dialami oleh masyarakat.
Kemenangan pasangan Jokowi pada putaran pertama pemilihan Presiden menjadi sebuah indikator bahwa masyarakat Indonesia umumnya juga tengah dilanda kerinduan terhadap seorang pigur pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional, apa yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah barometer kehidupan dan detak jantung masyarakat Indonesia
Berani, Presiden Joko Widodo seharusnya berani ambil keputusan terkait konflik antara KPK dan Polri, sehingga masyarakat tidak dibuat bimbang dalam polemik itu. Melihat konflik antar institusi ini, seharusnya Jokowi mengambil sikap tegas dan berani untuk meredakan persoalan itu, sekaligus berani keluar dari pusaran kepentingan elit yang 'bermain' di belakang konflik ini, bukan malah sikap yang terkesan lemah dan mengambang. Sikap Jokowi sebagai presiden terlihat seperti dalam keadaan "tersandera" oleh berbagai kekuatan politik besar yang ada di belakangnya. Jika ini dibiarkan berlarut, maka bisa saja memupus harapan rakyat di tengah ekspektasi yang cukup besar pada kepemimpinan saat ini.
Terkait Friksi KPK dan POLRI mestinya langkah yang di ambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu bisa di contoh oleh Presiden Jokowi. SBY mengambil langkah yang bijak sebagai kepala pemerintah, sehingga persoalan ini selesai. Lantas, yang menjadi polemik di publik saat ini, yakni penangkapan Bambang Widjojanto sangat sarat dengan politik dan pengangkatan Budi Gunawan juga sarat dengan hukum. Respon yang cepat dan tepat seharusnya dilakukan oleh Jokowi  demi memagari agar persoalan ini tidak menjadi masalah politik yang makin rumit dan kontraproduktif, karena hanya Jokowi lah yang bisa menghentikan perdebatan politik dalam masalah ini. Jika ia punya hak prerogatif untuk mengajukan calon, tentu ia juga punya hak yang sama untuk membatalkan pengajuan calon tersebut.
PENUTUP
Sudah tiba saatnya untuk berpaling kembali kepada orisinalitas Kepemimpinan anda bahkan gaung revolusi mental yang diteriakkan dan bisikan sayup-sayup hati nurani masing, karena walaupun hati nurani itu telah lama diabaikan, sudah merupakan sifat hakikinya untuk tetap setia dengan keberadaannya untuk menantikan kita kembali kepadanya.
Setulus hati nurani itulah kerinduan perasaan rakyat Indonesia menantikan kehadiran pemimpin nasional yang suatu saat diharapkan akan lahir ditengah-tengah kehidupan saat ini yang sarat dengan cerita basi tentang tingkah laku pemimpin korup, mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki rasa peduli terhadap  jeritan hati masyarakatnya. Jika kerinduan ini juga tidak mampu menggugah perasaan para elit politik dan penguasa negeri ini maka wajarlah jika kita bertanya sekali lagi “Apa sebenarnya yang telah hilang dari kehidupan politik Indonesia dewasa ini ?”.  Padahal bangsa ini telah banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan diantara tulisan namanya tersemat lebih dari satu gelar sarjana.



No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...