FRIKSI KPK VERSUS POLRI JANGAN
PENGARUHI KEPEMIMPINAN PRESIDEN
Adanya gesekan antara
dua Institusi Hukum (KPK Dan POLRI) dalam masa 100 hari kepemimpinan Presiden
Jokowi seakan menimbulkan tanda tanya besar terhadap gaya kepemimpinan presiden
kita. Kondisi yang dipicu pencalonan
Kapolri oleh presiden seolah menjadi masalah yang berlarut-larut yang
kini melibatkan berbagai elemen pemerintahan.
Kondisi yang terjadi di Republik Indonesia
sekarang ini seperti sebuah negara yang gagal (failed States), maka tidak salah lagi jabawannya kunci
untuk mengatasi kegagalan itu adalah sumber daya manusia (SDM) yang memiliki
kualitas yang tinggi serta beretika, baik itu negarawan, politikus maupun
aparatur pemerintahannya. Sebenarnya semua itu dapat diraih apabila kita
memiliki kepemimpinan nasional yang hebat dan berkualitas dari berbagai macam
aspek kemampuan.
Pemimpin organisasi haruslah dapat memahami dan belajar siapa
dirinya, apa yang berarti bagi kehidupannya, dan kemudian mempunyai keberanian
untuk bertindak dan memperjuangkannya. Dalam kasus friksi antara KPK dan Polri
ini sebenarnya Presiden bisa dengan mudah menyelesaikan friksi antara kedua
lembaga ini, presiden cukup menggunakan hak prerogatif-nya, dan bisa menyudahi
rivalitas dua institusi itu. Namun saat ini semua seakan sudah tahu Presiden
tidak leluasa lagi menggunakan kekuasaannya itu. Sebab, Presiden dipaksa harus
mendengar dan memenuhi kepentingan para pendukungnya. Persoalan pun berkembang
menjadi makin rumit, adalah konflik antara dua institusi KPK dan POLRI ini
menjadi indikator utama berubahnya gaya kepemimpinan presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat ini. Presiden kita seolah diam saja ketika kekuatan
politik pendukungnya, termasuk para relawan dan LSM, terang-terangan merampas
hak prerogatifnya.
Terkait konflik kedua institusi ini presiden seolah sudah
kehilangan rasa kepemimpinannya. Jika itu yang terjadi, berarti negeri ini
bakal dikendalikan oleh kekuatan di luar istana tempat sang pemimpin
tinggal. Sebab, para pemimpin yang ada sudah dianggap tidak mampu lagi
menjalankan roda kepemimpinan. Bahkan terkesan pada kasus friksi KPK dan POLRI
ini penyelesaiannya di tentukan oleh Pra-Peradilan padahal seharusnya yang menjadi penentu sebenarnya dalam menyelesaikan polemik
pencalonan Budi Gunawan adalah kepemimpinan Presiden Jokowi. Kenapa ini bisa
terjadi padahal sebelumnya Jargon “REVOLUSI MENTAL” keras di gaungkan sang
presiden, bahkan beliau sendiri mengatakan adanya perubahan karakter bangsa, merupakan
akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik,
bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama
bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Dengan tegas
pula beliau mengatakan Terminologi "revolusi", tidak selalu berarti
perang melawan penjajah. Menurut dia, kata revolusi merupakan refleksi tajam
bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. "Kita harus
mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita,
orisinalitas kita, identitas kita," tegas Jokowi. Dia berkeyakinan, dengan
komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara,
Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik
TIPE KEPEMIMPINAN YANG SEMPAT
DIKAGUMI RAKYAT
Seperti kita ketahui Kepemimpinan adalah
proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin
kepadapengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah “melakukanya dalam
kerja” dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin,
atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari
peranya memberikan pengajaran/instruksi. Kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai
tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan
tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang
diinginkan pihak lainnya.”The art
of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing
obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish
the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan
menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan,
kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas
(Stogdil 1974)
Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), istilah ini dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi
aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang
untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Berdasarkan definisi-definisi di
atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain :
Kepemimpinan
berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers).
Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari
pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan,
tidak akan ada pimpinan.
Seorang
pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or
herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang
memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau
kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai
situasi.
Kepemimpinan
harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity),
sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan
(cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment),
kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan
untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.
Mengacu pada teori-teori di atas sebenarnya Presiden Jokowi telah
mengimplementasikannya sejak sebelum terpilih menjadi orang nomor 1 di Republik
ini bahkan ada beberapa sifat
kepemimpinan yang menjadi kelebihan Jokowi dibandingkan dengan yang lain, kalau
kita cermati kelebihan itu menurut ( Manuhoro) diantaranya adalah :
Rendah Hati, sifat Jokowi yang paling disenangi
adalah sikapnya yang rendah hati, ia terlihat tidak pernah bicara sinis, ia
selalu membungkuk bila bertemu orang, ia menyalami siapa saja,dan ia ‘ngajeni’
(bhs jawa = menghormati) siapapun. Banyak kawan saya di Solo berkata padasaya
dan memberikan kesaksian bahwa memang karakter dia begitu, siapa saja dia sapa,
dan bertanya kabarnya, ini adalah karakter orang Jawa dari sisi rakyat
jelata yang guyub dan tidak memandang jabatan, ia lebih memandang jabatan
sebagai ‘Kerja’ bukan status sosial, jadi iatidak merasa lebih dari orang lain.
Sikap yang
tulus dari seseorang adalah
dilihat saja dari caranya bicara, caranya bekerja, biasanyaorang yang tulus
bekerja tanpa beban dan tidak direpotkan pada hal-hal yang artifisial,
orangyang tulus tidak pernah berpikir macam-macam ‘kerja ya kerja’ ndak usah
ada hidden agenda,trik-trik dan segala apapun yang membuat dirinya diuntungkan
dan merugikan banyak orang.
Sederhana, Karakter yang paling disukai dari
Jokowi bagi jutaan rakyat Indonesia adalah sikapnya yang‘sederhana dalam
tingkah dan bicara’. Ia tidak berlebihan, tidak memakai baju yang amat mahal,
ia pakai pakaiansederhana, sepatunya sederhana, tidak pernah pamer kekayaan.
Kita sering miris bahwa ditengah rakyat banyak yang lapar banyak pejabat tak tau malu pamer pesta
pernikahan besar-besaran, bagaimana perasaan kita bila melihat ada seorang
anak kelaparan, ada seorang anak memikul dagangan bakso, atau anak mencari
rejeki dengan mengais-ngais sampah, sementara pemimpinnya menikahkan
anaknya dengan Pancuran coklat setinggi 5 meter? Dan anak yang lapar itu
melihat dari tontonan di teve hanya makan ikan asin dan tahu?, Bagaimana
perasaankepemimpinan model beginian?
Bukan Pendendam, Karakter yang disukai Jokowi banyak
orang adalah ‘Tidak Pendendam’. Ia tidak pernah membalas ucapan-ucapan yang
merendahkan dirinya bahkan ia merasa setiap ucapan yangmerendahkan adalah
berkah Tuhan yang ‘harus’ ia terima saja. Mungkin publik masih banyak ingat
tentang ucapan Gubernur Jawa Tengah saat ribut-ribut eks Gudang Es Sari Petodjo
di KotaSolo yang mau dibangunken mall tapi Jokowi menolak, lalu Jokowi dibilang
“Walikota Goblok”oleh Gubernur Semarang, Jokowi tidak membalas dengan ucapan
pedas tapi dengan ucapan yangsantai namun tak dimasukkan ke hati “Lha, memang
saya orang Goblok” kata Jokowi sambilketawa-ketawa. Dan Jokowi jalan terus
dengan keyakinannya, ia tidak mendendam tapi sekaligustak plin plan.
Komunikatif, Jokowi rupanya
sangat memahami ilmu komunikasi, dari sisi ini ketrampilannya yang
terbesar adalah cara berdialog dan bernegosiasi. Kalau dilihat dari cara
bahasanya, ia memang amat khas Solo, cara bicaranya ‘Ngglenik’ atau akrab
tanpa batas kepada lawan bicaranya, ini cara khas rakyat jelata bila sedang
kongkow. Jokowi tidak mengasingkan dirinya seperti seorang bangsawan yang
sakral ketika bicara dengan masyarakat yang dipimpinnya, ia masuk ke dalamalam
pemikiran lawan bicaranya dengan tenggelam dalam alam bawah sadar mereka
Taktis, satu sikap yang disukai oleh masyarakat
kepada Jokowi adalah kemampuannya dalam berpikir taktis, di satu sisi ia
bisa berpikir sosialis yaitu : melakukan tindakan-tindakan kolektif
dimanakekayaan negara bisa diarahkan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Di satu
sisi Jokowi sangat taktis dalam berbisnis, ia amat berotak bisnis, dan otaknya
untuk ini amat moncer.
Berbhineka, Karakter Berbhinneka Jokowi amat disukai jutaan orang
Indonesia, Jokowi mengajarkan dalamruang publik dan tata pemerintahan yang
rasional tidak baik mengedepankan sentimen identitasseperti agama, suku dan
status sosial tapi kedepankanlah prestasi, kedepankanlah nilai-nilaikejujuran
dan etika, serta membawa rasionalitas ke dalam tataran perjuangan politik
sehinggarakyat diajari dalam memilih ukuran-ukuran rasional-lah yang
dikedepankan bukan ukuran-ukuran kuasa Tuhan seperti Agama, Suku dan Status
Sosial.
Jokowi mempraktekkan model kepemimpinan tersebut dengan tidak
mementingkan diri sendiri. Jokowi menempatkan orang lain di depan dirinya, ini
suatu kunci kemimpinan yang sukses. Sebuah kepemimpinan yang berani, Untuk
melakukan suatu hal dengan benar diperlukan keberanian. Berani menjadi tidak
populer, berani menanggung risiko, dan berani memperjuangkan hal yang diyakini.
Pemimpin kadang harus menggali jauh ke dalam dirinya untuk menemukan kekuatan
dan keberanian untuk melawan ketika seseorang tidak dapat menerima pendapatnya
tanpa alasan yang jelas. Beberapa orang mengatakan, tanpa keberanian maka
kepemimpinan tidak dapat ditunjukkan atau ditonjolkan. Beberapa pemimpin pada
organisasi yang besar menyatakan, keberanian adalah hal yang penting,
tetapi kadang diartikan dengan melakukan hal-hal yang akan membuat dirinya
mendapat promosi atau meningkatkan gajinya (Prof. M.H. Matondang, Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen
Strategik, 2008).
Ruang kosong yang berbentuk kerinduan atau harapan yang tidak mampu
di isi oleh pemimpin lainnya ini merupakan peluang yang berusaha dimasuki oleh
pasangan Jokowi melalui pendekatan kecerdasan emosional (emotional intelligence / EI),
yaitu memancing tumbuhnya perasaan positif dari dalam diri
masyarakat Jakarta sebagai konstituennya. Pigur Jokowi bagaikan sebuah resonance - sumber sifat-sifat
positif- yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mengeluarkan aspirasinya.
Model yang dipergunakan oleh Jokowi ini merupakan sebuah terobosan baru untuk
meretas kemapanan cara berpikir para elit politik yang terpelihara dengan baik
selama ini, dan dalam hal ini Jokowi dapat dilihat secara kasat mata mampu
mempergunakan kecerdasan emosional tersebut untuk menyelami isi perasaan
masyarakat yang sesungguhnya (ber-empathy),
dan berusaha menempatkan diri serta perasaannya sebagaimana perasaan masyarakat
sebenarnya, artinya tidak cukup hanya ber-simpati tetapi harus mampu ber-empathy. Ber-empathy dalam hal ini berarti mampu
memahami perasaan masyarakat dan mampu memproyeksikan perasaannya sesuai dengan
perasaan masyarakat.
Dalam teori manajemen, kemampuan mempergunakan kecerdasan emosional
ini disebut dengan model primal
leadership, yaitu sebuah model kepemimpinan yang dibangun
berdasarkan pendekatan sistem neurologi yang melalui riset mengenai otak
diperoleh pengetahuan baru yang mengatakan bahwa suasana hati dan
tindakan seorang pemimpin memiliki dampak signifikan kepada orang-orang yang
dipimpinnya, dan penelitian tersebut membuktikan seorang pemimpin yang cerdas
secara emosi akan mampu menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme
serta membuat orang lain termotivasi dan berkomitmen. Sejarah telah banyak
mencatat bahwa pemimpin besar yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya
adalah seorang pemimpin yang mampu menyelami perasaan rakyatnya, mampu
membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi baik itu melalui pikiran,
perkataan dan tindakannya maupun melalui visi dan ide-ide yang dikemukakannya.
Sehingga untuk menjadi seorang pemimpin besar tidak cukup dengan hanya
mengandalkan kharisma dan pencitraan tetapi harus mampu melibatkan emosi.
KEPEMIMPINAN PRESIDEN SAAT
INI
Seiring berjalannya waktu nampak perjalanan Presiden Joko
Widodo sejak dilantik hingga sekarang ini, telah banyak ditemukan
berbagai keganjilan, atawa tepatnya antara janji yang pernah disampaikan
sebelumnya dengan kenyataannya tidak sesuai sama sekali. satu per satu orang-orang yang pernah
berada di dalam lingkaran tim sukses ketika menuju kursi RI 1
mendapatkan jatah kedudukan, baik dalam jajaran menteri kabinet maupun sebagai
pimpindan lembaga non kementerian. Misalnya saja anak dan menantu AM
Hendropriyono. Menantunya, Brigjen (Sekarang Mayjen) M. Andika Perkasa diangkat
menjadi komandan pasukan pengamanan Presiden. Sedangkan Diaz Hendropriyono,
anak mantan Kepala BIN tersebut dijadikan sebagai komisaris Telkomsel.
Begitu juga politisi partai Golkar yang ‘mbalelo’, karena tidak sejalan dengan
ARB, Nusron Wahid, diangkat sebagai Kepala BNP2TKI. Kemudian Luhut
Panjaitan, mantan menteri Perindustrian di kabinet Megawati pun baru-baru
ini dijadikan pimpinan dalam lembaga UKP (Unit Kerja Presiden). Dalam jajaran
kementerian pun ‘bergelimangan’ terisi penuh oleh mereka yang konon memiliki
jasa saat mengantarkan mantan Walikota solo tersebut untuk menjadi presiden RI
ketujuh itu. Masih mendingan kalau mereka yang diangkat sebagai pejabat dalam
birokrat tersebut memiliki kapabelitas, kredibilitas, dan sikap profesionalitas
yang mumpuni, disini juga tidak perlu kita sebutkan lagi. Kemana gaung
“Revolusi Mental” yang selama ini di gembar-gemborkan.
Kalau kita cermati ada beberapa tipikal kepemimpinan yang berubah
dan seolah terdegradasi dari sosok seorang Jokowi pada saat sebelum beliau
terpilih menjadi presiden dan setelah beliau menjadi presiden sekarang ini,
perubahan yang sangat nampak terlihat ini adalah ciri kepemimpinan, pengaruh,
kekuasaan, pengikut, kompetensi dan komunikasi yang dimiliki presiden, secara
singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ciri yang menonjol, beliau mempunyai ciri Servant Leadership, artinya kepemimpinan
yang melayani. Ini sering dikatakan oleh Jokowi bahwa saya adalah pelayan anda,
sekali lagi Jokowi ingin menonjolkan bahwa memimpin adalah bekerja dan
melayani. Hal ini nampak ketika beliau
menjadi walikota maupun gubernur yang selalu membudayakan blusukan, bedanya
pada saat sebelum menjadi presiden beliau langsung menuntaskan masalah saat itu
juga jika terjadi ada ketidakberesan, namun pada saat menjabat presiden, meski
tetap melakukan blusukan tidak semua masalah langsung dituntaskan bahkan cenderung
terjebak dalam tindakan tidak produktif, misal menyerahkan solusi kepada
menterinya.
Pengaruh, memiliki pengaruh berdasarkan “ketokohan” atau pribadi yang
bersangkutan. Hal ini seolah luntur pada saat menjadi
presiden terlihat dari kabinet kerja yang dibentuknya sudah kita ketahui ada
unsur “balas budi” pada nama-nama menteri yang diusungnya, dan sangat nampak
indikasi justru adanyanya kekuatan lain dari pengusungnya dalam menentukannya.
Kuasa, dihasilkan karena posisi tapi juga karena “kepemimpinannya yang
diakui”, jarang menggunakan kuasa dalam kepemimpinannya lebih memusatkan kepada
komunikasi yang intensif, namun pada saat ini memang hal ini masih dilakukan
tapi terlihat kekuasaan yang dimiliki sama sekali mati, terlebih dalam
penyelesaian friksi KPK dan POLRI, Jokowi seolah justru banyak pertimbangan
dalam memutuskannya padahal beliau punya hak prerogatif yang harus dihormati
oleh semua pihak.
Pengikut, pengikutnya adalah mereka yang sangat merindukan perubahan,
mereka adalah orang-orang yang sangat dinamis dan kreatif ini dibuktikan pada
waktu pemilihan walikota hingga gubernur bahkan ketika Pilpres, namun kini
seolah relawan justru berbalik merampas hak prerogatifnya, mereka atau
pengikutnya seolah tidak sadar bahwa Jokowi saat ini adalah orang nomor 1 di
republik ini yang justru harus di dukung bukan dilemahkan.
Komunikasi, Jokowi sangat paham,bahwa kunci keberhasilan dia selama memimpin
adalah dalam komunikasi, dan benar sekali,sebuah survey mengatakan bahwa 90
persen masalah sudah selesai ketika komunikasi terselesaikan namun saat ini
ketika masih kental adanya politik “balas budi” seolah komunikasi yang
dilaksanakan hanya meminta masukan, dan menunggu dalam waktu yang lama tanpa
penyelesaian yang jelas.
Sikap Presiden Seharusnya
Kecerdasan emosi ini bagi seorang
pemimpin bersifat primal -yang utama-
atau memiliki fungsi sangat penting dalam sebuah kepemimpinan karena
melalui kemampuan mempergunakan kecerdasan emosi ini seorang pemimpin akan
mampu menggerakkan emosi orang-orang yang dipimpinnya terutama untuk
menggerakkan emosi kolektif ke arah yang positif.
Seorang pemimpin yang memiliki
kecerdasan emosi mumpuni akan dianggap berhasil apabila mampu mendorong emosi
masyarakat ke arah postif, antusiasme, dan berkomitmen, dan seorang pemimpin
pecundang umumnya hanya mengandalkan kemampuannya mendorong orang lain ke
arah negative thingking, kebencian dan kecemasan.
Seorang pemimpin yang mampu mengembangkan perasaan positif maka pemimpin
tersebut akan menjadi resonansi (resonance), yaitu pemimpin
yang mampu menyelaraskan diri dengan perasaan orang-orang yang dipimpinnya dan
menggerakkan perasaan mereka ke arah emosi positif. Kata resonansi (resonance)
berasal dari bahasa latin resonare yang artinya
“menggemakan”, sedangkan menurut Oxford English Dictionary arti resonance
adalah “penguatan atau pemanjangan suara melalui pemantulan” atau “melalui
getaran yang selaras”.
Jadi kepemimpinan yang resonan dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk kepemimpinan yang mampu memantulkan bunyi
untuk menggerakkan nada emosi positif orang yang dipimpinnya yang terlihat
ketika seorang pemimpin mampu membuat getaran yang selaras secara emosional dan
berada pada gelombang yang sama didalam perasaan yang sama.Salah satu tanda
pemimpin yang resonan adalah ketika seorang pemimpin mampu menjadikan
pengikutnya bervibrasi dengan energi semangat dan antusiasme pemimpin dan
ketika seorang pemimpin mampu menciftakan perekat yang mengikat orang yang
dipimpin kedalam sebuah cita-cita atau visi bersama, dan inilah satu lagi
contoh terpenting dalam model primal leadership.
Model primal leadership inilah yang
telah lama hilang dari tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara selama
ini, dan bagaikan sebuah kerinduan yang telah lama tidak terobati dalam
atmosfir kehidupan politik Bangsa Indonesia. Keberhasilan Jokowi sebagai
Walikota Solo yang dianggap mampu memimpin masyarakat Solo dengan metode
merakyat, mengatasi masalah rakyat dengan mempergunakan kaca mata rakyat serta
kedekatan dirinya dengan perasaan masyarakat Solo menjadi sebuah contoh model
kepemimpinan yang mengandalkan kecerdasan emosional dalam arti keterampilan
kepemimpinan yang mengandalkan kemampuan memproyeksikan diri pemimpin kedalam
perasaan yang sedang dialami oleh masyarakat.
Kemenangan pasangan Jokowi pada putaran
pertama pemilihan Presiden menjadi sebuah indikator bahwa masyarakat Indonesia
umumnya juga tengah dilanda kerinduan terhadap seorang pigur pemimpin yang
memiliki kecerdasan emosional, apa yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah
barometer kehidupan dan detak jantung masyarakat Indonesia
Berani, Presiden Joko Widodo seharusnya berani ambil keputusan
terkait konflik antara KPK dan Polri, sehingga masyarakat tidak dibuat bimbang
dalam polemik itu. Melihat konflik antar institusi ini, seharusnya Jokowi
mengambil sikap tegas dan berani untuk meredakan persoalan itu, sekaligus
berani keluar dari pusaran kepentingan elit yang 'bermain' di belakang konflik
ini, bukan malah sikap yang terkesan lemah dan mengambang. Sikap Jokowi sebagai
presiden terlihat seperti dalam keadaan "tersandera" oleh berbagai
kekuatan politik besar yang ada di belakangnya. Jika ini dibiarkan
berlarut, maka bisa saja memupus harapan rakyat di tengah ekspektasi yang cukup
besar pada kepemimpinan saat ini.
Terkait Friksi KPK dan POLRI mestinya langkah yang di ambil
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu bisa di contoh oleh Presiden
Jokowi. SBY mengambil langkah yang bijak sebagai kepala pemerintah, sehingga
persoalan ini selesai. Lantas, yang menjadi polemik di publik saat ini, yakni penangkapan
Bambang Widjojanto sangat sarat dengan politik dan pengangkatan Budi Gunawan
juga sarat dengan hukum. Respon
yang cepat dan tepat seharusnya dilakukan oleh Jokowi demi memagari agar
persoalan ini tidak menjadi masalah politik yang makin rumit dan
kontraproduktif, karena hanya Jokowi lah yang bisa menghentikan
perdebatan politik dalam masalah ini. Jika ia punya hak prerogatif untuk
mengajukan calon, tentu ia juga punya hak yang sama untuk membatalkan pengajuan
calon tersebut.
PENUTUP
Sudah tiba saatnya untuk berpaling
kembali kepada orisinalitas Kepemimpinan anda bahkan gaung revolusi mental yang
diteriakkan dan bisikan sayup-sayup hati nurani masing, karena walaupun hati
nurani itu telah lama diabaikan, sudah merupakan sifat hakikinya untuk tetap setia
dengan keberadaannya untuk menantikan kita kembali kepadanya.
Setulus hati nurani itulah kerinduan
perasaan rakyat Indonesia menantikan kehadiran pemimpin nasional yang suatu
saat diharapkan akan lahir ditengah-tengah kehidupan saat ini yang sarat dengan
cerita basi tentang tingkah laku pemimpin korup, mementingkan diri sendiri dan
tidak memiliki rasa peduli terhadap jeritan hati masyarakatnya. Jika
kerinduan ini juga tidak mampu menggugah perasaan para elit politik dan
penguasa negeri ini maka wajarlah jika kita bertanya sekali lagi “Apa
sebenarnya yang telah hilang dari kehidupan politik Indonesia dewasa ini ?”.
Padahal bangsa ini telah banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki
pendidikan tinggi, bahkan diantara tulisan namanya tersemat lebih dari satu
gelar sarjana.

No comments:
Post a Comment