PELAKSANAAN
HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA KASUS
NARKOBA (Sebuah Dilema Antara Penegakan HAM dan Supremasi Hukum di Indonesia)
Oleh
DR. H.
RUMADI SE. SH, M.Hum.
A. Latar Belakang
Pelaksanaan eksekusi mati 6 terpidana narkoba dan adanya
penolakan Pemberian Grasi Oleh Presiden Jokowi kepada 64 terpidana mati (kasus
narkoba) baru-baru ini memunculkan pro dan kontra. Banyak pihak yang mengecam
hal tersebut, namun tidak sedikit pula yang mendukung langkah Presiden Jokowi
tersebut. Langkah Jokowi menggunakan pendapat bahwa kejahatan narkoba berdampak
pada perusakan generasi bangsa, maka sudah sewajarnya jika terpidana mati pada
kasus narkoba ini mendapat hukuman mati. Namun beberapa pihak yang menentang,
berpendapat jika hukuman mati terhadap pengedar narkoba bukanlah sebuah cara
yang tepat untuk memberantas peredaran narkoba, hukuman mati juga dinilai
beberapa kalangan, sama seperti mencabut hak asasi manusia yang fundamental.
Namun ada pula yang berpendapat jika hukuman mati
merupakan penghilangan hak asasi yang fundamental dan meskipun hukuman mati
dibenarkan secara agama, namun agama juga menyentuh aspek kemanusiaan, maka
hukuman mati tidaklah mutlak dibenarkan. Pendapat yang menolak berpendapat
bahwa membunuh pengedar narkoba bukanlah cara yang tepat untuk memberantas
peredaran narkoba. Kalau Presiden Jokowi tidak mengerti HAM. Seharusnya jika
ingin memberantas peredaran Narkoba, Pemerintah lebih memperketat pengawasan
bea cukai yang menjadi jalan masuk perdagangan narkoba di negeri ini.
Penelusuran historis dan pentakrifan (pemberitahuan)
paham HAM itu harus dimulai dengan memfokuskan penelahan terhadap suatu
periodesasi awal sejarah perkembangan HAM itu sendiri. Kajian ini berguna untuk
membantu kita agar memverifikasi, dan
mentataurutkan keseluruhan silsilahnya,
guna mempermudah pentransmisiannya agar tidak mengalami penceceran dalam proses
pengejewantahnya, dari satu konteks pemahaman periodik ke sistematika pemahaman
komperhensif yang utuh tentang pengakuan
HAM sebagai ideology universal (total) bukanya yang particular. Ide ini
merupakan parameter untuk mengukur derajat perkembangannya pemahaman dan
pemenuhan HAM itu bersesuaian dengan dimensi perubahan zaman. Ini salah satu
fakta mendasar dalam kehidupan manusia dan harus di kaji, dan dipertahankan
terus-menerus dalam pikiran kita.
Sebagai sejarah dunia, ia merupakan risalah
kompleksitas dari proses perjalanan akan kesadaran diri dan kebebasan manusia
untuk memperjuangkan jatri diri dan
pemenuhan kemartabatannya. Pada periode 1215 kekuatan bangsawan berhasil
mendesak raja-raja di inggris untuk segera memberikan Magma Charta Libertatum sebagai
wujud realisasi berbagai tuntutan-tuntutan rakyat. Kekuatatan kolektif kaum
bangsawan ini di pedomani oleh volume
dan dinamika konflik yang berkepanjangan yang terjadi pada level aristokrasi
berhadapan dengan kalangan feodalis (para raja) hampir selama empat puluh
kemudian bermuara pada penandatanganan dokumen ini di dekat istana Windsor.
Peristiwa ini memiliki nilai historis yang sangat menumental dalam “sejarah
dunia” umat manusia. Di balik ini termasuk pengakuan paham hitoris HAM, karana
ia memiliki postulat pokok dan merupakan dokumen pertama Hak Asasi Manusia yang
relative konstruktif, tertata dan pada prinsip-prinsipnya menghargai sekaligus
melindungi hak-hak individu.
Dalam paham HAM bahwa hak itu tidak dapat dihapus
atau dinyatakan hilang dan tidak belaku
oleh negara. Negara dapat saja mengakui
hak asasi itu, sehingga hak asasi itu tidak dapat dituntut di depan
hakim. Dalam perkembangannya, paham ini menyatu dengan satu tesis filosofis
john locke dalam toleransi religius, yang berp0edoman bahwa semua manusia
diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural right) yang tidak
dapat dipisahkan, diantaranya adalah hakatas hidup, hak kemerdekaan dan milik,
dan juga untuk mengusahakan kabahagiaan. Hahk-hak ini tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi manusia sebagai manusia dalam kehidupannya. Tetapi, dan justru
itulah, yang menentukan bahwa hak-hak tetapa dimiliki dan melekat dalam diri
manusia. Suatu negara yang tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai
manusia, menunjukkan bahwa martabat manusia belum diakui secara sepenuhnya
dalam negara itu. Inilah prinsip dasar pemahaman akan hak asasi manusia.
Melalui hak asasi itu, tuntutan moral yang prapositif dapat direalisasikan
dalam hukup positif. Melihat silsilah dokumen politik HAM ini, dapatlah
digambarkan bahwa teks-teks ini bukanlah hanyadikodifikasikan pertama kali di
inggris, bahkan juga dikodifikasi juga pada deklarasi Amerika (1776-1789) dan
deklarasi Prancis (1789), dengan secara tegas mengumandangkan suatu konsepsi
khusus tentang manusia dan masyarakat. Dan ini dijadikan pedoman bagi setiap
pernyataan tentang pengagungan hak alamiah manusia itu. Bagi
deklarasi-deklarasi ini, “manusia” dapat dikatakan manusia bila ia telah memenuhi kriteria pokok terhadap
pengakuan hak-hak yang dimilikinya. Keutuhan hak-hak alamiah itu melekat dalam
diri manusia sebagai sati kesatuan yang utuh dalam eksistensi dan kemartabatannya,
sehinjgga ia tidak bisa diganggu oleh suapa pun juga. Adapun hak-hak itu
meliputi, hak asas kemerdekaan, kebebasan, menikmati hak miliknya tanpa
diganggu, itu ditindas oleh suatu pemerintahan yang tiran dan mampu
menyatakan oendapat dengan bebas.
Kesimpulan himpunan bibliografi dokumen-dokumen
terpentingakan eksistansi hak-hak manusia itu ; pertama, Magma Charta Libertatum (1215) dan Bill Of Rights (1689), yang membatasi kekuasaan raja di inggris,
dan sekaligus merumuskan hak-hak
warga negara. Substansinya mengatur, bahwa tidak seorang pun dapat dimasukkan
dalam penjara, dirampas hakj miliknya atau di cabut kewarganegaraannya tanpa
keputusan pengadilan atau hukum negara ;
kedua, The Virgina Bill Of Rights (1776) tentang pemberontakan
dan perlawanan rakyat Amerika utara terhadap kolonialisme Inggris suatu dokumen
mengenai kebebasan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara. Menusia berhak
untuk menikmati hidup, kebebasan dan kebahagiaan (life, liberty, the of happiness). Deklarasi ini mengemukakan bahwa
semua manusia harus mampu untuk dengan bebas dan dapat menentukan kebahagiaan dan juga keselamatan. Hal ini
ditegaskan juga dalam deklarasi Massacussets (1780) untuk menikmati hak-hak
alami dan nikmat0nikmat hidup mereka dalam ketentraman dan kedamaian. Deklarasi
in lebih cenderung mengkonstruksi model masyarakat, dan model masyarakat yang diproyeksikan
haruslah terdiri dari pribadi-pribadi yang bebas yang sama dengan lainya. Dan ketiga, Declaration des droit de I’homme et du citoyen (1789). Meskipun dokumen ini
sangat dipengaruhi oleh deklarasiu Amerika tadi, tetapiada perbedaan. Dokumen
Amerika bertolak dari pandangan bahwa para penguasa adalah manusia dan
karenanya dapat terbawa hawa nafsu kerananya harus hidup bebas : orang-orang
lahir dan tinggal bebas dan sama dihadapan hukum (les homes naissent et demeurent libres et egaux en droits). Hak-hak
adalah kebebasan, milik, keamanan, dan perjuangan melawan penjajahan (ces droits sont la liberte, la propriete, la
surete et Ia resistence a l’oppression), deklarasi Amerika dan derklarasi
Prancis denghan tegas mengumumkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat.
Keempat, deklarasi tentang hak-hak rakyat
yang berkarya dan diperas (1918). Deklarasi in berbeda dengan deklarasi lainnya karena yang disebutkan dalam hak-hak dasar hanya hak-hak dasar social,
sedangkan jarak-jarak pribadi tidak disebutkan. Intinya adalah bahwa manusia
berhak untuk hidup menurut martabatnya secara ekonomis. Suatu kehidupan
ekonomis yang menvukupi harus menjamin suat kehidupan yang bebas.
Pengakuan hak asasi manusia secara global,
dikumandangkan secara internasional setelah berakhirnya perang dunia kedua.
Dampak perang memang sangat dahsyat dengan melibatkan kerusakan hampir sebagian
masyarakat internasional, sebagai korbanya.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencoba mengkerucutkan
permasalahan yang ada dalam suatu rangkaian rumusan masalah, sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan hukuman
mati bagi terpidana sebagai upaya penegakan supremasi hukum di indonesia
2.
Bagaimanakah benturan antara pelaksanaan Hukuman
Mati bagi terpidana kasus narkoba dan
HAM ?
B. Pelaksanaan Hukuman Mati Sebagai Upaya
Penegakan Supremasi Hukum Di Indonesia.
1. Sejarah Hukuman Mati Indonesia
Dalam sejarahnya
pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman (pidana) yang tidak diketahui
sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi sejarah mencatat bahwa jenis hukuman
yang saat ini merupakan jenis hukuman yang terberat dan tertua yang pernah
ada, bahkan menurut Codex Hammurabbi
yang diperkirakan yang diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi,
pidana mati ini telah digunakan’ pada orang yang telah melakukan kejahatan
tertentu, bahkan menurut Codex Hammurabbi tersebut dikatakan, “kalau ada
binatang pemeliharaan yang membunuh orang,
maka binatang berikut pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
Begitu juga
dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab taurat Agama Yahudi) yang ada jauh
sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati in juga telah diatur,
disahkan dan diperguanakan pada orang-orang tertentu yang telah melakukan
kejahatan pada masa itu, seperti
contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka sehingga mati oleh
orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21)
Pada perkembangan
di abad-abad selanjutnya dijaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami
perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara
dipenggal, disalibkan, ditenggelamkam, digergaji, bahkan pada sekitar abad ke-4 disemua daerah
jajahan Roimawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukkan dengan cara yang
sama yang telah diatur pada peraturan yang ada,
sehingga ada yang sampai digantung hidup-hidup dipinggir jalan dan
kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh seorang ahli
sejarah ang menyatakan, “kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu,
hukuman itu adalah di pancung kepalanya,
dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh, depekerjakan selaku budak, dibakar
hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas didalam gelanggan arena ditonton
oleh beribu-ribu orang.”
Pada abad-abad
selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi sati “alat” yang paling
efisien dan dipandang paling kuat gereja maupun raja-raja untuk menyingkirkan
lawan-lawannya, ataupun untuk terus menerus membuat rakyat tetap tunduk pada
para menguasa yang ada. Contohnya adalah hukum / peraturan yang berkembang pada
abd pertengahan, yaitu “criminal extra ordinaria ini yang sangat adalah
terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan
jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan
perbuatan berupa ap yang dimaksud disitu. Sewaktu romawi kuno itu
diterima (diresipeer) dieropa brat pada abad pertengahan, maka pengertian
tentang criminal extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa.
Dan dengan adanya criminal extra ordinaria ini selalau diadakan kemungkinan
untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenag-wenang, menurut kehendaknya
dan kebutuhannya reaja itu sendiri”. Perbuatan sewenang-wenangan penguasa
inilah yamng lalu menjadi titik otak munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan
hukum pidana dan munculnya asas legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum
seperti Montesquieu, J.J. Rousseau, von Feurbach, dsb. Akan tetapi sekalipun
asa legalitas tersebut kemudian diterima dan dimasukan dalam perundangan yang
ada (Code penal Perancis), tidak berarti menghapuskan pidana mati itu sendiri,
hanya saja membatasi penguasa dalamn menerapkan pidana itu sendiri. Penjajahan
perancis oleh Napoleon (1801) kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya,
bahaya dan guncangan terhadap perekonomian,tetapi juga sampai dengan pemahaman
dan perkembangan hukum yang ada di
negeri Belanda (Nederlannd). Seperti dinyatakan bahwa “dari sini asas itu
dikenal oleh Nenderland karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat
tempat dalam Wetboek v. Strafrecht
Nederland 1881”. Yang kemudian sejarah mencatat oleh kerena itu penjajahan belanda di indonesia, secara
perlahan-lahan hukum pidana mulai diperlihatkan dan mulai menggeser kekuatan
hukum adat yang telah ada dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni ada
saat Wetboek v. strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh)
di indonesia pada tahun 1918, baik bagi
golongan Bumiputera, timur asing maupun golongan penduduk eropa, yang kemudian
dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Pidana (KUPH). Dalam KUPH inilah pidana
mati (death penalty) dicantumkan dan dan mendapat pengaturanya yang sah (legal
act) bagi pemerintah / negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan
pemidanaan terhadap orang yang melakukan detik tertentu.
2. Pelaksanaan Hukuman Mati Di Indonesia
Sekalipun telah
memiliki pengaturanya sediri dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan; hukuman mati
dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat
dileher terhukum dan dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan
menjatuhkan papan tempat orang itu
berdiri. Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami
perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2 peraturan
dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan baru yang di
undangkan olrh pemerintah Jepang yang
menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu
Gunrei No. 1 pada tanggal 2 maret dan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu
kode kriminal dari pemerintah pendudukan Jepang). Kemudian setelah
kesatuan RI tercapai dimulai dengan
proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti
yang ada dalam pasal 11 KUHP. Pada tahun
1964, terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui
penetapan Presiden No.2 tahun 1964 ini juga melalui lembaran negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi
undang-undang No.2 tahun 1964. Melaui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan
pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh sorang algojo, melainkan
dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut
ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum
kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI. Disini terlihat bahwa efek penjeraan
atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu detik tidak dilakukan,
yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu
tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tyersebut terlihat kerana pidana
mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak di tempat umum untuk dilihat oleh
khayalan ramai.
Sementara itu
saat ini, pelaksanaan pidana mati di indonesia juga diharapakan mendapat
perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat bagaimana dalam rancangan
KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati
tersebut tidak lagi dimasukan memjadi pidana pokok beriringan dengan pidana
penjara dsb, melainkan talah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat
khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana sacara alternatife.
(pasal 61 konsep KUHP 1999-2000). Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana
mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat
diterapakan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu
alternatif yang bersifat khusu dan bukan
lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih dianut hingga sekarang
berdasakan KUHP lam (Wetboek van strafrecht).
Berikut adalah
beberapa uraian yang dapat menjelaskan
tentang bagaimana efektivitas pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana
narkoba di Indonesia :
1.
Karakter reformasi hukum positif indonesia masih
belum menunjukkan sistem peradian yang independen, imparsial, dan aparaturnya
yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses
yang salah. Kasus hukuman mati sengkon dan karta pada tahun 1980 lalu di
indonesia bisa menjadi pelajaran pahit
buat kita. Hukum sebagai institusi buatan manusia tentu tidak selalu benar dan
selalu bisa salah.
2. Dari
kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian limiah hukuman mati akan mengurangi
tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor
determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingkan dengan jenis hukuman lainya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman
mati (capital punishment) dan angka
pembunuhan antara 1988-2000 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa
pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dan hukuman lainnya seperti
hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal
lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh
problem struktral lainya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang
korup. Ditahun 2005 misalnya ditemukan pebrik pil ekstasi bersekala
internasional di Cikande,Serang,Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik
ekstasi terbesar ketiga didunia dengan total produksi 100 kelogram ekstasi per
minggu dengan nilai sekitar Rp. 100 milyar. Ternyata operasi ini melibatkan dua
perwira aparat kepolisian; komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang.
Maningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. Angka
kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainya (narkoba) tahun 2004
naik hingga 39.36 persen jika dengan dibandingkan dengan kasus narkoba tahun
2003. Selama tahun 2004 polda metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba,
atau meningkat 1,338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun2003 yang hanya
3.441 kasus. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru
menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan dimasa depan. Hukuman mati
justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan redikalisme an militansi
para pelaku. Sampai ssat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan
negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhit
bkali pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi
lagi kasus bom bunuh didri di Bali. Satu pernyatan pelaku kasus pemboman di
depan Kedubes Ausralia, Jakarta (9 september 2004). Iwan Dharmawan alias Rois,
ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada 13 November 2005:
“saya
tidak kaget dengan vonis ini kerena saya sudah menyangka sejak awal saya
menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini kerena di jatuhkan oleh pengadilan
setan yang berdasrkan hukum setan, bukan hukum Alla. Kalaupun saya du hukum
mati, berarti saya mati syahid”.
Sikap ini juga ditunjukan terdakwa kasus
bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan
yang telah dilakukan. Penerapan hukum mati jelas tidak berefek positif untuk
kejahatan terorisme semacam ini.
3. Praktek
hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan disikriminasi, dimana
hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak
kejahatannya umumnya bisa diketegorikan
sabagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran
berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugiakan ekonomi orang
banyak tidak pernah divonis mati. Padahal janji Presiden SBY hukuman mati
diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan
pelanggaran berat HAM.
4. Penerapan
hukuman mati juga menunbjukkan wajib politik indonesia yang kontradiktif. Salah
satu argumen pendukung hukuman mati karena sesuai dengan hukum positif
indonesia. Pada hal semnjak era
roformasi/transisi politik berlajan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan
kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum
nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup.
Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua)menyatakan :
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bartentangan dengan
semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-undangan yang
masih mencantumkan hukuman mati.
5.
Sikap
politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu
lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab
Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada
warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi
pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus lainnya
baru-baru ini.
B. Benturan Antara Pelaksanaan Hukuman
Mati Dan Hak Azasi Manusia.
Hak atas penghidupan instrumen tidak dijamin
sebagai hak mutlak. Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak
bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah
ditetapkan. Dalam beberapa instrumen, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah
Protokol tersendiri. Konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik dan
Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan yang paling
berat”, dikenakan pada suatu “keputusan final suatu pengadilan yang berwenang”
sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian ini
memberikan hak untuk mencari “pengampunan atau keringanan hukuman” dan melarang
pengenaan hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun pada saat
melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil. Konvensi Eropa
mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh
keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh
undang-undang.
Ada beberapa uraian yang menjelaskan benturan
antara pelaksanaan hukuman mati dan hak asasi manusia, antara lain :
1.
Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam atau Penghukuman yang Kejam, Tidak
Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,
diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tertanggal 10 Desember 1984.
Interpretasi ini didasari pada argumen bahwa seorang terpidana mati yang sedang
menghadapi eksekusi akan mengalami tekanan mental/psikis yang luar biasa yang
menjadi cakupan Konvensi Anti Penyiksaan ini.
2.
Ketentuan
ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak/Convension on the Rights of the Child, Pasal 37 (a) yang menyatakan
“Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan
kejam yang lain, tidak manusia atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati
atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat
dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di
bawah umur delapan belas tahun.”
3.
Komite
HAM juga melarang penggunaa hukuman mati sebagai suatu hukuman wajib/mandatory punishment.
4.
Sebelumnya
pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European
Convention of Human Rights/Convention
for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada pasal
2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan
hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga
dihapuskan di berbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun
juridiksinya mengcakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum
internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of Internasional Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)
dan Rwanda (Statute of Internasional
Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR)
5.
Pada 11
desember tahun 1977 Deklarasi Stokholm, Amnesti Internasional telah menyerukan
penghapusan pidana mati diseluruh dunia. Terhukum mengetahui bahwa “his death will be in a ritualized killing by
other people, symbolyzing his ultimate rejection by the members of his
community” (Jonathan Glover). Dan hal itu merupakan suatu ”additional horror” bagi terhukum.
Karena itu, bagi banyak orang pada saat sekarang, hukuman mati itu dirasakan
sebagai “a horrible business of a long
premeditated killing”.
Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini
terdapat juga golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai
pelaksanakannya pidana mati tersebut. Seorang bernama Greg. L. Bahnsen dalam
bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap
diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti kententuan dari hukuman mati
atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan
yang dibenarkan dimata Allah.”
Begitu
juga dengan David Anderson, seorang pakar yang berasal dari kalangan Kristiani,
yang sangat setuju (pro) dengan pidana mati pernah menulis bahwa “in order to
rightly value the death penalty it is necessary to have emphaty and
understanding for all the victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa
pidana mati justru menujukan rasa simpati teradap korban-korban kejahatan
berat, mengapa kita harus mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para
criminal, ketimbang hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya
sampai kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku
kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara medis,
pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi
pidana mati itu yang perlu dirivisi, sehingga mengurangi mengurangi rasa sakit
pidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.
Alasannya
lain juga dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn di Swedia yang menjelaskan
bahwa pidana mati perlu dipertahankan dengan alasan sepanjang hukuman mati
tersebut merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat.
Dilaksanakannya sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya
dan dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan
jujur.
Begitu
juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan,
banhwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan
masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari
sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya Jure divino humano. Pedang pidana,
seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat
diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakan.”
Didalam hukum Islam hampir tidak diketemukan pro-kontra pidana mati,
oleh karena di dalam Islam dikenal Talio, yang berarti membuat sebanding dengan
perbuatannya terhadap orang lain, sehingga disini sama dengan apa yang dianut
dengan agama Yahudi dalam kitab Pentatuech mereka yang menyatakan bahwa mata
balas mata, gigi ganti gigi. Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang
dalam surat Al Baqarah ayat 178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman :
sesungguhynya diwajibkan kamu qishash untuk soal pembunuhan, orang merdeka
dengan orang merdeka, budak dengan budak, wanita dengan wanita, tetapi kalau
seorang kamu dimaafkan oleh sanak saudaranya hendaklah kamu membalas kebaikan
mereka itu, karena itu adalah suatu keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat
dapat dijatuhkannya pidana mati sebagai berikut ; Keadaan yang membunuh sudah
baliq dan berakal. Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh. Keadaan yang
dibunuh tidak kurang juga derajatnya dari yang membunuh. Yang dimaksud dengan
derajat disini ialah agama dan merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak
dengan bapak. Maka oleh karenanya orang Islam yang membunuh orang orang kafir
tidak berlaku terhadapnya. Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara
darahnya dengan Islam atau dengan perjanjian.
Dalam perkembangannya para pakar dari
kalangan agama Islam juga memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda
tentang pidana mati tersebut, contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan
pidana mati tersebut terhadap orang yang melakukan tindakan pembunuhan yang
tidak disengaja, sementara yang lain seperti Abu Hanifah dan As-Syafii hanya
setuju tetapi dengan syarat bahwa perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang.
Begitu juga menurut Juynboll, “pidana mati hanya dipergunakan terhadap
pembunuhan yang disengaja dan membunuh dengan senjata dalam keadaan normal dan
yang melakukan kejahatan itu cukup umur dan waras.”
Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana
mati yang dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak
bertentangan dengan falsafah Negara, tidak berlawanan pula dengan unsur-unsur
Ketuhanan YME, karena syari’at Islam merupakan syari’at yang berdasarkan
Ketuhana YME.”
Kemudian dalam pandangan penulis (jika
seandainya pro pidana mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan
diterapkannya pidana mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi
pendegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan dengan efek
pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik tertentu akan membawa secara
langsung tak langsung jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan”
untuk tidak melakukan bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik
yang diancam pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat
suatu efek pencegahan pada masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.
D. Kesimpulan
Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan
oleh pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana
terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya. Dalam bentuknya pidana mati ini
juga merupakan suatu jenis pidana yang paling banyak memiliki variasi dalam
pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, di
adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena, digergaji,
ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4
sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar
sebagai penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan
alasan dan tujuannya masing-masing tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni
matinya seseorang. Berbagai bentuk tidak manusiawi dan penerapan akhir yang
seringkali dianggap merupakan kesewenangan penguasa inilah yang membawa
pro-kontra terhadap pidana mati ini terus berlangsung hingga kini.
Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus
segera dihapuskan, tetapi sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati
ini masih merupakan suatu jenis pidana yang dibutuhkan hingga saat ini terutama
dalam kasus Narkoba.
Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan
objektif dalam mengkaji mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati
tersebut dalam kehidupan bernegara. Dan jika pelaksanaan pidana mati tersebut
masih tetap harus dipertahankan, maka harus juga dipikirkan dalam-dalam
bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan sehingga dilakukan dengan cara
yang paling tepat, manusiawi, meringankan si terdakwa dan tidak berdampak
negatif/buruk terhadap pandangan masyarakat luas.
E. Saran
Menurut penulis, bukanlah antara pro kotra tentang
hukuman mati yang harus diperdebatkan, tetapi yang harus dilakukan adalah
penegakan Pasa 7 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin atas
hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi di depan hukum.
Referensi
Afandi Emilianus, MENGGUGAT NEGARA: Rasionalitas Demokrasi, Ham dan Kebebasan, PBHI,
Jakarta 2005.
Etika Politik
Dalam Konteks Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Fakih Mansour, Bebas
Dari Neoliberalisme, Insist Yogyakarta, 2003.
Gaffar Afan, Politik
Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992.
Harahap Krisna, pasang
Surut Kemerdekaan Pers di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
Mahfud, Moh, MD. Politik
Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
Moerdiono, M Soemantri Sri, dkk, Politik Pengembangan Hukum Nasional, UII
Press, Yogyakarta, 1992.
Naning Mardiniah, dkk, Memperkuat Posisi Politik Rakyat, Cesda-LP3ES, Jakarta, 2004.
Tanuredjo, Budiman, Pasung Kebebasan, Menelisik kelahiran UU Unjuk Ras, Elsam, Jakarta,
1999.
Wingjosoebroto, Soetandyo, HUKUM, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Huma,
Jakarta, 2002.
No comments:
Post a Comment