POLITIK DAN HUKUM DALAM SEBUAH
HUBUNGAN KAUSALITAS DI INDONESIA
Oleh
DR. H. RUMADI SE. SH, M.Hum.
Latar Belakang
Hubungan kausalitas antara antara politik dan hukum sebagai bagian
dalam sistem kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Dari
pendekatanm empirik hal itu merupakan suatu aksioma yang tak dapat diitawar
lagi. Tepai ada juga para yuris yang lebih percaya dengan semacam mitos bahwa
politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen,
tak dapat disalahkan begitu saja. Bahwa hukum adalah produk politik sehingga
keadaan politik tetentua akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula.
kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum
deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa
dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam
penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan
hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh
kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum.
Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di
Indonesia. Bagaimana gejala ini bisa dijelaskan? Strategi apa yang dapat
dilakukan untuk mengembalikan hukum untuk menuju kaadilan?
Asumsi
dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik
sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh
imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik
sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang
saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das
sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum,
namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya
ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno,
politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan
pembangunan adalah panglima pada jaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism)
telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu
mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan
alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Setiap hari
kita melihat, mendengar bahwa di ibukota penggusuran sedang berlangsung
terhadap ribuan warga pinggiran di ibukota, hanya dengan alasan bahwa mereka
telah melanggar Perda DKI. Dalam logika seperti itu, hukum diberi fungsi,
terutama, sebagai instrumen program pembangunan karena sebenarnya hukum
bukanlah tujuan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum diproduk dalam
rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk
hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan
ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua
pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum (Mahfud : 1999).
Pertama kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut “das sollen” yang
mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan
masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Tokohnya antara lain Roscoe Pound
dengan “law as a tool of social engineering“. Adalah wajar jika ada
keinginan untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyrakat
karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin dan melindungi kepentingan
masyarakatnya akan menjadi lebih relevan. Tetapi dari kaum realis seperti Von
Savigny dengan “hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya“. Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent
variable atas keadaan diluarnya, terutama keadaan politiknya.
A. Hukum sebagai Produk Politik
Dikalangan
ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik
dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan
bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat,
termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan
melindungi kepentingan masyaraktanya akan menjadi lebih relevan.Pengaruh
politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik
produk-produk serta proses pembuatannya. Bahwa keadaan politik tertentu dapat
mempengaruhi produk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh
pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan
Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi
hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara Negara
dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU
No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU
No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan
akomodasi (Mahfud :1999).
Satjipto
Rahardjo (1985 :71) mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara
subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi
yang lemah. Artinya banyak sekali praktik politik yang secara substansif
hal-hal diatas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam kenyataan empiric
politik sanagat menentukan bekerjanya hukum. Dengan demikian menjadi jelas
bahwa pengakuan hukum disini sangat tergantung pada keadaan politiknya.
Pertanyaannya
adalah, jika pengabdian hukum lebih cenderung pada kekuasaan, apakah tidak ada
ruang bagi ekspresi hukum untuk praktik demokrasi?
Demokrasi dan Hukum
Bahwa
ada kaitan yang sangat erat antara demokrasi dan hukum tidaklah dapat dibantah.
Hubungan antara demokrasi dan hukum ibarat dua sisi sekeping mata uang logam :
dimana ada demokrasi disitu ada hukum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya.
Negara-negara yang demokratis akan melahirkan hukum yang berwatak demokratis,
sedangkan negara yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum yang
non-demokratis pula. Kesulitan yang muncul adalah bahwa sekarang ini tidak ada
satupun negara di dunia ini yang mengaku tidak demokratis.
Berbicara
tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum
bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan
nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum
dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai
keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan
dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan
keadilan di masyarakat.
Hukum
sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara
adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan
kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan.
Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan
atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar
kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara
langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang
disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan
politik.
Dengan
dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud
apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak
pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya
lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip
membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
Dalam
konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan
masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang
fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan
dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia
bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya,
sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan
tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili
pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor
kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi,
disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”.
Hukum dalam Subordinasi Politik
Adalah
runtuhnya rezim otoriter Soeharto dan keinginan untuk membangun kembali suatu
tatanan masyarakat yang demokratis yang memunculkan upaya-upaya peninjauan
ulang, revisi dan amandemen terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum
yang ada. Namun sejarah mencatat bahwa proses lahirnya hukum memang tidak lepas
dari sejarah kekuasaan atau politik itu sendiri. Sejak masa Imperium Roma
sampai dengan Hitler, Sejak masa Sriwijaya hingga Megawati Sokarnoputri.
Dalam
sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang dikenal
dengan “The Ducth Law of The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk
mengintervensi hukum adat yang berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut
dugunakan sebagai instrumen kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana
VOC misalnya mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua.
Ada
lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk “menyempurnakan” hukum sebagai alat
untuk menjinakkan masyarakat: Pertama, melakukan kooptasi terhadap
lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah Agung (MA) sehingga
menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua,
memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang
selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan
adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang
terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara
dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat,
membentuk instrumen-instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah
masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk
seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura-pura, tidak beres
dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan
independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan
nepotisme.
Dengan
kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya
ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang
sebenarnya. Law enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald
Katz kemudian menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law
without law, ada hukum tapi tidak berguna.
Hukum yang Lumpuh dan Dilumpuhkan?
Dalam
pandangan Lord Acton, upaya perbaikan hukum secara menyeluruh menyangkut
perubahan pada the content of the law, the structure of the law, dan the
culture of the law. Persoalannya, di Indonesia perubahan yang dilakukan
semata-mata baru pada the content of the law, seperti dengan membuat
sebanyak mungkin undang-undang dan peraturan untuk mengatasi persoalan di
masyarakat, itu pun seringkali tidak didasarkan pada pembacaan yang
sungguh-sungguh atas kebutuhan masyarakat akan undang-undang dan peraturan
serta tidak dirumuskan secara partisipatoris (kasus upaya pemaksaan pengesahan
undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya misalnya). The structure of the
law-nya masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan
aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang. Apalagi the
culture of the law-nya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang
profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum.
Kondisi
hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan pemerintah
untuk mengedepankan agenda law erforcement dan hambatan-hambatan politis
lainnya. Desakan untuk melakukan pembersihan secara radikal terhadap institusi
hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan
keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV
dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman Wahid, tidak lagi berlanjut
seiring dengan jatuhnya Wahid. Upaya Gus Dur justru dihambat dengan berbagai
cara, termasuk dengan penggulingan dirinya.
Artinya,
dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung,
upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai
pihak. Dalam konteks transisional, semua upaya tersebut dilakukan tidak lain
untuk mempertahankan ketidakpastian hukum demi membebaskan pihak-pihak yang
bermasalah sekaligus tetap mempertahankan previledge yang hanya dapat
dipetik dalam situasi ketidakpastian (pengadilan mantan presiden Soeharto
misalnya.
Ada
proses demoralisasi yang panjang dalam dunia hukum kita. Juga ada masalah
sistem yang mendukung munculnya demoralisasi tersebut. Sistem peradilan
kolonial yang kita gunakan secara tambal sulam tidak direvisi total pada
tataran prinsipil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peradilan yang
berkeadilan namun lebih merupakan alat kontrol yang represif. Sehingga barang
siapa yang ingin selamat dari jerat hukum, dia akan melakukan upaya-upaya
kolusi yang mendorong suburnya demoralisasi.
Pengaruh Demokrasi dan Otoritarian
Dalam
memotret kasus Indonesia dengan kerangka teori tersebut, maka sejarah politik
dan hukum di Indonesia dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode 1945-1959,
periode 1959-1966, dan periode 1966 sampai sekarang, sedangkanm produk-produk
hukum diarahkan pada hukum-hukum public dengan contoh hukum-hukum tentang
Pemilu, Pemda dan Agraria. Secara spesifik gambaran hubungan kausalitas
tersebut adalah sebagai berikut;
Keadaan Politik
Pada
periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku samapai tiga macam UUD (UUD 1945 dan
UUDS 1950), kehidupan politik berjalan secara demokratis meskipun jika dilihat
dari sudut UUD 1945 (Aturan Peralihan Pasal IV) pada awal perjalanannya
kehidupan politik Negara sangat memusat ditangan Presiden. Pada Periode
1959-1966, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kehidupan demokrasi merosot
tajam dan yang muncul adalah system politik otoriter dengan Soekarno sebagai
actor utama. Periode system politi yang ke tiga yaitu periode 1966 sampai
sekarng atau periode Orde Baru. Pada mulanya era Orde Baru ini pun berlangsung
dibawah system politik yang demokratis menurut ukuran konvensional diatas.
Tetapi langgam demokratis ini hanyalah perjalanna awal ketika pemerintah sedang
menyusun format politik baru.
Produk Hukum
Studi
tersebut memperlihatkan secara jelas hubungan kausalitas atau dependensi hukum
atas politik. Pada hukum-hukum public yang berkaitan dengan kekuasaan
(gezagsverhouding) terlihat sekali bahwa system politik yang demokratis
senantiasa melahirkan hukum yang karakternya responsive atau populastik,
sedangkan system politik yang otoriter sebnantiasa melahirkan hukum yang
memiliki karakter ortodoks/konservatif. Lahirnya Orde Baru dengan obsesi
pembangunan ekonomi berorientasi pada pertumbuhan juga melahirkan produk hukum
pemda yang tidak responsive. Hal itu didasarkan pada keinginan untuk
memperkokoh kesatuan dan persatuan yang dapat menjamin stabilitas yang menjadi
prasyarat pembangunan. Langgam ototitarian periode initelah melahirkan UU No. 5
Tahun 1974 yang muatan ciri-ciri konservatifnya terlihat pada : Pertama, asas
otonomi yang seluas-luasnya diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung
jawab, Kedua dominasi pusat terhadap daerah cukup menonjol yang ditandai dengan
kewenangan pusat untuk mengangkat kepal daerah tanpa terikat peringkat hasil
pemilihan di DPRD, Ketiga, kepala daerah merangkap sebagai kepala wilayah
dengan kedudukan sebagai penguasa tunggal, keempat adanya mekanisme pengawasan
preventif, responsive, dan umum dari pusat terhadap daerah.
Menuju Hukum Responsif
Uraian
diatas telah menunjuukkan bahwa situasi politik tertentu dapat melahirkan hukum
dengan karakter tetentu pula yang secara teoretis dikotomis system politik
demokratis akan melahirkan hukum yang responsive, sedangkan system politik yang
otoriter akan malahirkan hukum yang konservatif/ortodoks. Kesimmpulan umum
tersebut dapat secara khusus dikaitkan dengan Indonesia yang ternyata
memberikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pada periode 1945-1959, keadaan
politik Indonesia adalah demokratis dan telah melahirkan hukum yang berkarakter
responsive. Kedua, pada periode 1959-1966, keadaan politik di Indonesia adalah
otoriter dan telah melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks. Ketiga, pada
periode 1966 –sekarang, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter-non
demokrasi dan telah melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
realitas empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan.
Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum.Namun
melihat ketidakjelasan politik hukum pada di era transisi ini, munculnya elemen
kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta
lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945
menjadi sebuah keniscayaan.
Dengan
dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud
apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak
pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya
lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip
membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud
MD, Moh.1993. Perkembangan Politik Hukum, disertasi doctor dalam Ilmu
Hukum di Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Moh.
Mahfud MD.1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media :
Yogyakarta.
Rahardjo,
Satjipto,1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar disiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru.
No comments:
Post a Comment