KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI
DENGAN MENGGUNAKAN SARANA MEDIA ONLINE
RUMADI1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana
Abstraksi
:
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui secara yuridis mengenai tindak
pidana prostitusi melalui media online dengan menggunakan kajian normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan didapatkan hasil Prostitusi online
dapat terjadi
karena adanya akses yang
sangat mudah dan juga begitu bebas, Adanya website atau forum yang
secara khusus berkecimpung di dunia prostitusi online semakin
menegaskan bahwa praktek haram ini sudah sangat terorganisir. Mereka biasanya mengunjungi forum atau website tersebut, didalamnya sudah ruang
khusus yang membahas mengenai kegiatan ini, kita tinggal memilih gadis-gadis didalamnya dipaparkan dengan
jelas seperti apa gadis-gadis psk
ini dari mulai tarif sampai bentuk tubuh.
Setelah setuju tinggal menghubungi mucikarinya melalui
telepon dan praktek prostitusi
melalui media
online ini
pun
terjadi. Faktor- faktor
penyebab terjadinya praktek prostitusi melalui media online ini pada dasarnya sama
dengan bagaimana praktek prostitusi biasa terjadi, faktor utaman biasanya adalah ekonomi, namun dalam praktek prostitusi melalui media
online ini, faktor pendukung yang
menjadi kunci utama sehingga kegiatan haram ini bisa terjadi,
adanya internet yang memudahkan
sehinggak praktek
ini bisa terjadi.
Hukum positif menanggapi
permasalah prostitusi melalui media online ini cukup
memuaskan
bagi
masyarakat,
walaupun masih ada
celah didalamnya. Menggunakan tiga undang-undang yaitu Undang-Undang RI No.11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang RI No.44 Tahun
2009 Tentang Pornografi dan KUHP sudah cukup untuk menjerat para pelakunya, namun ada celah
didalamnya seperti jika server dan pemilik website atau
forum prostitusi bukan warga negara Indonesia,
maka
dia dapat begitu saja lolos
dari jeratan hukum Indonesia.
Sanksi bagi pelaku prostitusi online yang
diatur pada UU ITE dan UU Pornografi menurut penulis masih kurang berat, sebab denda maksimal Rp. 1
miliar masih
relatif kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh dalam
mengelola jaringan prostitusi online ini.
Sedangkan pidana penjara maksimal 6 tahun juga masih dianggap ringan jika mengingat prostitusi ini lebih berbahaya daripada
bentuk-bentuk pornografi
lainnya, sehingga kurang efektif untuk membuat pelaku jera ataupun menakut-nakuti orang
lain melakukan kejahatan
serupa.
Kata Kunci: tindak
pidana,
prostitusi, media online.
53 JURNAL ILMIAH
HUKUM, Volume
11 Nomor 1 Periode Mei 2017 Hal 52-66
Abstraction:
This study
aims to determine legally
the crime of prostitution through
media online using study
normative approach based on the principles contained in
the legislation the result prostitution online is due to easy access and also so free ,
existence of the website or forum that is specifically involved in prostitution online further confirms that the illegal practice has been very well organized. They
usually visit the forum or website, there is a special room to discuss
about this event, we just choose the girls in it are clearly like what the girls of this sex workers rates start to form the body. Having agreed to stay in touch over the
phone pimps and prostitution through online media is already happening. Factors
causing prostitution
through online
media
is
basically the same as
how
the
practice of prostitution is common, usually
a major factor is the economy, but in
the practice of prostitution through online media, supporting
factors that will be key
to the illegal activities of this can happen, the internet facilitates sehinggak
practice this
could happen.
Legal positive response to the problems of prostitution through media
online good for the community, although there are still gaps in it.
Using
the three laws, namely
the Law of the Republic of Indonesia No.11 of 2008 on Information
and
Electronic Transaction Law, RI No.44 Year 2009 on Pornography
and Criminal Code is sufficient to trap the culprit,
but there are gaps in it as if the server and the owner website or forum prostitution is not a citizen of Indonesia,
then he can just escape the law of Indonesia.
Penalties for
offenders online prostitution arranged in
ITE and
Pornography Act according to the author is still less severe, for a maximum fine
of Rp. 1 billion is still relatively small when compared with the benefits that can be gained in managing prostitution ring
online. The maximum imprisonment of 6 years and is still considered mild when considering prostitution is more dangerous than
other forms of pornography
more, making it less effective deterrent to perpetrators or
scare other people
do evil things.
Keywords:
crime,
prostitution, online media.
A. PENDAHULUAN
Pelacuran merupakan salah satu kateori penyakit sosial yang
berkem-
bang di masyarakat atau lebih dikenal dengan patologi sosial (social pathology). Salah
satu sebab
terjadi nya patologi sosial ini, adalah
secara psikologis manusia memiliki nafsu-
nafsu yang merupakan
kekuatan
sosial. Dalam kehidupan sosial
kita melihat dinamik yang dapat mengga- bungkan dan
merenggangkan hubung an
antara anggota masyarakat. Jika
manusia hendak hidup wajar harus dapat memenuhi
hasrat dan nafsu tadi.
Seandainya keinginan-keinginan
tadi
dapat
dipenuhi,
maka hal
ini
dapat
menimbulkan ketegangan-ketegangan
batin. Jika ketegangan-ketegangan ini
meluas dalam masyarakat, maka terjadilah
ketegangan
sosial. Bila ketegangan ini tidak
segera
dipecah
kan dapat berkembang menjadi
penyakit sosial. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat Gillin, sebagai berikut:
“Patologi sosial
ialah suatu
gejala dimana
tidak
ada
persesuaian antara
berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga
dapat
membahayakan kehi-
dupan kelompok, atau
yang sangat merintangi pemuasan keinginan funda
mental dari anggota-anggotanya deng- an akibat bahwa pengikatan sosial
patah sama sekali”
(Gillin dalam Chazawi 2011). 2
Permasalahan prostitusi seakan
tidak
akan
pernah
selesai bahkan
dirasakan semakin eksis hingga sekarang
dan
bahkan semakin canggih metode
yang digunakan. Kini Negara
yang memiliki teknologi di bidang informasi dan komunikasi dipastikan dapat menjadi
Negara yang maju
2 Adami Chazawi dan Ardi
Ferdian,
2011.
Tindak
Pidana Informasi
dan Transaksi
Elektronik, Bayu Media Publishing,
Malang
apabila Negara tersebut dapat mengolah, memanfaatkan media
terse- but secara bijak dan bertanggung jawab. Tetapi apa yang akan terjadi apabila sebuah Negara yang memiliki media
ini tidak dapat memanfaatkan
dan mengolahnya dengan bijak dan
bertanggung jawab.
Maka perkem- bangan
tersebut bak
pisau bermata
dua, perkembangan
media interaksi
berbasis internet juga memiliki sisi
negatif
apabila Negara tersebut tidak dapat mengolah
dan memanfaatkan nya dengan
baik.
Kejahatan
dunia maya atau Cyber crime
merupakan salah
satu
bentuk atau dimensi baru
dari kejahat an masa kini yang mendapat perhatian
luas di
dunia
internasional. Cyber crime merupakan salah satu
sisi
gelap
dari kemajuan
teknologi yang mempunyai dampak negatif
sangat luas bagi seluruh bidang
kehidupan modern
saat ini. Dengan memper- hatikan
dampak negatif dari
perkem- bangan
cyber crime ini maka seyogyanya melakukan antisipasi terhadap upaya pencegahan dan
penanggulangan cyber crime ini.3
3 Barda Nawawi Arief, Tindak
Pidana
Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber
K5a5jJiaUnRYNuAriLdiIsLTMerIAhaHdaHpUTKinUdMak, VPoidluamnae 1P1roNsotimtuosri1DPeenrgioadne Meni g20g1u7naHkaaln52S-a6r6ana
Media Online, Rumadi
54
Semakin maraknya aktivitas negatif di cyber
space sangat
dirasakan oleh masyarakat. Apalagi
dengan beberapa pemberitaan di media massa
tentang
adanya
prostitusi cyber di
Jawa Timur dan
Kota Malang beberapa
waktu yang
lalu dimana jaringan prostitusi yang
diungkap ini cukup besar karena melibatkan mahasiswa dan
menawarkan tarif yang cukup
besar.
Bisa dikatakan prostitusi online yang diungkap hari ini adalah jaringan prostitusi yang
berskala besar dengan pelanggan yang
luar biasa, Polda
Jatim telah menetapkan dua tersangka kasus tersebut, pria
berinisial AP (21 tahun)
dan perempuan UY (22). AP
merupakan mahasiswa di salah
satu perguruan tinggi di
Surabaya yang
berasal dari Lamongan. AP bertindak sebagai perekrut mahasiswa.
Selama ini kasus prostitusi online
yang diungkap Pola Jatim melalui
jaringan media
sosial seperti Facebook,
Twitter, dan Instagram. Namun,
kali ini jaringannya bersifat
privat. Kepolisian
melakukan
melalui cyber paper
yang kami lakukan di Line dan WhatsApp, pola rekrutmennya
melalui teman-teman AP sesama
mahasiswa yang
telah mengetahui jaringan tersebut. Cara
merekrut disesuaikan dengan
kebutuhan dan di lingkup
mahasiswa tersebut. Para
tersangka ini mendapat
keuntungan sebesar
30 persen dari
hasil transaksi. Kasus
tersebut
berhasil diungkap pada 18 Desember
2016. Kemudian pada 19 Desember. 4
Biasanya Modus yang dipakai
mucikari untuk
merekrut
para penyedia jasa ini
sangat
beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut
atau
mencari gadis belia yang berpenampilan menarik
untuk
dijadikan anak buahnya
melalui
layanan chating dan sejenisnya yang
beberapa tahun belakangan
ini sudah menjadi trend di kalangan anak muda.
Setelah
mucikari berhasil merayu
para
gadis belia untuk menjadi anak asuhannya, mereka biasanya akan
langsung
ditawarkan lewat website
yang dikelola mucikari tersebut
untuk bisa
berkencan
dengan gadis
Crime di
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 1-2
kum/16/12/20/oih8hd361-polisi-ungkap- prostitusi-mahasiswa-di-surabaya-dan-malang
gadis muda ini, pada umumnya calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu
pada website dimana
gadis-gadis
tersebut dipamerkan. Calon penyewa
akan mengisi formulir yang
berisi
nama, alamat, nomor telepon dan lainya. Setelah pendaftaran
selesai calon penyewa bisa langsung me- milih gadis mana
yang akan dikencani, lalu calon penyewa bisa
mulai bernegosiasi harga. Setelah
semua proses pendaftaran atau
pemesanan selesai gadis pesanan akan diantarkan
ke tempat yang
telah disepakati.
Faktor
kemiskinan yang melanda
masyarakat negeri ini serta gaya hedonisme anak muda
diteng- garai
sebagai penyebab utamanya. Bahkan seorang siswa yang selalu ber- prestasi pun akhirnya memilih men-
jadi PSK karena orang tuanya tidak mampu membiayai hidup
dan juga sekolahnya. Tak hanya
faktor ekonomi
yang menjadi pemicu maraknya ABG
menjadi PSK. Gaya hidup bebas (sosial) juga
merupakan salah satu sebab yang tidak bisa kita pungkiri.
Tidak sedikit dari para ABG yang mengaku memilih menjadi PSK
karena
sudah terlanjur
dinodai
oleh
pacar pertamanya. Sehingga
sudah tidak ada alasan yang
menghalangi
mereka untuk melakoni hidup sebagai PSK.
Dari latar belakang
masalah di atas diperlukan adanya pencegahan
dan penanganan terhadap pelacuran menggunakan media online serta
kajian mengenai
kebijakan
penegakan
hukum terhadap
tindak pidana
prostitusi cyber. Oleh sebab itu guna mencegah dan menanggulangi anca- man prostitusi online ini akan dikaji
lebih dalam mengenai Kajian
Yuridis Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Dengan Menggunakan
Sarana Media
Online
1. Prostitusi
Ada beberapa pendapat atau rumusan tentang pelacuran (prostitusi)
menurut pendapat para
sarjana, antara
lain sebagai
berikut:5
a. W.A BONGER, prostitusi
adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuat
an seksual sebagai mata pencaharian. Unsur
esensial
5 B Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan
Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1981, hal
35
dalam pelacuran
adalah motif
ekonomis, tanpa
motif ini bukan pelacuran.
b. IWAN BLOCH, memberi batasan
pelacuran sebagai
suatu bentuk tertentu
dari hubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola
ter-
tentu, yakni kepada siapapun
secara terbuka
dan
hamper selalu dengan pembayaran,
baik untuk hubungan badan maupun kegiatan
seks lainnya yang memberikan kepuasan yang
diinginkan oleh yang
bersangkutan.
c. COMMENGE,
prostitusi
ada-
lah
suatu perbuatan dimana se orang wanita
memperdagang kan atau menjual tubuhnya, yang
dilakukan untuk mem
peroleh pembayaran dari laki- laki yang datang membayarnya dan wanita tersebut
tidak ada
mata pencaharian nafkah lain
dalam hidupnya, kecuali
yang diperoleh dengan
melakukan hubungan
sebentar-sebentar
dengan banyak
orang.
penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada
orang banyak guna pemuasan nafsu seksuil orang itu.
Prostitusi menurut James A.
Inciardi
sebagaimana dikutip oleh
Topo
Santoso merupakan
“The
offering of sexual
relations
for monetary or other gain”
(penawaran
hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya). Jadi prostitusi adalah
seks untuk penca-
harian, terkandung beberapa tujuan yang
ingin diperoleh, biasanya berupa
uang. Termasuk didalamnya
bukan saja persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual
dengan orang lain untuk
(prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggan
nya (client) yang dapat dilakukan
secara kovensional maupun melalui
dunia maya.6
2. Tindak Pidana prostitusi
Online.
Prostitusi
cyber adalah kegia-
tan menawarkan jasa pelayanan
seksual melalui dunia maya.
d. PAULUS MOEDIKDO MO-
6 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum
ELJONO, pelacuran
adalah
Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, hal. 134
Melihat
stratifikasi
praktik prostitusi
sebagaimana yang dikemukakan di atas sebelumnya, maka prostitusi
cyber berada pada praktik
prostitusi dengan posisi tertinggi dimana pelacur
dapat dipesan melalui media
cyber.
Prostitusi cyber merupakan bagian
dari cyber
crime yang men-
jadi
sisi gelap dari aktivitas di dunia
maya. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas
menggolongkannya
sebagai cyber crime di bidang kesu
silaan atau secara
sederhana diistilah
kan dengan cyber
sex. Lebih lanjut
beliau dengan
mengutip pendapat
dari
Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah
penggunaan internet
untuk tujuan-tujuan seksual
(the use of the
internet for sexual
purposes). Pandangan yang
sama juga dikemukakan oleh David Greenflied
yang mengatakan bahwa cyber sex
adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk
ekspresi atau kepuasan seksual (using
the computer for any
form of sexual expression
or gratification). Dike-mukakan juga
olehnya, bahwa cyber sex dapat dipan- dang sebagai kepuasan/kegembiraan
maya (virtual gratification), dan suatu
bentuk dari keintiman (a
new
type
of intimacy). Patut
dicatat
juga bahwa hubungan intim atau keintiman
(intimacy) itu
dapat juga mengandung arti hubungan seksual atau perzinahan. Ini berarti
cyber sex merupakan bentuk
baru dari perzinahan. Dengan
demikian
prostitusi cyber merupakan
aktivitas prostitusi yang
dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di
cyber space.7
B. METODE
PENELITIAN
Penelitian
direncanakan diawali
dengan melakukan kajian
literatur
berupa konsep teori dan hasil-hasil
penelitian yang relevan. Hasil kajian
tersebut menjadi dasar
untuk mengungkapkan permasalahan yang
ada diseputar masalah Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Dengan
Menggunakan Sarana Media Online.
Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan
kajian normatif, yaitu
pendekatan yang
didasarkan pada kaidah-kaidah yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, de-
ngan
memuat
deskripsi yang
diteliti
7 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 2006, hal.179
berdasarkan
tinjauan pustaka yang dilakukan
dengan cermat dan mendalam.
Setelah data tersebut terkumpul, akan dianalisis secara deskriptif, dimaksud untuk memberikan gambar an secara jelas, sistematis,objektif
dan kritis yang dipaparkan
mengenai
fakta-fakta yang bersifat normatif
tentang permasalahan yang
dibahas,
dengan berusaha
menyajikan bahan
yang relevan
dan mendukung.
C. HASIL DAN
PEMBAHASAN
1. Kajian
Yuridis Terhadap Pros titusi Online Dalam Undang- Undang
RI NO.11 Tahun 2008
Tentang Informasi
dan Tran
saksi Elektronik
Undang-Undang RI NO.11 Tahun
2008 Tentang
Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) tidak menyebut
kan kata prostitusi dalam
semua pasal nya. Kecuali pada pasal 27 yang
berisikan tentang berbuatan-perbuatan
yang dilarang, menyebutkan kata kesusilaan yang
menyangkut
kepada hal-hal yang
berbau pornografi. Isi
Pasal
27 UU ITE yaitu sebagai berikut:
(1) Setiap
Orang
dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau me
ntransmisikan dan/atau me
mbuat dapat diaksesnya Infor
masi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
me langgar kesusilaan. (2) Setiap Orang dengan sengaja
dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan
/atau membuat dapat diak sesnya Informasi
Elek tronik dan/atau Dokumen Elek tronik yang
memiliki muatan perjudian.
(3)Setiap Orang dengan
sengaja
dan tanpa
hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat
diaksesnya
Informasi Elek
tronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.(4)Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa
hak mendistribusikan dan/atau
me ntransmisikan dan/atau mem
buat dapat diaksesnya Infor masi elektronik dan/atau doku men elektronik yang memiliki
muatan pemerasan
dan/atau pengancam8.
Pada
Pasal 27 UU ITE, tepatnya
pada ayat (1) menyebutkan kata
keasusilaan yang
maksudnya menyang
kut pada hal-hal bersifat kepornoan.
Pasal ini tidak menyebutkan
hal-hal apa sajakah yang dimaksud keasusila
8 Undang-undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 27
an tersebut. Sebenarnya ada
beberapa
pihak yang menjadi subyek dalam
kejahatan prostitusi
online ini yakni: Pengguna
jasa, Penyedia tempat layan
an,
Pemilik website prostitusi online
dan Pemilik server.
Pada pasal 27 ayat (1) tersebut,
menyebutkan “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusik an dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elek tronik….”, sehingga
yang menjadi subyek hukum yang
dituntut pertang- gungjawaban pidananya dalam UU
ini hanyalah pemilik website
prostitusi online, yakni sebagai orang yang
mendistribusikan atau mentransmisi kan
atau membuat dapat diaksesnya
situs-situs porno atau
prostitusi online
tersebut. Kemudian yang
dimaksud
dengan “yang
memiliki muatan me-
langgar kesusilaan”
pada pasal
ter sebut adalah jika memenuhi unsur- unsur sebagai berikut: 1)
Tidak mengandung nilai melainkan hanya mengandung unsur yang membangkit kan nafsu birahi bagi yang
melihat,
memperhatikan atau pun
mendengar nya.
2)
Bertentangan
dengan
nilai-
nilai atau
norma-norma yang
berlaku
dalam masyarakat.9
Jadi jelaslah bahwa yang
di maksud prostitusi online
yang diatur
pada UU ITE tersebut adalah situs- situs yang
menampilkan atau men- yediakan
muatan-muatan melanggar kesusilaan yang
tujuannya tiada lain hanyalah untuk
menghasilkan uang dengan cara
menampilkan gambar
gadis-gadis pekerja
seks
komersial, tanpa tujuan lainnya seperti untuk keperluan
pendidikan, terapi pengobatan, dan lain
sebagainya. Ketentuan mengenai sanksi
dalam UU ITE ini termuat, yaitu pada pasal 45
ayat (1) tentang ketentuan
pidana:
Setiap Orang yang meme
nuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana de- ngan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal ini mengancam penjatuhan pidana bagi setiap orang yang melakukan beberapa
kejahatan, yang
salah satunya pasal 27 ayat (1)
9 Lutfan Muntaqo, Porno: Definisi dan
Kontroversi, (Yogyakarta: Jagad Pustaka,
2006), hal 39
mengenai prostitusi online
dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda
maksimal 1 miliar rupiah.
2. Kajian Yuridis Terhadap
Prostitusi Online Dalam Undang
-Undang RI No.44 Tahun 2008
Tentang Pornografi
Pada Undang-Undang RI
No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
didalam setiap pasal dan ayatnya tidak menyebutkan secara
jelas mengenai kata
prostitusi sama seperti didalam
Undang-Undang RI NO.11 Tahun
2008 Tentang
Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), apalagi secara
spesifik menyebut kata
prostitusi online yang menjadi
pembahasan dalam skripsi ini. Namun banyak
terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang
tindakan-tindakan yang
ber sifat pornografi.
Untuk permasalahan prostitusi online yang
banyak
me libatkan banyak pihak,
undang-undang
ini lebih tegas dalam menyebukan
pihak-pihak tersebut.
Sebelum lebih jauh membahas,
undang-undang
ini
memberikan
pen
pasal 1 ayat (1)
penjelasan tersebut
diberikan secara terperinci, yang
isinya yakni:
“Pornografi
adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pes an
lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/ atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat keca
bulan atau eksploitasi seksual
yang melanggar norma kesu
silaan
dalam masyarakat.”10
Dari semua yang disebutkan
dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang
pornografi, hanya
membatasi itu pada hal-hal yang
membuat kecabulan ataueksploitasi seksual.
Mengenai
permasalah prostitusi
undang-undang
ini menyebutkannya dengan kata
jasa
pornografi yang terdapat pada pasal 1 ayat
(2) yang isinya yakni:
Jasa
pornografi adalah segala jenis layanan
pornografi yang disediakan oleh
orang perse orangan atau
korporasi mela- lui pertunjukan
langsung, tele- visi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan
komunikasi elektronik lainnya serta
surat kabar, majalah, dan barang cetakan
lainnya.
jelasan dari apa sebenarnya yang
di
maksud dengan
kata
pornografi, di
10 Undang-Undang RI No.44 Tahun 2008
Tentang Pornografi pasal 1 ayat (1)
Dari semua yang
disebutkan dalam pasal 1 ayat (1)
undang-undang
pornografi, hanya
membatasi itu pada hal-hal yang
membuat kecabulan
atau eksploitasi seksual. Mengenai per masalah prostitusi undang-undang
ini menyebutkannya
dengan kata jasa
pornografi yang terdapat pada pasal 1 ayat
(2) yang isinya yakni:
Jasa
pornografi adalah segala
jenis layanan pornografi yang
disediakan oleh orang perse orangan atau
korporasi mela- lui pertunjukan
langsung, tele- visi kabel, televisi
teresterial, radio,
telepon, internet,
dan komunikasi elektronik
lainnya
serta surat kabar,
majalah, dan barang cetakan
lainnya.
Praktek prostitusi yang diatur
dalam undang-undang ini diperjelas pada pasal 4 ayat (2) huruf d yang
isi pasal tersebut mengenai larangan serta pembatasan. Isi pasal 4 ayat (2) huruf
d yakni:
Setiap orang dilarang menye
diakan jasa pornografi yang
menawarkan atau mengik
lankan, baik langsung
maupun
tidak
langsung layanan
seksual.
Melihat
kembali pasal
1 ayat
(2) dan menghubungkannya dengan pasal 4 ayat (2)
huruf d, maka praktek prostitusi online
dapat
dipidanakan.
Karena telah
mememuhi unsur-unsur
pidana dalam pasal tersebut. Seperti
unsur kecabulan dan eksploitasi
seksual pada pasal 1 ayat
(2) dan
unsur yang menawarkan jasa layanan
seksual. Selain itu media
internetpun sudah diatur yang menjadi media
perantara kegiatan-kegiatan yang berujung
pada pornografi seperti
prostitusi online ini.
Mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam praktek prostitusi
online, seperti mucikari, pemilik website atau forum, pekerja seks komersial dan pemilik
server.
Undang-undang pornografi lebih jelas dan tegas dalam menyebutkan
pihak- pihak tersebut. Pada
pasal 7 undang- undang pornografi yang isinya yakni:
Setiap orang dilarang men
danai atau memfasilitasi per
buatan sebagaimana dimak
sud dalam Pasal 4.
Pada
pasal 7 undang-undang pornografi tersebut menyebutkan
: “Setiap orang
dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4” sehingga yang
dimaksud disini yaitu pihak yang
mendanai atau memfasilitasi sehigga terjadi
perbuatan yang
diatur
pada pasal 4 undang-undang prostitusi yang
terdiri dari dua ayat. Karena yang menjadi bahasan disini adalah mengenai prostitusi online, maka
yang dikenakan bagi pihak pendukung
atau memfasilitasi prostitusi online ini adalah pasal 4 ayat (2)
huruf d karena memenuhi unsur adanya pihak yang memfasilitasi praktek prostitusi online yang menawarkan
jasa
layanan
seksual. Pemilik website pun dapat dipidana karena
menawarkan pekerja
seks
komersial pada websitenya, selain pula menjadi mucikarinya, dengan memfasilitasi pekerja seks
komersial dengan orang yang
ingin
mendapatkan layanan seksual, seper
tinya sudah cukup untuk menjerat
pemilik website
dengan undang- undang
porografi
ini khususnya pada pasal 4
dan pasal 7.
Begitu
juga mereka pemilik server, tempat bagi pemilik website menempatkan data-
data berisikan konten-konten yang intinya menawarkan jasa pekerja seks komersial. Karena kata
“memfa silitasi”
pada pasal 7 undang-undang
pornografi sangat berarti luas, bisa berarti memfasilitasi secara langsung
maupun tidak langsung. Pemilik server disini menjadi pihak yang tidak
secara langsung
menjadi pihak yang
memfasilitasi sehingga
terjadi praktek
prostitusi online. Karena
mereka
membiarkan pemilik website prostitusi menempatkan data-datanya.
Undang-undang
ITE dan undang -undang porografi yang
telah
disahkan di era
modern pun masih terdapat celah
didalamnya. Hal itu
dikarenakan pembuat kebijakan sepertinya tidak duduk bersama para
ahli yang benar-benar
mengerti tentang
pembahasan undang-undang tersebut.
Walaupun demikian,
kita tetap diboleh mengenyampingkan
KUHP dalam menangani masalah
ini. KUHP dapat digunakan
sebagai pendamping dalam Jaksa atau
hakim
dalam mempertimbangkan
hukuman yang akan diberikan kepada para pelakunya.
D. PENUTUP
Setelah penyusun mendes
kripsikan dan menganalisa unsur-
unsur kejahatan
prostitusi online,
sanksi dan kriterianya dalam
pemba hasan penelitian ini, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
prostitusi online dapat terjadi karena
adanya akses yang
sangat mudah dan
juga
begitu bebas,
Adanya
website
atau forum yang
secara khusus berkecimpung di dunia
prostitusi online
semakin menegaskan bahwa praktek
haram ini sudah
sangat
terorganisir.
Mereka
biasanya mengun jungi forum atau website tersebut, didalamnya sudah ruang
khusus yang membahas mengenai kegiatan ini,
kita tinggal memilih gadis-gadis didalam nya dipaparkan dengan jelas seperti
apa gadis-gadis psk ini dari mulai tarif sampai
bentuk tubuh. Setelah setuju tinggal
menghubungi mucikarinya
melalui telepon dan praktek prostitusi melalui media online
ini pun terjadi. Faktor- faktor
penyebab
terjadinya praktek
prostitusi melalui
media
online ini pada dasarnya sama dengan
bagaimana
praktek prostitusi biasa
terjadi, faktor utaman biasanya adalah ekonomi, namun dalam
praktek pros titusi melalui media
online ini, faktor pendukung yang
menjadi kunci utama
sehingga kegiatan
haram ini bisa
terjadi, adanya internet yang
memu dahkan sehinggak praktek
ini bisa terjadi.
Hukum positif menanggapi per masalah prostitusi melalui
media
online ini cukup memuaskan bagi masyarakat, walaupun
masih ada celah didalamnya.
Menggunakan
tiga
undang-undang yaitu Undang-Undang RI
No.11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang RI No.44 Tahun
2009 Tentang Pornografi dan KUHP sudah
cukup untuk menjerat para
pelakunya, namun ada celah di dalamnya seperti
jika
server dan pemilik website atau
forum prostitusi bukan warga
negara Indonesia, maka
dia dapat begitu saja lolos dari jeratan hukum
Indonesia.
Sanksi bagi pelaku prostitusi online yang
diatur pada UU ITE dan
UU Pornografi menurut penulis masih kurang berat, sebab denda maksimal Rp. 1 miliar
masih relatif
kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang
dapat diperoleh dalam mengelola
jaringan prostitusi online
ini.
Sedang kan pidana
penjara maksimal 6 tahun
juga
masih dianggap ringan jika me-
ngingat
prostitusi ini lebih berbahaya
daripada bentuk-bentuk pornografi lainnya, sehingga kurang efektif untuk membuat pelaku jera ataupun
menakut-nakuti orang lain melakukan kejahatan serupa.
Adapun hal yang
disarankan adalah
Sanksi untuk prostitusi online
yang telah
diatur dalam UU Informasi
dan Transaksi Elektronik dan
UU Pornografi tersebut, sebaiknya
mencantumkan batas hukuman
secara lebih
tegas, yakni dengan ditentukan batas minimum penjara atau
denda. Sebab pada
pasal-pasal tentang ketentuan pidana hanya mencan
tumkan kalimat hukuman
“maksimal” atau “paling lama” untuk pidana
penjara, dan “paling
banyak” untuk
hukuman denda. Hal ini bertolak
belakang dari
Prostitusi
sebagai
bentuk kejahatan
yang dipandang
lebih berbahaya,
meresahkan masya-
rakat
dan
dampak negatifnya yang
lebih luas daripada jenis pornografi lainnya, serta untuk menghindari ter
jadinya
adanya pemberian sanksi pidana yang relatif rendah.
Perlu dilakukan
perjanjian-
perjanjian ekstradisi dengan
negara-
negara lain, mengingat kejahatan
ini bersifat transborder atau lintas wila- yah, karena
pada
pembahasan sebelum
nya
dikatakan pemilik server bisa saja
buka orang berkewarganegaraan
Indonesia. Dengan kata lain diper
lukan
kerjasama dengan negara tempat pemilik server yang membiarkan dan memfasilitasi adanya praktek
pros- titusi ini.
E. DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum
Pidana,
PT Raja
Grafindo
Persada, Jakarta
Adami Chazawi
dan Ardi
Ferdian, 2011. Tindak
Pidana Informasi
dan
Transaksi Elektronik, Bayu Media Publishing, Malang
B Simandjuntak, 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi
Sosial,
Tarsito,
Bandung
Barda Nawawi Arief, 2002. Kapita
Selekta Hukum
Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung
Barda
Nawawi Arief,
2006. Tindak
Pidana
Mayantara:Perkembangan
Kajian Cyber Crime
di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Lutfan
Muntaqo, Porno: Definisi dan Kontroversi, (Yogyakarta:
Jagad
Pustaka, 2006)
Rulli Nasrullah. 2015 Media Sosial :
Perspektif
Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi. Simbiosa Rekatama Media
Shiefti Dyah Alyusi, 2015. Media
Sosial – Interaksi, Identitas Dan
Modal Sosial. Kencana
Pernanda Media
Group.
66 JURNAL ILMIAH
HUKUM, Volume
11 Nomor 1 Periode Mei 2017 Hal 52-66
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum
Pidana, 1997. Ind-Hill-Co, Jakarta
B. Artikel Jurnal
Unicef, tanpa tahun edisi,
“Lembar
Fakta Tentang
Eksploitasi Seks
Komersil dan Perdagangan Anak,
Serial Online, (Cited 2010
Sept.
23)
C. Internet
Ari Juliano
Gema, Cyber crime: Sebuah Fenomena
di
Dunia Maya, dapat dijumpai dalam
situs internet:
http//www.theceli.com/dokumen/j urnal/ajo/a002.shtml.
D. Peraturan Perundang-Undang
Kitab Undang Undang
Hukum Pidana
Undang-Undang RI NO.11
Tahun
2008 Tentang Informasi dan
Transaksi
Elektronik
Undang-Undang RI No.44 Tahun
2008 Tentang Pornografi
No comments:
Post a Comment