Friday, October 4, 2019

PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) SERTA DAMPAKNYA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK



PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) SERTA DAMPAKNYA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RUMADI[1]

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

Abstraksi


Terpaan Globalisasi membawa dampak semakin meningkatnya perkembangan teknologi di Indonesia, semakin meningkat pula informasi yang beredar di kalangan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri informasi yang beredar itu benar ataupun salah. Informasi/ berita bohong (hoax) merupakan informasi yang di buat dengan tujuan menyebarkan ujian kebencian. Secara lazimnya dipraktikkan dengan cara menyebar fitnah dan membuat berita yang berbanding terbalik dengan realitas orang, produk, organisasi atau perusahaan yang menjadi targetnya bahkan konstelasi politik tanah air pun tak luput dari imbasnya.


Tulisan bertujuan untuk menjelaskan penyebaran berita bohong (hoax) serta dampaknya dalam prespektif peraturan perundang- undangan di Indonesia tentang hoax, dan merupakan upaya untuk memaparkan mengenai permasalah yang sedang hangat-hangatnya terjadi di Indonesia, yaitu kasus hoax yang saat ini serta dampaknya yang menjadi permasalahan baru dikalangan masyarakat.


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan maksud memberikan penjelasan tentang Hoax dalam Perspektif Peraturan Perundang- undangan No 19 Tahun 2019 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta dampaknya . Selain itu, sumber data yang digunakan adalah sumber data primer yang diperoleh dari kasus-kasus penyebaran berita hoax yang terjadi di Indonesia, dan data sekunder yang diperoleh dari literatur buku-buku, jurnal, artikel, dan kepustakaan lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.


Hasil penelitian menunjukkan Hoax menurut undang-undang adalah sesuatu yang merugikan orang lain di dunia maya maupun di dunia nyata. pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2016 adalah barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang ditujukan kepada individu, ras, suku, dan antar golongan, untuk menimbukan kebencian dan permusuhan maka akan dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah”.

Kata Kunci: Penyebaran Hoax, Undang-Undang ITE



Abstract

The impact of Globalization has had the effect of increasing technological developments in Indonesia, increasing information circulating among the people. It cannot be denied that the information circulating is true or false. Hoax information is information created with the aim of spreading hatred tests. Commonly practiced by spreading slander and making news that is inversely proportional to the reality of people, products, organizations or companies that are targeted, even the political constellation of the homeland was not spared from its effects.
The aim of this paper is to explain the spread of hoaxes and their impact on the perspective of Indonesian laws and regulations on hoaxes, and is an attempt to explain the problems that are currently happening in Indonesia, namely the current case of hoaxes and their impact which is a problem only among the people.
The method used in this study is a normative juridical method, which is an approach by looking at existing legal provisions with the intention of providing an explanation of the Hoax in Perspectives of Law No. 19 of 2019 concerning Information and Electronic Transactions and their impacts. In addition, the data source used is the primary data source obtained from cases of hoax news dissemination that occurred in Indonesia, and secondary data obtained from the literature of books, journals, articles, and other literature that are used as references and complementary sources of research.
The results showed Hoax according to the law is something that harms others in cyberspace and in the real world. Article 28 Paragraph 2 of Law No. 19 Year 2016 is anyone who intentionally and without the right to spread false news addressed to individuals, races, tribes, and between groups, to incite hatred and hostility will be subject to imprisonment no later than 6 (six) years and / or a maximum fine of one billion rupiah".
Keywords: Hoax deployment, ITE Law






A. PENDAHULUAN

Dampak Globalisasi dan dan teknologi yang sangat maju pesat menyebabkan banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat merusak keimanan. Ini terjadi disebabkan oleh etika manusia yang merusak lingkungan, jaringan, dan akhlak. Misalnya, terjadi perampokan dimana- mana, pembunuhan, kenakalan remaja, bahkan menyebarluaskan informasi yang tidak benar. Adanya pertumbuhan media masa khususnya surat kabar harian dan majalah-majalah, maka tindak pidana menista dengan surat, semakin memungkinkan. Dalam hal ini, para redaksi surat kabar harian, mingguan atau majalah sebaiknya lebih cermat sehingga dapat dicegah, keterlibatannya dalam tindak pidana secara tertulis.


Perkembangan teknologi informasi juga mendorong kita terus mengikuti trens masa kita, seperti media sosial mendorong masyarakat berbagi informasi dan pertukaran data. Penyebaran informasi melalui media sosial ini sering sekali dijadikan alat untuk menyebar kebencian, buli orang, memfitnah orang, dan menyebarkan berita hoax.[2]


Sebenarnya dengan perkembangan teknologi maju seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia, teknologi informasi memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi negara-negara di dunia. Setidaknya ada dua hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, sarana untuk membangun jaringan internet dan sebagainya. Kedua, adalah memudahkan transaksi bisnis terutama bisnis keuangan disamping bisnis-bisnis lainnya.[3]


Namun fenomena menunjukkan masalah-masalah etika yang dihadapi sekarang ini, berasal dari ilmu dan teknologi modern. Perkembangan ilmu dan teknologi itu mengubah banyak perilaku manusia, antara lain juga menyajikan maslah- masalah etika terapan yang tidak pernah terduga sebelumnya, contohnya, kasus berita hoax yang sudah ti dak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia, yang melibatkan banyak perpecahan yang terjadi dimana-mana.


Kata Hoax berasal dari “hocus pocus” yang aslinya adalah bahasa latin “hoc est corpus”, artinya “ini adalah tubuh”. Kata ini biasa digunakan penyihir untuk mengklaim bahwa sesuatu adalah benar, padahal belum tentu benar. Hoax juga banyak beredar di email, milis, BBM, dan lain-lain. Hoax juga merupakan sebuah pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita mengetahui bahwa bertita yang disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali.


Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut diatur tentang penyebaran berita bohong (hoax) bagi yang melanggardapat dikenakan sanksi berikut : Pasal 45 A ayat (1) yaitu muatan berita bohong dan menyesatkan, Pasal 45 A ayat (2) yaitu muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).[4]


Kasus hoax yang terjadi sekarang yaitu menimpa seorang penulis, narablog, dan pengusaha yang dikenal karena usaha self publishing yaitu Jonru Ginting. Jonru terbukti melanggar Pasal 28 ayat 2 Juncto Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.


Bahkan yang terbaru dalam kaitan dengan konstelasi politik Ratna Sarumpaet mengaku kepada Ketua Tim Badan Pemenangan Nasional Prabowo-sandi,Nanik S Deyang bahwa ia dipukuli oleh sejumlah orang di sekitar Bandara Husein Sastranegara pada 21 september 2018. Namun pemukulan yang dialaminya hanyalah karangan belaka. Kemudian dalam jumpa pers Ratna Sarumpaet mengakui bahwa dirinya tidak dipukuli dan muka lebamnya karena telah menjalani sedot lemak di bagian pipi. Ratna dijerat dengan 2 pasal, pertama, Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana karena diduga dengan sengaja menimbulkan keonaran. Kedua, Pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik.


Dalam kasus Jonru Jaksa juga menyebut serangkaian informasi yang disebut menimbulkan kebencian itu diunggah Jonru dalam akun Facebook miliknya. Menurut jaksa juga, hal-hal yang memberatkan ialah terdakwa tidak merasa bersalah dan menyesali perbuatannya serta perkara ini menarik perhatian masyarakat. Sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan belum pernah dihukum.


Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam undang-undang ITE ini, yang menjadi sorotan penulis adalah “Hoax dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan”. Sehingga pembahasan lebih lanjut mengenai bagaimana pandangan undang-undang ini diatur pada Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Dampak yang ditimbulkan akibat kasus tersebut.


Berdasar uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) SERTA DAMPAKNYA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK






1. Berita Bohong (Hoax)


Kata Hoax berasal dari bahasa Inggris yang artinya tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu, dan kabar burung. Jadi, Hoax dapat diartikan sebagai ketidakbenaran suatu informasi. Menurut Wikipedia, Hoax merupakan sebuah pemberitaan palsu yakni sebuah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca dan pendengar agar mempercayai sesuatu.[5]


Penyebaran berita bohong atau hoax ini dapat berakibat buruk bagi perkembangan negara Indonesia. Hoax dapat menyebabkan perdebatan hingga bukan tidak mungkin sampai memutuskan pertemanan. Apalagi hoax tersebut yang mengandung SARA yang sangat rentan mengundang gesekan antar masyarakat mengganggu stabilitas negara dan kebinekaan. Hoax dalam konteks pemberitaan yang tidak jelas asal-usul pembuatnya, memang tidak bisa dijerat oleh Undang-Undang Pers, karena itu agak sulit membedakan mana Pers yang Mainstream mana yang Pers Hoax. Jika pada zaman orde baru agak mudah, karena pers mainstream adalah pers yang berizin, sedangkan pada saat ini pers tanpa izin, karena di Indonesia kewajiban mempunyai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) telah dihapuskan)[6]


Karakteristik informasi Hoax yang dikemukakan Harley seorang penulis dan konsultan yang ditinggal di Inggris, yang dikenal karena buku-bukunya dan penelitian tentang malware, keamanan Mac, penguji produk anti-malware, dan manajemen penyalahgunaan email, yaitu memuat kalimat yang mengajak untuk menyebarkan informasi seluas-luasnya, tidak mencantumkan tanggal dan deadline, tidak mencantumkan sumber yang valid dan memakai nama dua perusahaan besar. Meskipun dalam informasi yang memuat tanggal pembuatan/penyebaran dan tanggal kadaluarsa informasi juga terkadang tidak dapat membuktikan bahwa informasi tersebut bukan Hoax , keempat ciri-ciri ini setidaknya dapat membantu kita dalam memfokuskan lokus pemikiran kita ketika berhadapan dengan sebuah informasi. Sehingga idealnya kita harus bersikap skeptis terhadap setiap informasi yang ditemui sekalipun terlihat benar, lengkap, dan sangat meyakinkan.


Perkembangan teknologi informasi termasuk internet didalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia juga di tuntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya.[7]


Peredaran berita hoax di media sosial semakin marak. Kita sebagai warganet, tentu harus cerdas memilah mana informasi yang asli, serta informasi mana yang dikategorikan berita bohong. Pasalnya, jika berita bohong dibiarkan mewabah‘, keberadaannya jelas mengancam masyarakat karena menebar informasi yang tidak benar. Mirisnya lagi, kita belum punya cara pasti untuk bisa membedakan jenis informasi mana yang akurat dan yang hoax.[8]


a. Elemen Berita Hoax : Pastikan berita yang kamu baca tidak memiliki kalimat-kalimat yang janggal, seolah persuasive dan memaksa seperti: ―Sebarkanlah!, ―Viralkanlah!, dan sejenisnya. Artikel penuh huruf besar dan tanda seru pun disinyalir mengandung infromasi hoax. Biasanya juga merujuk pada kejadian yang tidak ada tanggal dan harinya, dan tak jarang juga mengklaim sumbernya berasal dari sumber yang tidak terpercaya.


b. Verifikasi Sumber: Pastikan kamu verifikasi sumber dan konten berita dengan mencarinya di Google. Cari tema berita secara spesifik dengan kata hoax dibelakangnya. Biasanya, kalau memang benar itu hoax, akan muncul artikel pembahasan terkait.


c. Cek Gambar dan Cek dengan Aplikasi: Kamu dapat memastikan sumber dari foto yang diunggah diartikel berita terkait. Jadi, kamu bisa mengecek kembali apakah foto tersebut asli atau tidak. Caranya cukup mudah, kamu hanya perlu memanfaatkan tool milik google, yaitu Google Images. Dari sini kamu bisa mengetahui siapa yang menyebarkan gambar tersebut pertama kali. Cari tahu apakah situs web yang menyebarkan gambar itu kredibel atau tidak.


d. Cek dengan Aplikasi: kamu pun bisa mengecek artikel hoax dengan aplikasi khusus bernama Hoax Analyzer.


2. Penyebaran Informasi


a. Fungsi Informasi yang Benar


Peranan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi telah menempatkan pada posisi yang amat strategis karena menghadirkan suatu dunia tanpa batas, jarak, ruang, dan waktu, yang berdampak pada peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pengaruh globalisasi dengan penggunaan sarana teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola hidup masyarakat, dan berkembang dalam tatanan kehidupan baru dan mendorong terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum.[9]


Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah wujud dari tanggung jawab yang harus diemban oleh Negara, untuk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dalam negeri agar terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Dalam konsideran UU Nomor 11 tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, dinyatakan bahwa pembangunan nasional yang telaah dilaksanakan pemerintah Indonesia dimulai pada era orde baru hingga orde saat ini, merupakan proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat itu, akibat pengaruh globalisasi informasi, telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.[10]


Di samping itu, pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasioanl untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan hal itulah, pemerintah perlu mendukung perkembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya, sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman, untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.


b. Penyebaran Informasi yang Salah


Ketentuan hukum mengenai media massa dapat dilhat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer). KUHP mengatur soal penghinaan, fitnah, dan pencemaran nama baik; penghinaan sesame rakyat, pemerintah dan kepala negara; penghinaan terhadap agama; pembocoran rahasia negara/ jabatan dan pornografi. Sedang KUHPer mengatur soal ganti rugi dan pernyataan permintaan maaf.[11]


Sedang dalam KUHP masalah penghinaan diatur dalam pasal 310-321. Pasal 310 menyatakan:


1) Barang siapa menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan menuduh suatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


2) Barang siapa yang mengunggahnya berupa tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Ukuran dilihat dari segi obyektif berdasarkan pandangan umum atau masyarakat. apakah suatu perbuatan dianggap telah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau tidak.


c. Tindak Pidana Penyebaran Informasi yang Salah


Diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekrtonik ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elekrtonik.21Diundangkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekrtonik ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, tidak ingin ketinggalan dalam kancah perkembangan teknologi informasi, khususnya dalam rangka mencegah penyalahgunaan pemanfaatan teknologi informasi.


Pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui Infrastruktur Hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaanya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Saat ini sudah banyak yang mendapatkan pidana terkait dengan penyebaran informasi yang salah (hoax).


Ciri-ciri tindak pidana di bidang ITE antara lain yaitu :


a. Dilakukan dilakukan oleh orang pintar


b. Menggunakan teknik yang canggih dan rumit untuk dapat dibuktikan jika hanya dengan pasal-pasal pidana konvensional (KUHP)


c. Berdimensi yang lebih luas daripada tindak pidana biasa


d. Merupakan ciri khas masyarakat ―abad millenniumsekarang ini yaitu : ditandai dengan era ― Cyber (dunia maya/dunia mayantara/siber) masyarakat informasi tidak ada batasan territorial (Borderless), artinya yang ada adalah batasan ―Technology‖. Yang jauh sekarang menjadi dekat paper-based menjadi paperless informasi begitu cepat menyebar[12].





B. Metode Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative, yuridis dan penelitian pustaka atau library research, artinya penelitian yang didasarkan pengkajian terhadap peraturan perundang- undangan, literatur buku-buku, jurnal, artikel, dan kepustakaan lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.


Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statude approach), yaitu pendekatan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan maksud memberikan penjelasan tentang Hoax dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan No 19 Tahun 2019 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta dampaknya sebagai acuan untuk mendekatkan masalah yang diteliti berdasarkan aturan, norma, tindak pidana, dan kaidah yang sesuai dengan obyek kajian.


C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Hoax


Ketentuan tentang penyebaran berita bohong atau hoax yang dapat menerbitkan keonaran diatur dalam dua ketentuan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Pasal 14 Undang-Undang a quo menegaskan: ayat 1 “barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan penjara setinggi- tingginya sepuluh tahun; ayat 2 “barangsiapa mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan dia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara setinggi- tingginya tiga tahun.[13]


Nilai pembeda dari dua ketentuan diatas, yaitu pada ayat kesatu merupakan perbuatan menyebarkan berita bohong akan menimbulkan keonaran karena kesengajaan sebagai maksud atau kepastian. Artinya si pembuat pidana jelas-jelas memiliki kehendak dan pengetahuan kalau perbuatan menyebarkan berita kebohongan itu akan menimbulkan keonaran.


Sedangkan pada ayat keduanya, merupakan perbuatan sebagai kesengajaan akan kemungkinan, bahwa kepadanya patut mengetahui atau patut menduga kalau dari pada perbuatan menyebarkan berita kebohongan akan menimbulkan keonaran. Soal kekaburan makna apa yang dimaksud “keonaran” dalam pasal a quo, telah dijelaskan dalam ketentuannya lebih lanjut bahwa, keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.


Selanjutnya, penyebaran berita hoax yang dapat menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan, ketentuannya diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),”


Pasal ini pada sesungguhnya tidak memuat unsur “perbuatan kebohongan.” Hanya saja, dengan kembali pada peristiwa hukumnya, kerap kali perbuatan kesengajaan menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian, konten informasi yang disebarkan biasanya tidak mengandung kebenaran atau sifatnya sebagai berita kebohongan belaka.[14]


Dalam melawan hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal 28 ayat 1 dan 2, Pasal 27 ayat 3, Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sekarang telah diubah dengan Undang-Undang No.19 tahun 2016, Pasal 14 dan 15 UndangUndang No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoax.


Berikut beberapa penjabaran singkat terkait pasal-pasal di dalam Undang- Undang yang mengatur tentang berita palsu atau hoax:


a. KUHP


1) Pasal 311 KUHP : “jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[15]


2) Pasal 378 KUHP: “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[16]


b. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana


1) Pasal 14 ayat (1) dan (2): Ayat 1 “barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong , dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.” Ayat 2 “barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan suatu pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya adalah tiga tahun.”


2) Pasal 15 : “barang siapa menyebarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.


c. Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


1) Pasal 27 ayat (3): “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”


2) Pasal 28 ayat (1) dan (2): Ayat 1 “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektornik.” Ayat 2 “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau pemusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).


Selain pasal-pasal yang telah disebutkan diatas, penyebar berita hoax juga dapat dikenakan pasal terkait ujaran kebencian (hate speech) yang telah diatur dalam KUHP dan undang-undang lain diluar KUHP yaitu antara lain; Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, pasal 311, kemudian Pasal-pasal pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yang telah diubah dengan Undnag-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Surat Edaran (SE) Nomor SE/6/X/ 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian yang dikeluarkan kepolisian Republik Indonesia dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.


2. Analisis Hoax Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan


Berbagai kasus penyebaran hoax di Indonesia dalam perspektif hukum positif undang-undang merupakan perangkat normatif yang mempresentasikan jiwa dan nilai-nilai sosial dan hukum dalam masyarakat. Undang-undang adalah perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan kegiatan-kegiatan kenegaraan, mengatur sinergitas antar lembaga-lembaga negara, filter dalam dinamika politik, mengatur dinamika kemasyarakatan, sekaligus sebagai sistem nilai yang harus dijiwai dan diimplementasikan oleh setiap warga negara.


Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan salah satu peraturan dalam hukum positif Indonesia yang dipergunakan untuk membatasi perbuatan- perbuatan yang melanggar di media sosial terkait dengan berita palsu atau hoax.. Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi, „setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)‟[17]


Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pada faktanya masih memerlukan penjelasan terkait maksud dari rasa kebencian tersebut dan juga terkait dengan perbuatan-perbuatan yang di anggap melanggar ketentuan pasal tersebut.2 Hal tersebut berguna untuk mencegah adanya pelanggaran terkait hak kebebasan berpendapat di media sosial dan juga untuk tidak menimbulkan kesan multitafsir atau norma kabur terhadapan ketentuan pasal tersebut di masa yang akan datang. Hal tersebut berdasarkan fakta yang terjadi banyaknya perbuatan-perbuatan yang belum tentu dapat dianggap melanggar peraturan perundang-undangan. Selain itu juga perlunya batasan-batasan terkait perbuatan di media sosial. Hal ini karena setiap perbuatan di media sosial, memungkinkan untuk memberikan pengaruh bagi opini publik yang berkembang di masyarakat.


Sampai saat ini hoax belum jelas keberadaannya. Selain masih multitafsir, hoax juga menimbulkan banyak kerugian antar individu maupun golongan. Banyak orang yang belum menyadari akan hal itu, sehingga masih banyak yang menganggap bahwa hoax hanya masalah spele dan tidak ada tindak pidananya. Hoax dalam pasal 28 ayat 2 masih kurang spesifik. Seharusnya, di dalam pasal tersebut dirincikan kembali kata per-katanya sehingga lebih mumudahkan pembaca untuk memehaminya. Seperti, bentuk hoax, macam-macam hoax, dan tindak pidana hoax.


Pada pelaksanaan penggunaan pasal tersebut di lingkungan peradilan, para penegak hukum terkhusus hakim, harus menggunakan penafsiran hukum untuk memberikan pemahaman bahwa suatu perbuatan telah melanggar pasal tersebut. Penafsiran itu sendiri, menurut Profesor Mr. D. Simons, syarat pokok untuk melakukan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan tersebut itu harus ditafsirkan berdasarkan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam menguraikan penafsiran tersebut, tidak boleh mencari bahan-bahan di luar peraturan tersebut. Pada faktanya, meskipun suatu peraturan perundang- undangan itu telah dibentuk dengan mempergunakan kata-kata dan istilah yang tegas, akan tetapi masih ada kemungkinan untuk memberikan penafsiran, bahkan dapat menimbulkan keraguan.


Peraturan merupakan suatu patokan yang dibuat untuk membatasi seseorang dalam suatu lingkup/ organisasi tertentu. Jika melanggar akan dikenakan hukuman/sanksi. Begitupun dengan undang-undang, merupakan suatu pedoman bagi penegak hukum untuk memutuskan suatu permasalahan. Didalam suatu undang-undang harus mempunyai arti yang jelas dan penafsirannyapun tidak keluar dari kontens yang ada didalamnya. Selain itu, perlu juga dijabarkan secara spesifik agar memudahkan pembaca dalam memahaminya sehingga tidak menimbulkan keraguan ketika ada suatu kasus terkait dengan isi undang-undang tersebut.


Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, pada masa sekarang telah dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Namun yang terkait dengan penggunaannya, menimbulkan permasalahan tersendiri di masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya perbuatan yang mengandung unsur hoax dan juga kebencian di media sosial namun tidak bisa ditindak lanjuti. Selain itu, banyaknya perbuatan yang sebenarnya tidak melanggar ketentuan pasal tersebut, dianggap telah melanggar pasal tersebut. Hal ini menyebabkan banyaknya pihak-pihak yang melakukan aksi saling lapor ke pihak kepolisian terkait perbuatan- perbuatan tersebut yang menyebabkan pihak kepolisian sendiri kesusahan.


Ketentuan pasal yang terkait dengan hal tersebut, masih banyak yang perlu ditinjau kembali. Melihat kondisi yang saat ini terjadi di sekitar kita, banyak sekali yang masih menyalah artikan bahkan ada yang belum mengetahui maksud dari pasal tersebut. Usulan-usulan terkait hal tersebut yaitu, perlunya dibuat bab khusus untuk perbuatan-perbuatan yang mengandung pelanggaran unsur SARA di media sosial. Kedepannya akan lebih baik dalam pembaharuan di masa yang akan datang menggunakan Surat Edaran Kepolisian terkait rasa kebencian. Dalam surat edaran tersebut, diberikan pemahaman terkait bentuk-bentuk ujaran kebencian yang berasal dari KUHP dan juga aturan-aturan lainnya di luar KUHP. Adapun bentuk-bentuknya yaitu, a) Penghinaan, b) Pencemaran nama baik, c) Penistaan, d) Perbuatan tidak menyenangkan, e) Memprovokasi, f) Menghasut, g) Menyebarkan berita bohong. Semua perbuatan tersebut berkemungkinan menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan juga konflik sosial. Ada juga dalam surat edaran tersebut media yang dapat dimungkinkan dipergunakan untuk melakukan ujaran kebencian yaitu, 1) Dalam orasi kegiatan kampanya, 2) Spanduk atau banner, 3) Jejaring media sosial, 4) Penyampaian pendapat di media sosial, 5) Ceramah keagamaan, 6) Media massa atau cetak atau elektronik, 7) Pamflet.[18]


Saat ini di Indonesia sedang marak terjadi peristiwa penyebaran berita palsu atau yang disebut Hoax. Peristiwa penyebaran berita hoax ini sangat meresahkan masyarakat di Indonesia, karena banyak pihak yang merasa dirugikan atas peristiwa tersebut. Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi apa pun dari berbagai aplikasi media sosial diantaranya Instagram, LINE, dan Whatsapp tetapi semakin mudah pula pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan berita hoax. Sebagai bagian dari inovasi teknologi informasi, media sosial memberikan ruang bagi seseorang untuk mengemukakan pendapat serta menyuarakan pikirannya yang sebelumnya mungkin tidak pernah bisa diungkapkan karena keterbatasan wadah untuk berpendapat. Media sosial juga menjadi ruang ekspresi baru bagi masyarakat dunia dalam beberapa tahun terakhir ini.


Langkah pemerintah yang harus dilakukan adalah dengan cara mengedukasi masyarakat untuk lebih memahami kehidupan di dunia maya sama halnya dengan kehidupan di dunia nyata. Selain itu, pemerintah harus tegas dalam memblokir akun-akun yang tidak mengedukasi warganet. Begitupun dengan warganet, harus lebih cerdas dalam memilah dan memilih berita. Tidak semua berita yang berdar itu positif, tapi tidak sedikit juga yang negatif.


Media sosial merupakan wadah yang sangat rentan dan sering digunakan sebagai tempat untuk menyebarkan berita hoax. Banyaknya pengguna aktif bahkan dapat dikatakan sebagai penggila media sosial di Indonesia ini sangat memudahkan pihak penyebar hoax dalam menjalankan aksinya.


Dari hasil survey tentang wabah hoax nasional yang dilakukan oleh Mastel (2017) bahwa channel atau saluran penyebaran berita atau informasi yang berisi konten hoax tertinggi adalah dari media social berupa facebook pada urutan tertinggi sebesar 92,40%, aplikasi chatting 62,80%, dan situs web 34,90%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ruri Rosmalinda (2017) tentang “fenomena Penyesatan Berita Di Media Sosial” menyatakan bahwa pengaruh perkembangan teknologi bisa menjadi ancaman global termasuk terhadap Indonesia, khususnya terkait dengan penyebaran berita bohong (hoax).[19]


Dunia internet memang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat indonesia dari sabang sampai merauke. Bahkan pengguna internet hampir semua kalangan menggunakannya. Tidak heran jika banyak media yang beredar dengan kapasitas pengguna yang maksimal. Di Indonesia saat ini masih banyak yang belum mengetahui terkait dengan pasal 28 ayat 2 tentang informasi yang transaksi elektronik. Di dalam pasal tersebut menunjukan bahwa „setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dilihat dari pasal tersebut, masih belum mendapat penjelasan terkait dengan isi dalam pasal tersebut, diharapkan penegak hukum dapat menjelaskan arti yang terkandung di dalamnya dengan tegas dan jelas.


Begitupun tidak sedikit orang yang menyebarkan informasi hoax di dunia internet, baik facebook, instagram, line, maupun whatsapp. Sehingga banyak kasus yang terjadi terkait dengan ujaran kebencian yang di unggah oleh banyak kalangan. Diharapkan pemerintah dengan tegas mampu mengakan pasal tersebut dan juga dapat memblokir akun-akun yang dianggap dapat menyebabkan perpecahan antar individu maupun golongan.


3. Dampak Buruk Penyebaran Berita Bohong (Hoax)


Suatu berita atau pernyataan yang memiliki informasi tidak valid atau berita palsu yang tidak memiliki kepastian yang sengaja disebarluaskan untuk membuat keadaan menjadi lebih heboh dan menimbulkan ketakutan disebut dengan Hoax. Hoax itu sendiri menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat apalagi yang berhubungan dengan politik. Dampak yang dapat ditimbulkan yaitu :


a. Hoax Sebagai Pembuang-buang Waktu


Seperti yang dikutip dari cmsconnect.com, menyatakan bahwa dengan melihat hoax di sosial media mengakibatkan kerugian bagi individu maupun kelompok. Misalnya saja saat berada di tempat kerja satu orang yang sudah mengetahui kabar berita yang belum tentu kebenarannya (Hoax) menyebarkan pada teman kerjanya kemudian mereka berbicara mengenai kabar berita tersebut padahal di waktu itu seharusnya mereka bekerja bukannya malah membicarakan berita yang belum jelas kebenarannya. Disitu bisa dilihat kerugiaan apa saja yang ditimbulkan oleh kabar hoax tersebut. Kerugiaan yang ditimbulkan yaitu mereka kehilangan waktu yang seharusnya digunakan untuk bekerja malah digunakan untuk membicarakan hal yang tidak penting dan itu juga mempengaruhi hasil produktivitas. Dengan penurunan produktivitas maka yang dihasilkan semakin berkurang sedikit demi sedikit atau bahkan dengan jumlah yang besar.


b. Hoax Sebagai Pengalihan Isu


Di media sosial ataupun internet dimanfaatkan sebagai pelancar aksi kejahatan mereka. Apalagi saat musim pemilihan gubernur,presiden,bupati pasti akan sangat banyak isu-isu yang beredar dari isu yang benar sampai isu yang tidak benar karna hanya ingin menjatuhkan kandidat lain, kemudian isu tersebut bercampur aduk. Sebagai contohnya isu yang menerpa presiden kita Joko Widodo, hoax yang menerpa Joko Widodo tidak hanya sekali tetapi sudah berkali-kali bahkan sering. Namun beliau menanggapi isu tersebut dengan santai tanpa amarah sedikitpun. Seperti yang dikutip dihalaman detik news presiden Joko Widodo mengatakan “saya udah 4 tahun urusan begitu.saya biasa-biasa saja,tapi apakah itu pendidikan yang baik? Mencela dan memfitnah. Sejak 2014,presiden Joko Widodo PKI, coba. PKI itu dibubarkan tahun 65, 66 saya lahir tahun 61. Masa umur baru 4 sudah aktifis PK masa ada PKI balita,”ujarnya.”


c. Penipuan Publik


Biasanya penipuan ini bertujuan untuk menarik simpati masyarakat yang percaya dengan Hoax tersebut. Misalnya, kasus yang terjadi beberapa waktu lalu yaitu sebuah pesan yang beredar lewat aplikasi chat whatsapp berisi pesan pembukaan pendaftaran CPNS nasional. Setelah berita Hoax tersebut Viral tersebar, akhirnya pemerintah memberikan klarifikasi bahwa pemerintah tidak membuka pendaftaran CPNS pada waktu itu.


d. Pemicu Kepanikan Publik


Hoax yang satu ini memuat berita yang merangsang kepanikan khalayak publik. Salah satu contohnya adalah hoax tentang kecelakaan hilangnya pesawat Garuda Indonesia dengan tujuan Jakarta-Palu. Hingga pada akhirnya media online maupun media massa harus mengklarifikasi berita tersebut agar masyarakat tidak panik maupun percaya dengan hoax tersebut.


D. Penutup


Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Hoax menurut undang-undang adalah sesuatu yang merugikan orang lain di dunia maya maupun di dunia nyata. Sesuai dalam undang- undang informasi dan transaksi elektronik pasal 28 ayat 2 Undang- Undang No.19 Tahun 2016 yang dimana isinya adalah barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang ditujukan kepada individu, ras, suku, dan antar golongan, untuk menimbukan kebencian dan permusuhan maka akan dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah”.


Sedangkan dampak yang dapat ditimbulkan yaitu Penyebaran berita bohong Hoax Sebagai Pembuang-buang Waktu, Sebagai Pengalihan Isu, Penipuan Publik dan Pemicu Kepanikan Publik.


Adapun rekomendasi yang dapat diberikan terkait masalah ini Penegak hukum harus lebih memperhatikan kembali isi pada pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Seperti, bentuk hoax, macam-macam hoax, dan tindak pidana hoax agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan keraguan. Serta Masyarakat pada umumnya harus lebih teliti dalam memilah dan memilih berita yang belum jelas kebenaraannya. Jangan mudah terprovokasi dengan informasi yang beredar baik di dunia maya dan dunia nyata.






E. PUSTAKA


Abdullah, Yatimin, Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006.






Aisyah, Nur, Siddiq, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Berita Palsu (Hoax) Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Yang Telah Dirubah Menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Lex Et Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017.






Chazawi, Adami, Tindak Pidana Pers. Bandung:Mandar Maju, 2015.






Chazawi, Adami dan Ferdian, Ardi, Tindak pidana informasi dan transaksi elektronik. Malang: Media Nusa Creative, 2015.






Chazawi, Adami dan ferdian ardi, Tindak pidana pemalsuan. Jakarta : PT Rajagrafindo persada, 2016.






Dwi, Errika, Setya Watie, ”Komunikasi dan Media Sosial (Communications and Social Media)”, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang. THE MESSENGER, Volume III, Nomor 1, Edisi Juli 2011.






Hidayat Taufik, “Hukum Regulasi Media Sosial Terhadap Pengaruh Sosial Berita Hoax”. Ilmu Widya, vol.1 (2016).






https://www.cnnindonesia.com/ jonru-ginting jalani-sidang-perdana-kasus-ujaran kebencian






https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/view/id/555/t/undangundang+nomor+19+tahun+2016+tanggal+25+november+2016






Kemenkumham. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016.






Lamintang, P.A.F dan C. Samosir, Djisman, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: TARSITO Bandung,2011.






Merpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Kehomatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997.






Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2006






Novita, Clara, Literasi Media Baru Dan Penyebaran Informasi Hoax studi Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam Penyebaran Informasi Hoax Periode Januari-maret 2015, Tesis Universitas Gadjah Mada, 2016.






Purwoleksono, Didik, Endro, Seminar Peran Aktif Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo, 2007.






Putu Laxman, Makna Informasi: Lanjutan dari Sebuah Perdebatan,” dalam Kepustakawanan Indonesia: Potensi dan Tantangannya, eds. Antonius Bangun dkk. Jakarta: Kesaint-Blanc, 1992.






Rahmi, Rivalina, “Pola Pencarian Informasi di Internet”. Jurnal Teknologi Pendidikan (14), VII, (2004).






Sidik, S, “Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Terhadap Perubahan Hukum dan Sosial Dalam Masyarakat”. jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/99/88,vol.1 (2013).






Suhariyanto, Budi, Tindak Pidana Informasi (cyber crime). Depok: Raja Grafindo Persada, 2013.






Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2009.




























[1] Alamat Korespondensi: Abahrumadi@gmail.com






[2] Rahmat Djatnika, AS. Pengantar Studi Akhlak , (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), Hal 26


[3] Agus Rahardjo. Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h.1


[4] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


[5] Adami Chazawi dan ferdian ardi, ―Tindak pidana pemalsuan‖, (Jakarta : PT Rajagrafindo persada, 2016), h. 236.






[6] Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenala1n1Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h.73.


[7] Merry Magdalena dan Maswigrantoron Roes Setyadi. “Cyber Law Tidak Perlu Takut”, (Yogyakarta: Andi, 2007), h.59


[8] http://www.liputan6.com > read > Asli atau Hoax? Cek Keaslian Berita dengan 4 Cara ini.


[9] Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik. (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2009), h.39.


[10] Ibid hal 16


[11] Adami Chazawi dkk, Tindak Pidana Pers. (Bandung:Mandar Maju, 2015), h. 43


[12] Didik Endro Purwoleksono, Seminar Peran Aktif Masyarakat. hal.1


[13] Nur Aisyah Siddiq, "Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Berita Palsu (Hoax) Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Yang Telah Dirubah Menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik" Lex Et Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017, h.27


[14] Nur Aisyah Siddiq, Penegakan Hukum Pidana. h. 28


[15] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.42


[16] PAF Lamintang, Delik-delik Khusus, h. 13


[17] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


[18] P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, h. 4.


[19] ravii.staff.gunadarma.ac.id > files > Analisis Penyebaran Hoax di Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...