Monday, October 13, 2014

MEREDAM KONFLIK TNI-POLRI

PERKUAT KESATUAN BANGSA DENGAN
MEREDAM KONFLIK TNI-POLRI


Beberapa waktu belakangan sorotan publik tidak dapat dipungkiri terfokus kepada kerentanan hubungan antara institusi TNI-Polri, khususnya pasca terjadinya konflik (pertikaian) di beberapa daerah yang melibatkan prajurit di kedua institusi tersebut, sebagaimana banyak diberitakan oleh berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Sangat memprihatinkan, konflik yang terjadi akhirnya berujung pada terjadinya bentrokan fisik disertai unjuk kekuatan senjata lengkap dari masing-masing pihak, tampaknya konflik sudah tidak dapat ditolerir, terlebih akibat kejadian tersebut jatuh korban jiwa dan rusaknya berbagai fasilitas milik publik maupun orang perorangan. Kasus-kasus bentrokan yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri adalah gambaran dari fenomena gunung es, yang mana dipermukaan intensitasnya terlihat sangat kecil tetapi dibawahnya tersimpan banyak potensi bentrokan yang sewaktu-waktu dapat meledak, tanpa mampu siapapun menghentikannya.
Biaya hidup yang kian tinggi kerap membuat jajaran bawah, baik TNI maupun Polri terlibat aksi "backing-backingan" maupun "jasa pengamanan". Di antaranya menjadi backing di tempat hiburan malam, kawasan pertokoan, lokasi industri, sampai pada kegiatan ilegal, seperti penimbunan BBM ilegal atau melindungi bandar narkoba, hal inilah pemicu utama dalam persaingan "jasa pengamanan" ini kerap muncul semangat korps atau semangat korsa yang berlebihan. "Masing-masing oknum terkadang lebih mengedepankan arogansi dan superioritas, terutama jika satu sama lain merasa terganggu kepentingannya ada beberapa kasus terakhir yang menyebabkan konflik antara kedua instansi pertahanan diantaranya:
30 September  2014
Oknum anggota TNI berinisial Serma JL yang diduga sebagai pelaku pengeroyokan Kanit Reskrim Polsek Nusaniwe Aiptu Paulus Lekatompessy hingga tewas
21 September 2014
Aparat TNI bentrok dengan polisi di Batam. Empat anggota Batalion 134 Tuah Sakti tertembak dan satu kendaraan serta bangunan dibakar.

7 Agustus 2014
Anggota Yon Armed bentrok dengan Brimob di Cipanas, Cianjur, Jabar.
Dua TNI dan satu. Brimob terluka

13 Desember 2013
Anggota TNI Pratu AS bentrok dengan polisi Brigadir FS. Keduanya saling tikam di tempat hiburan Pantai Talise, Palu, Sulteng.
19 November 2013
Anggota Polres Jaktim dianiaya oknum Kopassus saat penggerebekan narkoba di Hotel Puri, Pasar Rebo.
19 November 2013
Oknum Linud 305 TNI bentrokan dengan Brimob di Karawang, Jabar. Sejumlah kendaraan dibakar.
19 September 2013
Dua polisi dan satu TNI luka tusuk saat bentrokan antaroknum TNI dari Kostrad dengan Brimob di Venus Karoke Depok, Jabar.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pimpinan TNI dan Polri guna meredam terjadinya bentrokan yang melibatkan prajurit di kedua institusi tersebut, namun tampaknya upaya tersebut belum berhasil sebagaimana diharapkan, mengingat penyelesaiannya seringkali tidak menyentuh akar permasalahan. Kenapa ini terjadi, karena upaya yang selama ini dilakukan oleh pimpinan kedua lembaga tersebut terkesan hanya sebatas melakukan perdamaian atau sekedar saling maaf memaafkan, dengan kata lain hanya menyentuh permukaannya saja, akibatnya bentrokan demi bentrokan terus terjadi, khususnya di wilayah konflik. Padahal, apabila bentrokan tersebut tidak segera diatasi dikhawatirkan akan berdampak negatif pada stabilitas Kamtibmas secara keseluruhan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kedua institusi tersebut.
Seharusnya guna mendukung tegaknya profesionalisme antara prajurit di kedua institusi tersebut serta hilangnya akar permasalahan yang menjadi pemicu terjadinya bentrokan, perlu segera ditemukan solusi yang memadai dan sifatnya komprehensif, tidak saja pada tataran pimpinan tetapi yang lebih penting pada tataran prajurit di tingkat bawah karena umumnya bentrokan terjadi ditingkat bawah.

Memahami Akar Masalah Konflik
Gesekan yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri sebenarnya jika kita cermati banyak terjadi setelah atau pasca pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)/Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tahun 1999. Sekalipun pada masa sebelum pemisahan ada juga konflik namun intensitasnya tidak sebanyak setelah terjadinya pemisahan. Padahal ide jenius dari Gus Dur mengenai pemisahan kedua lembaga tersebut tidak lain agar dapat meningkatkan profesionalitas fungsi dan organisatoris dari kedua institusi tersebut, termasuk sumber daya manusianya sehingga dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna dalam melaksanakan tugas pokoknya masing-masing. Memang sejak dikeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VI/MPR-RI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri kemudian disusul dengan dikeluarkannya TAP No. VII/MPR-RI/2000 tentang peran TNI dan Polri, yang mengatur tugas Polri di bidang keamanan dan TNI di bidang pertahanan dari ancaman luar, hubungan antara kedua institusi ini menjadi memanas dan menjadikan potensi konflik antara TNI dan Polri . Sudah menjadi rahasia umum bahwa konflik antara TNI dan Polri dikarenakan adanya sentiment dan ego sektoral. hal ini dikarenakan pemisahan tugas yang sifatnya hitam putih, di mana TNI hanya menangani masalah pertahanan dan Polri menangani masalah keamanan dalam arti luas, telah menimbulkan persoalan yang kompleks di lapangan.
Selain pemisahan tugas sebenarnya yang menjadi penyebab utama pertikaian di antara prajurit kedua institusi penjaga keamanan tersebut seringkali berawal dari hal-hal sepele dan sama sekali tidak terkait pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, seperti adanya personel yang menjadi backing, saling mengejek setelah pulang dari acara hiburan, persoalan pacar, ketersinggungan karena saling pandang dan sebagainya, yang semuanya merupakan tindakan yang tidak profesional. Ironisnya, cara penyelesaian bentrokan justru sering dilakukan dengan melibatkan kekuatan penuh pasukan, layaknya berperang dalam mempertahankan negara, baik dari aspek sumber daya manusianya, fasilitas/peralatan yang digunakan, karena tidak jarang pihak yang berkonflik menggunakan senjata api dan kendaraan tempur, tidak terkecuali digunakannya taktik perang untuk melawan demi “memenangkan” pertikaian.
Terkait masih kuatnya ego masing-masing institusi pasca pemisahan serta besarnya tingkat emosional dari masing-masing prajurit yang disebabkan oleh berbagai factor, diperinci penyebab munculnya konflik, di antaranya:

Kedudukan. Masih muncul pandangan dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI dianggap lebih tinggi dibandingkan prajurit Polri serta pada saat TNI dan Polri tidak lagi berada di bawah satu komando, masing-masing anggota merasa tidak perlu saling menghormati. Dalam tubuh TNI masih ada yang berpandangan tentang senioritas dan junioritas bahwa mereka lebih senior daripada Polri sehingga sudah sepantasnya Polri harus patuh. Namun di sisi lain, Polri beranggapan mereka bukan lagi bagian dari militer. Mereka merasa nyaman dengan posisi saat ini langsung di bawah presiden dan mendapat sejumlah fasilitas yang jauh lebih baik daripada aparat TNI.
Hal ini sudah tidak sepantasnya lagi di pertahankan karena di saat militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan bersatu dalam menghadapi segala ancaman dan permasalahan yang mungkin mengancam negara, aparat militer dan kepolisian di Indonesia justru mengalami kemunduran dengan memelihara ego angkatan dan konflik. Ego angkatan dan konflik bukan merupakan suatu hal yang patut dipuji.

Kesejahteraan. Adanya kesenjangan penerimaan fasilitas saat melaksanakan tugas, dan model gaya hidup anggota Polri terkesan lebih “makmur;” dibandingkan anggota TNI sehingga memunculkan kecemburuan. Sudah bukan rahasia lagi anggota Polri, meskipun tidak seluruhnya, lebih sejahtera tingkat ekonominya ketimbang prajurit TNI. Hal itu masih ditambah lagi adanya aturan larangan berbisnis bagi institusi TNI yang semakin menambahkan kecemburuan ekonomi, karena telah menutup peluang akses ekonomi petinggi-petinggi dan oknum TNI lainnya. Polri secara kasat mata lebih tenteram dan memiliki akses sumber ekonomi yang lebih luas jika dibandingkan dengan TNI . Sehingga, terjadi kesenjangan di antara kedua institusi dan melahirkan kecemburuan sosial. Namun, sekalipun ada kesenjangan antara TNI dan Polri, tetap saja tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk bertikai.

L’ESPRIT DE CORPS yang berlebihan
Jiwa korsa adalah semangat keakraban dalam korps atau corps geest. Jiwa korsa adalah kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi. Tetapi kebanggaan itu secara wajar, tidak berlebihan, tidak membabi buta. Rasa yang berlebihan ini ditunjukkan dengan adanya rasa setia kawan yang berlebihan di antara masing-masing prajurit sehingga mereka wajib saling membela ketika ada  rekannya yang “terancam”, jiwa korps yang kebablasan ini akan melahirkan arogansi karena menganggap institusinya yang paling baik, hebat, solid dan berjasa. Karena menganggap institusinya yang paling mendekati kesempurnaan, maka cara pandangnya terhadap institusi lain pun berbeda, yaitu menilai institusi yang lain lemah dan tidak kompak. Permasalahan yang mendasar dari benih konflik itu tidak lain adalah, arogansi institusi, perbedaan pelayanan kesejahteraan,  dan  iri hati. Intinya semua tidak terlepas dari persoalan moralitas_ mores (tata kelakuan). Disatu sisi gaya Polisi “militeristik” juga membuat citra Polri semakin memburuk. Untuk itu diharapkan TNI dan Polri harus saling mendukung. Tak boleh ada yang merasa superior. Institusi TNI atau Polri tak boleh merasa dirinya punya power untuk melawan hukum.
Pembagian Wilayah Kerja
Ketidakjelasan pengaturan  pembagian wilayah kerja antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan keamanan Negara; namun terkadang kita akui atau tidak aparat TNI juga masih ada yang suka berbicara mengenai keamanan, yang sebetulnya menjadi bagian dari tugas Polisi. “Kenapa bukan saja Polisi yang mengurusi masalah keamanan, jangan lagi nama TNI selalu dilibatkan.”.   Titik pijak utama dari reformasi sektor keamanan dan pertahanan adalah ditetapkannya Tap MPR/VI/2000 tentang pemisahan kedua lembaga tersebut dengan menempatkan TNI di bawah Departemen Pertahanan, khusus Polri berada langsung di bawah Presiden presiden. Serta keluarnya Tap MPR/VII/200 tentang peran TNI dan Polri, yang mengatur tugas Polri di bidang keamanan dalam negeri, dan TNI di bidang pertahanan. Pijakan legal-politik ini menjadi inspirasi bagi lahirnya produk hukum lain, yang menopang dan memuluskan jalannya reformasi sektor pertahanan dan keamanan di Indonesia. Meski ada tarik menarik yang keras dalam mengimplementasikan, pemisahan dua lembaga tersebut berjalan dengan baik.
Kepemimpinan
Adanya sikap pimpinan seringkali tidak peka akan persoalan-persoalan prajurit di tingkat bawah, dan pimpinan (institusi) seringkali melindungi anggota yang terlibat, bahkan dalam beberapa kasus enggan menjatuhkan sanksi tegas. Hal ini sudah seringkali terlihat dengan adanya kesan bahwa anggota atau personel yang melakukan pelanggaran cenderung diberikan sanksi yang ringgan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi anggota yang melakukan pelanggaran tersebut. Selain itu penyelesaian konflik dari para petinggi dua instansi tersebut sering tidak sampai keakar masalahnya sehingga potensial memunculkan konflik susulan.
Upaya Antisipasi
Untuk memimimalisir agar potensi terjadinya konflik di antara personel di kedua institusi dapat diminimalisir tentunya perlu segera ditetapkan upaya antisipasi yang dapat dilakukan melalui cara-cara memperbaiki tingkat kesejahteraan prajurit agar tidak terjadi kesenjangan yang sangat tinggi di antara masing-masing prajurit, mengadakan latihan secara berkesinambungan, baik latihan satuan maupun atas prakarsa komandan satuan. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kekompakan di antara prajurit kedua institusi, pimpinan satuan (TNI dan Polri) di daerah melakukan pertemuan secara berkala, termasuk olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau kegiatan saling mengunjungi guna memelihara keharmonisan/silaturahmi, tindakan tegas terhadap pimpinan yang lalai dalam melaksanakan tanggung jawab pembinaan guna menimbulkan efek jera, agar tanggung jawab komando betul-betul dilaksanakan, Tindakan tegas kepada anggota yang terlibat dalam bentrokan guna menghindarkan munculnya anggapan adanya upaya melindungi anggota, dan serta perlunya Pembenahan sistem perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi sehingga tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.
Selanjutnya untuk menghentikan pertikaian tersebut, diperlukan campur tangan pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi komunikasi di antara kedua pihak. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik yang berkepanjangan, diperlukan mekanisme pengaturan hubungan kedua lembaga `kakak-beradik' itu dalam suatu rumusan UU Keamanan Nasional,  penghentian pertikaian antara TNI dan Polri secara umum akan menciptakan harmonisasi hubungan yang berdampak pada peningkatan profesionalitas kerja tiap angkatan. Ketika telah terbangun, hal tersebut akan berpengaruh juga terhadap terciptanya kondisi keamanan nasional yang lebih baik.

Meredam Potensi Konflik dari Kedua belah Pihak
Meminimalisir potensi konflik ini harus di awali dari personil TNI dan Polri untuk berpikir besar demi mewujudkan kepentingan nasional. Jangan kedua belah pihak saling mengecilkan apalagi saling menjatuhkan. Kedua belah pihak harus saling membesarkan satu sama lain,  harus saling memperkuat. Sebagai aparata TNI, harus membantu Polri dengan sungguh-sungguh. TNI tidak boleh iri dan dengki dengan keberadaan Polri, karena memang TNI sudah ditakdirkan sebagai prajurit. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mendukung Polri sebagai garda terdepan dalam menciptakan rasa aman.
Secara kelembagaan dua insitusi itu diberikan satu komitmen, yaitu untuk bersikap profesional pada tugas masing-masing, seandainya terjadi hal-hal yang kontraproduktif, cara penyelesaiannya pun sudah mengarah pada bentuk transparansi, yakni dengan membentuk tim yang akan menyelidiki akar permasalahan, guna menjadi pertimbangan level pimpinan untuk mengambil keputusan. Tidak ada lagi tempat bagi pimpinan yang melindungi anggota yang melakukan tindakan kontraproduktif.
Penutup
Sudah saatnya polisi dan militer di Negara kita berbenah seperti militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan bersatu dalam menghadapi berbagai gangguan yang dapat mengancam kedaulatan negara, justru militer dan kepolisian di Indonesia saling berseteru untuk sebuah alasan yang seringkali tidak patut dibanggakan.

Oleh karena itu agar semua sumber daya yang dimiliki masing-masing institusi dapat didayagunakan demi terwujudnya profesionalisme individu maupun lembaga, sudah saatnya kedua belah pihak, baik TNI maupun Polri, terus menerus menjaga dan memelihara hubungan agar tetap harmonis.
Ketika hal tersebut terwujud maka akan berpengaruh positif pada terciptanya stabilitas keamanan nasional . Kondisi keamanan nasional yang baik tentunya berdampak pula pada tingginya apresiasi yang diberikan masyarakat kepada kedua institusi tersebut.
Terlepas dari hal itu diperlukan adanya Memorandum of Understanding (MOU) yang merupakan ajang kerjasama antara TNI dan POLRI dalam menjaga keamanan dan keutuhan NKRI. Dengan adanya MOU diharapkan baik TNI maupun POLRI dapat focus dalam menjalankan tugas pokoknya sesuai dengan undang undang. Sehingga Jajaran TNI dan POLRI diharapkan bisa menjadi teladan dan pilar dalam menciptakan dan mempertahankan kerukukan. Kerukunan yang tercipta dikalangan TNI dan POLRI bisa ditularkan kepada segenap elemen masyarakat, sehingga benih-benih konflik sosial di tengah masyarakat bisa diredam .Apabila TNI dan POLRI dapat rukun dan saling kerjasama maka NKRI akan menjadi Negara yang aman dan sejahtera baik di dalam negri maupun diluar negri.


No comments:

Post a Comment

Sudah Saatnya Dilakukan Deradikalisasi di Tubuh TNI-Polri

D. Jarwoko Peristiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto oleh anggota Jamaah JAD di Menes, Pandeglang beberapa hari lalu setidaknya membua...