PERKUAT KESATUAN BANGSA DENGAN
MEREDAM KONFLIK TNI-POLRI
Beberapa
waktu belakangan sorotan publik tidak dapat dipungkiri terfokus kepada
kerentanan hubungan antara institusi TNI-Polri, khususnya pasca terjadinya
konflik (pertikaian) di beberapa daerah yang melibatkan prajurit di kedua
institusi tersebut, sebagaimana banyak diberitakan oleh berbagai media massa,
baik cetak maupun elektronik. Sangat memprihatinkan, konflik yang terjadi
akhirnya berujung pada terjadinya bentrokan fisik disertai unjuk kekuatan
senjata lengkap dari masing-masing pihak, tampaknya konflik sudah tidak dapat
ditolerir, terlebih akibat kejadian tersebut jatuh korban jiwa dan rusaknya
berbagai fasilitas milik publik maupun orang perorangan. Kasus-kasus bentrokan
yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri adalah gambaran dari fenomena gunung
es, yang mana dipermukaan intensitasnya terlihat sangat kecil tetapi dibawahnya
tersimpan banyak potensi bentrokan yang sewaktu-waktu dapat meledak, tanpa
mampu siapapun menghentikannya.
Biaya
hidup yang kian tinggi kerap membuat jajaran bawah, baik TNI maupun Polri
terlibat aksi "backing-backingan" maupun "jasa pengamanan".
Di antaranya menjadi backing di tempat hiburan malam, kawasan pertokoan, lokasi
industri, sampai pada kegiatan ilegal, seperti penimbunan BBM ilegal atau
melindungi bandar narkoba, hal inilah pemicu utama dalam persaingan "jasa
pengamanan" ini kerap muncul semangat korps atau semangat korsa yang
berlebihan. "Masing-masing oknum terkadang lebih mengedepankan arogansi
dan superioritas, terutama jika satu sama lain merasa terganggu kepentingannya
ada beberapa kasus terakhir yang menyebabkan konflik antara kedua instansi
pertahanan diantaranya:
30
September 2014
Oknum anggota TNI berinisial Serma JL yang diduga sebagai
pelaku pengeroyokan Kanit Reskrim Polsek Nusaniwe Aiptu Paulus Lekatompessy
hingga tewas
21 September
2014
Aparat TNI
bentrok dengan polisi di Batam. Empat anggota Batalion 134 Tuah Sakti tertembak
dan satu kendaraan serta bangunan dibakar.
7 Agustus 2014
7 Agustus 2014
Anggota Yon
Armed bentrok dengan Brimob di Cipanas, Cianjur, Jabar.
Dua TNI dan satu. Brimob terluka
Dua TNI dan satu. Brimob terluka
13 Desember 2013
Anggota TNI
Pratu AS bentrok dengan polisi Brigadir FS. Keduanya saling tikam di tempat
hiburan Pantai Talise, Palu, Sulteng.
19 November
2013
Anggota Polres
Jaktim dianiaya oknum Kopassus saat penggerebekan narkoba di Hotel Puri, Pasar
Rebo.
19 November
2013
Oknum Linud
305 TNI bentrokan dengan Brimob di Karawang, Jabar. Sejumlah kendaraan dibakar.
19 September
2013
Dua polisi dan
satu TNI luka tusuk saat bentrokan antaroknum TNI dari Kostrad dengan Brimob di
Venus Karoke Depok, Jabar.
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pimpinan TNI dan Polri guna meredam terjadinya
bentrokan yang melibatkan prajurit di kedua institusi tersebut, namun tampaknya
upaya tersebut belum berhasil sebagaimana diharapkan, mengingat penyelesaiannya
seringkali tidak menyentuh akar permasalahan. Kenapa ini terjadi, karena upaya
yang selama ini dilakukan oleh pimpinan kedua lembaga tersebut terkesan hanya
sebatas melakukan perdamaian atau sekedar saling maaf memaafkan, dengan kata
lain hanya menyentuh permukaannya saja, akibatnya bentrokan demi bentrokan
terus terjadi, khususnya di wilayah konflik. Padahal, apabila bentrokan
tersebut tidak segera diatasi dikhawatirkan akan berdampak negatif pada
stabilitas Kamtibmas secara keseluruhan yang pada akhirnya akan bermuara pada
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kedua institusi tersebut.
Seharusnya
guna mendukung tegaknya profesionalisme antara prajurit di kedua institusi
tersebut serta hilangnya akar permasalahan yang menjadi pemicu terjadinya
bentrokan, perlu segera ditemukan solusi yang memadai dan sifatnya
komprehensif, tidak saja pada tataran pimpinan tetapi yang lebih penting pada
tataran prajurit di tingkat bawah karena umumnya bentrokan terjadi ditingkat
bawah.
Memahami Akar Masalah Konflik
Gesekan yang terjadi
antara prajurit TNI dan Polri sebenarnya jika kita cermati banyak terjadi
setelah atau pasca pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)/Tentara Nasional Indonesia (TNI)
pada tahun 1999. Sekalipun pada masa sebelum pemisahan ada juga konflik namun
intensitasnya tidak sebanyak setelah terjadinya pemisahan. Padahal ide jenius
dari Gus Dur mengenai pemisahan kedua lembaga tersebut tidak lain agar dapat
meningkatkan profesionalitas fungsi dan organisatoris dari kedua institusi
tersebut, termasuk sumber daya manusianya sehingga dapat lebih berdayaguna dan
berhasilguna dalam melaksanakan tugas pokoknya masing-masing. Memang sejak dikeluarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No.VI/MPR-RI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri
kemudian disusul dengan dikeluarkannya TAP No. VII/MPR-RI/2000 tentang peran
TNI dan Polri, yang mengatur tugas Polri di bidang keamanan dan TNI di bidang
pertahanan dari ancaman luar,
hubungan antara kedua institusi ini menjadi memanas dan menjadikan potensi
konflik antara TNI dan Polri . Sudah menjadi rahasia umum bahwa konflik antara
TNI dan Polri dikarenakan adanya sentiment dan ego sektoral. hal ini
dikarenakan pemisahan tugas yang sifatnya hitam putih, di mana TNI hanya menangani
masalah pertahanan dan Polri menangani masalah keamanan dalam arti luas, telah
menimbulkan persoalan yang kompleks di lapangan.
Selain
pemisahan tugas sebenarnya yang menjadi penyebab utama pertikaian di antara
prajurit kedua institusi penjaga keamanan tersebut seringkali berawal dari
hal-hal sepele dan sama sekali tidak terkait pelaksanaan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing, seperti adanya personel yang menjadi backing, saling
mengejek setelah pulang dari acara hiburan, persoalan pacar, ketersinggungan
karena saling pandang dan sebagainya, yang semuanya merupakan tindakan yang
tidak profesional. Ironisnya, cara penyelesaian bentrokan justru sering
dilakukan dengan melibatkan kekuatan penuh pasukan, layaknya berperang dalam
mempertahankan negara, baik dari aspek sumber daya manusianya,
fasilitas/peralatan yang digunakan, karena tidak jarang pihak yang berkonflik
menggunakan senjata api dan kendaraan tempur, tidak terkecuali digunakannya
taktik perang untuk melawan demi “memenangkan” pertikaian.
Terkait masih
kuatnya ego masing-masing institusi pasca pemisahan serta besarnya tingkat
emosional dari masing-masing prajurit yang disebabkan oleh berbagai factor,
diperinci penyebab munculnya konflik, di antaranya:
Kedudukan. Masih muncul pandangan
dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI dianggap lebih tinggi dibandingkan
prajurit Polri serta pada saat TNI dan Polri tidak lagi berada di bawah satu
komando, masing-masing anggota merasa tidak perlu saling menghormati. Dalam
tubuh TNI masih ada yang berpandangan tentang senioritas dan junioritas bahwa
mereka lebih senior daripada Polri sehingga sudah sepantasnya Polri harus
patuh. Namun di sisi lain, Polri beranggapan mereka bukan lagi bagian dari
militer. Mereka merasa nyaman dengan posisi saat ini langsung di bawah presiden
dan mendapat sejumlah fasilitas yang jauh lebih baik daripada aparat TNI.
Hal ini sudah
tidak sepantasnya lagi di pertahankan karena di
saat militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan bersatu dalam
menghadapi segala ancaman dan permasalahan yang mungkin mengancam negara,
aparat militer dan kepolisian di Indonesia justru mengalami kemunduran dengan
memelihara ego angkatan dan konflik. Ego angkatan dan konflik bukan merupakan
suatu hal yang patut dipuji.
Kesejahteraan. Adanya kesenjangan
penerimaan fasilitas saat melaksanakan tugas, dan model gaya hidup anggota
Polri terkesan lebih “makmur;” dibandingkan anggota TNI sehingga memunculkan
kecemburuan. Sudah bukan rahasia lagi anggota Polri, meskipun tidak seluruhnya,
lebih sejahtera tingkat ekonominya ketimbang prajurit TNI. Hal itu masih
ditambah lagi adanya aturan larangan berbisnis bagi institusi TNI yang semakin
menambahkan kecemburuan ekonomi, karena telah menutup peluang akses ekonomi petinggi-petinggi
dan oknum TNI lainnya. Polri secara kasat mata lebih tenteram dan memiliki
akses sumber ekonomi yang lebih luas jika dibandingkan dengan TNI . Sehingga,
terjadi kesenjangan di antara kedua institusi dan melahirkan kecemburuan
sosial. Namun, sekalipun ada kesenjangan antara TNI dan Polri, tetap saja tidak
bisa dijadikan sebagai alasan untuk bertikai.
L’ESPRIT DE CORPS yang berlebihan
Jiwa korsa
adalah semangat keakraban dalam korps atau corps geest. Jiwa korsa adalah
kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap
perhimpunan atau organisasi. Tetapi kebanggaan itu secara wajar, tidak
berlebihan, tidak membabi buta. Rasa yang berlebihan ini ditunjukkan dengan
adanya rasa setia kawan yang berlebihan di antara masing-masing prajurit
sehingga mereka wajib saling membela ketika ada rekannya yang “terancam”,
jiwa korps yang kebablasan ini akan melahirkan arogansi karena menganggap
institusinya yang paling baik, hebat, solid dan berjasa. Karena menganggap
institusinya yang paling mendekati kesempurnaan, maka cara pandangnya terhadap
institusi lain pun berbeda, yaitu menilai institusi yang lain lemah dan tidak
kompak. Permasalahan yang mendasar dari benih konflik itu tidak lain adalah,
arogansi institusi, perbedaan pelayanan kesejahteraan, dan iri
hati. Intinya semua tidak terlepas dari persoalan moralitas_ mores (tata kelakuan). Disatu sisi
gaya Polisi “militeristik” juga membuat citra Polri semakin memburuk. Untuk itu
diharapkan TNI dan Polri harus saling mendukung. Tak boleh ada yang merasa
superior. Institusi TNI atau Polri tak boleh merasa dirinya punya power untuk
melawan hukum.
Pembagian Wilayah Kerja
Ketidakjelasan
pengaturan pembagian wilayah kerja antara TNI sebagai kekuatan pertahanan
negara dan Polri sebagai kekuatan keamanan Negara; namun terkadang kita akui
atau tidak aparat TNI juga masih ada yang suka berbicara mengenai keamanan,
yang sebetulnya menjadi bagian dari tugas Polisi. “Kenapa bukan saja Polisi yang mengurusi masalah keamanan, jangan
lagi nama TNI selalu dilibatkan.”. Titik
pijak utama dari reformasi sektor keamanan dan pertahanan adalah ditetapkannya
Tap MPR/VI/2000 tentang pemisahan kedua lembaga tersebut dengan menempatkan TNI
di bawah Departemen Pertahanan, khusus Polri berada langsung di bawah Presiden
presiden. Serta keluarnya Tap MPR/VII/200 tentang peran TNI dan Polri, yang
mengatur tugas Polri di bidang keamanan dalam negeri, dan TNI di bidang
pertahanan. Pijakan legal-politik ini menjadi inspirasi bagi lahirnya produk
hukum lain, yang menopang dan memuluskan jalannya reformasi sektor pertahanan
dan keamanan di Indonesia. Meski ada tarik menarik yang keras dalam
mengimplementasikan, pemisahan dua lembaga tersebut berjalan dengan baik.
Kepemimpinan
Adanya sikap
pimpinan seringkali tidak peka akan persoalan-persoalan prajurit di tingkat
bawah, dan pimpinan (institusi) seringkali melindungi anggota yang terlibat,
bahkan dalam beberapa kasus enggan menjatuhkan sanksi tegas. Hal ini sudah
seringkali terlihat dengan adanya kesan bahwa anggota atau personel yang
melakukan pelanggaran cenderung diberikan sanksi yang ringgan sehingga tidak
menimbulkan efek jera bagi anggota yang melakukan pelanggaran tersebut. Selain
itu penyelesaian konflik dari para petinggi dua instansi tersebut sering tidak
sampai keakar masalahnya sehingga potensial memunculkan konflik susulan.
Upaya Antisipasi
Untuk
memimimalisir agar potensi terjadinya konflik di antara personel di kedua
institusi dapat diminimalisir tentunya perlu segera ditetapkan upaya antisipasi
yang dapat dilakukan melalui cara-cara memperbaiki tingkat kesejahteraan
prajurit agar tidak terjadi kesenjangan yang sangat tinggi di antara
masing-masing prajurit, mengadakan latihan secara berkesinambungan, baik
latihan satuan maupun atas prakarsa komandan satuan. Hal ini dimaksudkan untuk
menumbuhkembangkan kekompakan di antara prajurit kedua institusi, pimpinan
satuan (TNI dan Polri) di daerah melakukan pertemuan secara berkala, termasuk
olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau kegiatan saling mengunjungi
guna memelihara keharmonisan/silaturahmi, tindakan tegas terhadap pimpinan yang
lalai dalam melaksanakan tanggung jawab pembinaan guna menimbulkan efek jera,
agar tanggung jawab komando betul-betul dilaksanakan, Tindakan tegas kepada
anggota yang terlibat dalam bentrokan guna menghindarkan munculnya anggapan
adanya upaya melindungi anggota, dan serta perlunya Pembenahan sistem
perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi sehingga
tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.
Selanjutnya
untuk menghentikan pertikaian tersebut, diperlukan campur tangan pemerintah
sebagai pihak yang memfasilitasi komunikasi di antara kedua pihak. Untuk
mengantisipasi terjadinya konflik yang berkepanjangan, diperlukan mekanisme
pengaturan hubungan kedua lembaga `kakak-beradik' itu dalam suatu rumusan UU
Keamanan Nasional, penghentian
pertikaian antara TNI dan Polri secara umum akan menciptakan harmonisasi
hubungan yang berdampak pada peningkatan profesionalitas kerja tiap angkatan.
Ketika telah terbangun, hal tersebut akan berpengaruh juga terhadap terciptanya
kondisi keamanan nasional yang lebih baik.
Meredam Potensi Konflik dari Kedua belah
Pihak
Meminimalisir
potensi konflik ini harus di awali dari personil TNI dan Polri untuk berpikir
besar demi mewujudkan kepentingan nasional. Jangan kedua belah pihak saling
mengecilkan apalagi saling menjatuhkan. Kedua belah pihak harus saling
membesarkan satu sama lain, harus saling
memperkuat. Sebagai aparata TNI, harus membantu Polri dengan sungguh-sungguh. TNI
tidak boleh iri dan dengki dengan keberadaan Polri, karena memang TNI sudah
ditakdirkan sebagai prajurit. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mendukung
Polri sebagai garda terdepan dalam menciptakan rasa aman.
Secara
kelembagaan dua insitusi itu diberikan satu komitmen, yaitu untuk bersikap
profesional pada tugas masing-masing, seandainya terjadi hal-hal yang
kontraproduktif, cara penyelesaiannya pun sudah mengarah pada bentuk
transparansi, yakni dengan membentuk tim yang akan menyelidiki akar permasalahan,
guna menjadi pertimbangan level pimpinan untuk mengambil keputusan. Tidak ada
lagi tempat bagi pimpinan yang melindungi anggota yang melakukan tindakan
kontraproduktif.
Penutup
Sudah
saatnya polisi dan militer di Negara kita berbenah seperti militer dan polisi
negara-negara lain melangkah maju dan bersatu dalam menghadapi berbagai
gangguan yang dapat mengancam kedaulatan negara, justru militer dan kepolisian
di Indonesia saling berseteru untuk sebuah alasan yang seringkali tidak patut
dibanggakan.
Oleh
karena itu agar semua sumber daya yang dimiliki masing-masing institusi dapat
didayagunakan demi terwujudnya profesionalisme individu maupun lembaga, sudah
saatnya kedua belah pihak, baik TNI maupun Polri, terus menerus menjaga dan
memelihara hubungan agar tetap harmonis.
Ketika
hal tersebut terwujud maka akan berpengaruh positif pada terciptanya stabilitas
keamanan nasional . Kondisi keamanan nasional yang baik tentunya berdampak pula
pada tingginya apresiasi yang diberikan masyarakat kepada kedua institusi
tersebut.
Terlepas
dari hal itu diperlukan adanya Memorandum
of Understanding (MOU) yang merupakan ajang kerjasama
antara TNI dan POLRI dalam menjaga keamanan dan keutuhan NKRI. Dengan adanya
MOU diharapkan baik TNI maupun POLRI dapat focus dalam menjalankan tugas
pokoknya sesuai dengan undang undang. Sehingga Jajaran
TNI dan POLRI diharapkan bisa menjadi teladan dan pilar dalam menciptakan dan
mempertahankan kerukukan. Kerukunan yang tercipta dikalangan TNI dan POLRI bisa ditularkan
kepada segenap elemen masyarakat, sehingga benih-benih konflik sosial di tengah
masyarakat bisa diredam .Apabila TNI dan POLRI dapat
rukun dan saling kerjasama maka NKRI akan menjadi Negara yang aman dan
sejahtera baik di dalam negri maupun diluar negri.
No comments:
Post a Comment